Psikologi Keluarga Korban AirAsia QZ8501 Membaik

6 Hari berlalu sejak pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak pada 28 Desember 2014.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 02 Jan 2015, 19:44 WIB
Isak tangis mengiringi pembacaan doa bersama sejumlah keluarga penumpang AirAsia QZ8501 melakukan doa bersama di Bandara Juanda, Surabaya, Senin (29/12/2014).(Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Enam hari berlalu sejak pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak pada 28 Desember 2014, duka masih menyelimuti keluarga penumpang.

Apalagi setelah mendapati kenyataan, burung besi nahas itu berakhir di perairan Karimata, Kalimantan Tengah. Namun seiring berjalannya waktu, mereka pasrah akan nasib orang-orang yang dicintai. Kondisi psikologis keluarga korban pun kian baik.

"Kondisi kejiwaan keluarga korban stabil setelah 3 hari pertama kejadian," tutur psikiater Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Malang yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) Indonesia Jawa Timur, Frilya Rachma Putri, di Posko Antemortem, Polda Jawa Timur, Jumat (2/12/2014).

Frilya menuturkan, pasca-ditemukannyan pesawat berpenumpang 155 orang dan 7 awak itu, kondisi kejiwaan keluarga yang berada di posko Antemortem Polda Jatim relatif stabil. Hal itu ditunjukan dengan tidak ada reaksi berlebih seperti menangis, melamun, bahkan mengamuk.

"Saat ini mereka tidak menunjukkan shock berat seperti 3 hari pertama di mana banyak yang menjerit-jerit, menangis terus-menerus dan jenis stres akut lainnya."

Dokter kejiwaan, kata dia, sengaja diturunkan ke posko untuk membantu mengembalikan kondisi psikologis keluarga korban. Frilya mengaku awalnya mengalami kesulitan memberikan dukungan kepada keluarga korban.

Bahkan, ia dan beberapa rekannya pernah ditolak oleh sejumlah keluarga korban. Namun seiring berjalannya waktu, keluarga korban akhirnya bersedia untuk diberi penyuluhan atau dukungan.

"Awalnya tidak diterima karena mengesampingkan pendampingan para psikiater ini, tetapi seiring waktu kami diterima dan membantu perbaikan kejiwaan mereka," ucap dia.

Menjaga Hati Anak-anak

Menurut Frilya, kondisi kejiwaan keluarga korban sudah tidak menunjukan stres setelah pendampingan awal atau psicological first act. Itu setelah langkah yang dilakukan 2 tim pendampingan kejiwaan dengan durasi 8 jam dari satu tim.

"Jadi kami dari PDSKJ Jatim memberikan pendampingan kepada semua keluarga korban dengan memberikan empati dan mendukung ketegaran juga mendorong rasa menerima keadaan ini yang harus dilewati dengan baik. Jadi kami 3 orang terus berkeliling melihat kondisi kejiwaan dan membuka komunikasi dengan tema empati," jelas dia.

Frilya melanjutkan, kondisi yang dihadapi yaitu bagaimana keluarga korban mengharapkan anggota keluarganya masih hidup.

"Di luar itu, bentuk penanganannya yaitu dengan psikoterapi seperti memberikan empati, menenangkan, dan membimbing bahwa bencana ini harus bisa dilalui, dan juga menghindari mempertanyakan mengenai korban dan peristiwa sebelum dan sesudahnya," tutur Frilya.

Selain memberikan pendampingan psikologis bagi keluarga korban yang dewasa, sambung Frilya, dirinya juga memberikan penyuluhan kepada para keluarga korban yang masih anak-anak. Menurut dia, cuplikan berita di televisi yang menampilkan proses evakuasi jenazah dan cerita saat jatuhnya pesawat mempengaruhi kondisi mental dan psikologis keluarga korban yang masih anak-anak.

"Hal yang harus dihadapi ke depan dari kondisi kejiwaan keluarga korban adalah menghindari tayangan televisi yang menayangkan cuplikan informasi yang bisa menyebabkan kesedihan mendalam. Terutama bagi anak-anak. Tetapi intinya adalah menjaga dari stress yang akut sampai disorder," tandas Frilya.

AirAsia QZ8501 menghilang dari radar pada 28 Desember 2014. Memasuki hari ke-3 proses pencarian, jenazah korban penumpang ditemukan. Kini, hingga hari ke-6, total sudah ada 10 jenazah yang dievakuasi. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya