Pembangunan Jalan Tol Tak Boleh Gunakan Lahan Pertanian

Penggunaan lahan yang tidak produktif juga dapat menekan biaya investasi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 04 Mar 2016, 11:18 WIB
Kondisi Gerbang Tol Kebon Bawang, Jakarta Utara, Sabtu (27/2). Jalan tol akses Tanjung Priok ini akan mulai difungsikan sebagian pada Juni 2016 untuk mempermudah akses kendaraan dari dan menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tidak akan menggunakan lahan pertanian yang produktif untuk digunakan sebagai lintasan jalan tol. Langkah tersebut dilakukan agar tidak mengganggu produksi pangan.

Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Hediyanto Husaini,‎ ‎mengatakan, untuk membangun jalan tol, kementerian lebih memilih untuk menggunakan lahan yang tidak produktif. Alasannya, selain memiliki program pembangunan infrastruktur, pemerintah juga memiliki program swasembada pangan.

Diharapkan, dengan tidak digunakannya lahan pertanian yang produktif maka tidak akan mengganggu program swasembada pangan. "Makanya kami pilih daerah-daerah rawa. Agar tidak mengganggu. Kami juga mempertimbangkan swasembada pangan. Selama ini terlalu banyak kawasan-kawasan sehingga lahan subur terpakai," kata Hediyanto, seperti yang dikutip di Jakarta, Jumat (4/3/2016).

Menurut Hediyanto, selain menghindari penggunaan lahan produktif untuk tol. Kementerian PUPR juga ‎memikirkan kawasan yang akan muncul pasca beroperasinya jalan tol. Kawasan tersebut seharusnya juga tidak menggunakan lahan produktif pertanian. 

"Pembangun jalan tol harus berpikir memanfaatkan lahan tidak produktif, karena di pinggir jalan itu akan berdiri juga kawasan industri baru. Mungkin jalan tol kalau kita jalankan tidak seberapa tapi kawasan industri yang tumbuh di sekitar jalan tol juga mengurangi lahan produktif,"terang‎ dia. 

Penggunaan lahan yang tidak produktif juga dapat menekan biaya investasi dan mempercepat ‎pembebasan lahan karena lahan tersebut tidak diminati. Namun kelemahannya menggarap lahan tersebut membutuhkan biaya konstruksi yang lebih besar.

"Jadi pertama sayang kita mengurangi lahan pertanian, kedua juga mahal. Tanah yang subur masuk kota-kota kan masalah sosialnya banyak, sementara yang rawa tidak terlalu banyak masalah lahannya. Kemudian tidak mengurangi kawasan yang subur produktif yang harus kita‎ hindari," tutup dia. 

Seperti diketahui, PT Hutama Karya (Persero) sebagai kontraktor proyek jalan tol Trans Sumatera ruas Palembang–Indralaya menggunakan teknologi vakum untuk mempercepat pengeringan tanah. Teknologi tersebut digunakan karena ruas tol Trans Sumatera menggunakan lahan rawa.

Person In Charge Perbaikan Tanah Hutama Karya Infrastruktur Resnu Aditya mengatakan, lokasi pembangunan ruas tol sepanjang 22 kilometer (km) tersebut mayoritas medan rawa, karena itu perlu perlakuan khusus agar jalan tidak mudah rusak. "Dari km 0 sampai16 awalnya 16 km bermedan rawa, setelah berjalan 16 km ke atas akhirnya sampai km 20 perlu diperbaiki," kata Resnu.

Perlakuan khusus tersebut berupa pemilihan teknologi Vaccum Cossolidation Methode untuk mengeringkan dan mengeraskan lahan yang akan dijadikan ruas tol. Dengan teknologi vakum tersebut pengerjaan lahan bisa lebih cepat ketimbang cara konvesional.

"Perbaikan tanah menggunakan sistem vakum, mengunakan sistem vakum percepat kosolidasi 4 bulan, biasanya 1 tahun, kami memutuskan gunakan sistem vakum sendiri untuk mempercepat program," terang Resnu.

Menurut Resnu, penggunaan teknologi vakum merupakan hal pertama dalam pembangunan jalan tol. Teknologi tersebut di datangkan dari China yang dibawa oleh subkontaktor Hutama Karya, Geotekindo. "Untuk perbaikan tanah ini kita pakai subkontrakto Goeharbour, tapi ada anak usahanya di Indonesia Geotekindo," tutup Resnu. (Pew/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya