Sukses

Ilmuwan Kembangkan Metode AI untuk Deteksi Kehidupan di Luar Angkasa

Para ilmuwan telah mengembangkan metode berbasis kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi membantu mengidentifikasi tanda-tanda biologis kehidupan di luar angkasa, dikatakan 90 persen akurat.

Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan mengembangkan metode berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk membantu mengidentifikasi tanda-tanda biologis molekuler di berbagai dunia.

Sekelompok ilmuwan di Amerika Serikat telah mengembangkan sistem berbasis kecerdasan buatan yang mereka klaim dapat menemukan tanda-tanda kehidupan dengan akurasi 90 persen. Demikian menurut laporan dari The Indian Express, dikutip Minggu (1/10/2023).

Sistem AI tidak benar-benar mencari alien berwarna hijau dengan mata melotot, melainkan mencari tanda-tanda bahwa kehidupan mungkin telah berkembang di planet lain.

Para ilmuwan mempresentasikan hasil penelitian mereka pada Konferensi Geokimia Goldschmidt di Lyon pada Juli 2023, dan mendapat sambutan positif dari ilmuwan lain. 

“Ini merupakan kemajuan signifikan dalam kemampuan kita mengenali tanda-tanda biokimia kehidupan di dunia lain. Ini membuka jalan bagi penggunaan sensor pintar pada pesawat ruang angkasa tak berawak untuk mencari tanda-tanda kehidupan,” kata pemimpin peneliti Robert Hazen dari Laboratorium Geofisika Carnegie Institution dan Universitas George Mason.

Para ilmuwan telah mengetahui sejak percobaan Miller-Urey pada tahun 1950an, pencampuran bahan kimia sederhana dalam kondisi yang tepat dapat membentuk beberapa molekul yang lebih kompleks, seperti asam amino.

Sejak itu, banyak komponen kompleks yang diperlukan untuk kehidupan seperti yang kita kenal. Misalnya, nukleotida yang diperlukan untuk membuat DNA, telah terdeteksi di luar angkasa.

Tapi, bagaimana kita tahu apakah molekul-molekul ini berasal dari biologis atau terbentuk melalui proses lain yang tidak diketahui seiring berjalannya waktu? Mengetahui hal itu penting untuk memutuskan apakah para ilmuwan telah mendeteksi kehidupan atau tidak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengujian pada Beberapa Sampel

Para ilmuwan menggunakan metode spektrometri massa kromatografi gas pirolisis (GCMS) untuk menganalisis 135 sampel kaya karbon yang berbeda. Sampel ini diambil dari sel hidup, sampel yang mengalami degradasi usia, bahan bakar fosil yang diproses secara geologis, meteorit kaya karbon, serta senyawa dan campuran organik yang disintesis di laboratorium.

Sebanyak 59 sampel berasal dari biologis, seperti sebutir beras, rambut manusia, minyak mentah, dll. Dan 74 di antaranya berasal dari non-biologis seperti senyawa yang disintesis di laboratorium atau sampel dari meteorit kaya karbon.

Sampel pertama kali dipanaskan di lingkungan tanpa oksigen. Ini disebut proses pirolisis. Hal ini menyebabkan sampel rusak. Kemudian, dianalisis dalam GCMS, yaitu alat yang memisahkan campuran menjadi beberapa komponen dan mengidentifikasinya.

Selanjutnya, para ilmuwan menggunakan beberapa metode pembelajaran mesin untuk melatih model pada data tiga dimensi (waktu/intensitas/massa) dari setiap sampel sebagai subjek pelatihan atau pengujian.

Dengan pengujian, diketahui bahwa ternyata model ini memiliki akurasi lebih dari 90 persen.

3 dari 4 halaman

Ilmuwan Mengatakan, Metode Ini Dapat Diterapkan pada Sampel Purba dari Bumi dan Mars

Mengutip The Indian Express, Sabtu (30/9/2023), Hazen mengatakan, “ada beberapa implikasi menarik dan mendalam yang mengalir dari penelitian ini. Pertama, kita dapat menerapkan metode ini pada sampel purba dari Bumi dan Mars untuk mengetahui apakah mereka pernah hidup."

Dia juga menambahkan bahwa hal ini penting untuk melihat apakah ada kehidupan di Mars. Tidak hanya itu, ini juga dapat membantu para ilmuwan menganalisis sampel bumi yang sangat kuno.

Dengan demikian, para ilmuwan juga dapat memahami kapan kehidupan pertama kali dimulai. Menurut Hazen, hal ini berarti bahwa pada tingkat yang lebih dalam, biokimia dan kimia non-biologis agak berbeda.

Hal ini juga menunjukkan bahwa jika kita menemukan kehidupan di tempat lain, kita dapat mengetahui apakah kehidupan di Bumi dan planet lain berasal dari asal usul yang sama. Dengan demikian, ini sejalan dengan teori panspermia.

Ataukah justru sebaliknya, mereka memiliki asal usul yang berbeda secara mendasar.

4 dari 4 halaman

Penemuan Ini Menjadi Hadiah Bagi Ahli Astrobiologi

Dilansir Forbes, Sabtu (30/9/2023), teknik baru yang digerakkan oleh AI ini dapat segera memberikan petunjuk baru tentang asal usul sedimen hitam berusia 3,5 miliar tahun yang ditemukan di Australia Barat.

Perlu dilakukan penelitian apakah sedimen tersebut mengandung atau tidak mengandung mikroba fosil tertua di Bumi. Ini juga bisa berguna dalam biologi, paleontologi dan arkeologi.

“Masih banyak yang harus dipelajari, tapi suatu hari nanti versi generasi berikutnya dari sistem mereka mungkin akan terbang ke Mars, mengevaluasi kemungkinan adanya kehidupan di planet merah. Sementara saudara-saudaranya yang berada di Bumi menerangi kehidupan kuno di planet kita sendiri," kata Andrew H. Knoll, profesor peneliti sejarah alam Fisher dan profesor penelitian emeritus ilmu bumi dan planet di Departemen Biologi Organisme dan Evolusioner Universitas Harvard. 

Dia menyebutnya sebagai “hadiah bagi ahli astrobiologi.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini