Advokat Senior: Tak Semua Transaksi Besar Masuk TPPU, Harus Ada Pembuktian di Pengadilan

Tidak semua transaksi dalam jumlah besar merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU), harus ada pembuktian dulu di Pengadilan.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 25 Mar 2023, 12:21 WIB
Ilustrasi Pencucian Uang (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Dugaan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp349 triliun di kalangan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagaimana dilaporkan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, harus segera diluruskan.

Pasalnya, menurut Advokat Senior Lucas, tidak semua transaksi dalam jumlah besar merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU), harus ada pembuktian dulu di Pengadilan.

"Ini tak perlu terjadi jika semua pihak patuh dan tunduk dengan aturan. Tidak semua transaksi dalam jumlah besar itu pencucian uang. Ini bahaya. Yang bisa memutuskan apakah itu pencucian uang atau bukan, hanya hakim. Bukan Menko Polhukam, bukan pula Menteri Keuangan, apalagi Kepala PPATK," ujar Lucas dalam keterangannya, Sabtu (25/3/2023).

Menurut Lucas, dalam TPPU setidaknya terdapat dua varian kejahatan, yakni tindak pidana asal alias predicate crime dan TPPU itu sendiri, yang bisa disebut sebagai tindak pidana lanjutan atau follow up crime. Sehingga, kedudukan TPPU harus dilihat berdasarkan terjadinya tindak pidana tersebut secara faktual.

"Jadi harus ada predicate crime dulu. Ini yang menjadi sumber asal dari harta haram (dirty money) apakah itu hasil korupsi, perjudian, atau uang narkoba yang kemudian dicuci. Ini harus dibuktikan dulu oleh pengadilan, baru kemudian bisa disebut sebagai praktik pencucian uang," kata Lucas.

Dengan kata lain, lanjut Lucas, Kepala PPATK, Menteri Keuangan Sri Mulyani, maupun Menko Pulhukam Mahfud MD tidak bisa serta merta menyebut itu sebagai praktik pencucian uang.

"Jika semua transaksi yang mencurigakan dilihat sebagai pencucian uang, itu kesalahan besar yang berakibat fatal. Kita akan jadi tertawaan dunia. Indonesia bisa menyandang predikat negara surganya pencucian uang," ucap Lucas.

Lucas menyarankan, agar permasalahan ini segera selesai, maka kasus ini harus segera diusut oleh tim penyidik. Nantinya penyidik akan melimpahkan ke Kejaksaan yang kemudian diteruskan ke Pengadilan. 

"Sekali lagi, semua tindakan dugaan perkara pencucian uang harus dikembalikan ke predicate crime terlebih dulu. Barulah jika kemudian jika di pengadilan terbukti bersumber dari suatu hasil kejahatan, bisa disebut pencucian uang," kata dia.

"Jadi secara tegas dan tidak bisa terbantahkan bahwa TPPU itu haruslah melalui putusan hakim di pengadilan, dan bukan pada ranahnya PPATK atau Kementerian lainnya," tambah Lucas memungkasi.

 

2 dari 2 halaman

Transaksi Mencurigakan Rp349 Triliun

Advokat Senior Lucas

Seperti diberitakan, Menko Polhukam Mahfud MD sempat mengatakan ada temuan transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun di Kemenkeu selama periode 2009-2023 dalam konferensi pers pada Pada Jumat (10/3/2023).

Mahfud menyebut transaksi itu terindikasi ada dugaan TPPU. Selain Mahfud, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (20/3/2023) juga memaparkan adanya 300 surat PPATK perihal nilai transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun yang dikirimkan kepada pihaknya pada 13 Maret 2023.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang sedang ramai saat ini merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ivan menyebut, apabila angka itu bukan merupakan TPPU, pasti dia tidak akan melaporkannya.

"PPATK yang diekspos itu TPPU atau bukan? Yang Rp 300 (triliun) itu TPPU?" tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond.

"TPPU, pencucian uang. Itu hasil analisis dan hasil pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan," jawab Ivan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya