Sukses

Produksi Baterai Mobil Listrik Ternyata Hasilkan Lebih Banyak Emisi Karbon Buat Lingkungan

Guna hadapi perubahan iklim yang diakibatkan produksi baterai mobil listrik/EV dengan teknologi Li-ion, produsen kembangkan baterai LFP yang lebih ramah lingkungan.

Liputan6.com, Jakarta - Kendaraan listrik seperti sepeda dan mobil listrik (EV) menawarkan sistem transportasi berkelanjutan guna menghadapi perubahan iklim. EV juga menggunakan alternatif energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan daripada mobil pembakaran bensin tradisional.

Namun faktanya, seperti yang diungkap EVBox, Selasa (12/9/2023), beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan baterai EV dapat menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan mobil bensin.

Hal ini disebabkan oleh sejumlah besar energi yang dibutuhkan untuk pengadaan bahan baku dan proses pembuatan baterai EV.

Sebagian besar konsumsi energi ini terkait dengan produksi baterai yang membutuhkan ekstraksi bahan langka dan sulit didapat seperti lithium, kobalt, dan mangan.

Nah, baterai mobil listrik merupakan komponen kompleks yang mengandung banyak rare earth elements (REE), seperti lithium, nikel, kobalt, dan grafit.

Sesuai namanya, bahan-bahan ini sulit ditemukan dan diekstrak, membutuhkan penambangan intensif dan bahkan beberapa proses polusi untuk memisahkannya dari tanah. Inilah sebabnya mengapa memproduksi baterai kendaraan listrik dapat menjadi tantangan bagi lingkungan.

Baterai kendaraan listrik terdiri dari ribuan sel lithium-ion/Li-ion berbentuk kotak baterai dan dapat diisi ulang. Di luar bahan mentah yang membentuk sel-selnya, baterai kendaraan listrik membutuhkan lebih banyak komponen perangkat keras dan perangkat lunak untuk membuatnya berfungsi.

Bahan utama yang membentuk baterai listrik adalah lithium, mangan, dan kobalt. Sebuah laporan dari Nature memperkirakan bahwa baterai EV biasa menggunakan sekitar 8 kilogram lithium, 14 kilogram kobalt, dan 20 kilogram mangan.

Berikut ini adalah dampak dari penambangan bahan baku baterai EV yang umumnya menggunakan teknologi Li-ion, beserta alternatif solusi yang lebih ramah lingkungan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dampak Penambangan Bahan Baku Baterai EV

Lithium merupakan bahan utama mayoritas baterai EV, yang diproduksi dari dataran garam atau waduk air garam bawah tanah, dengan sebagian besar produksi terpusat di Amerika Selatan.

Mengekstraksi lithium dari air garam cukup mudah dan dilakukan dengan menguapkan air untuk meninggalkan larutan yang kaya akan lithium.

Karena proses penguapan ini, penambangan litium menghabiskan sejumlah besar air tanah. Hal ini dapat membuat masyarakat setempat kekurangan air minum dan merusak pertanian karena berkurangnya ketersediaan air irigasi.

Selain itu, cairan yang tersisa setelah litium diekstraksi dapat mengandung unsur beracun atau radioaktif yang perlu dibersihkan dan disimpan sebelum dibuang.

Selain lithium, kobalt adalah penyebab yang sering disebut-sebut sebagai penyebab perubahan iklim dari baterai EV.

Kobalt diproduksi sebagai produk sampingan dari pertambangan tembaga dan nikel, tetapi juga dapat ditambang secara langsung, dengan Australia dan Republik Demokratik Kongo (DRC) sebagai produsen utamanya.

Tambang kobalt menghasilkan residu beracun yang dapat meresap ke lingkungan, meracuni air tanah, dan membahayakan masyarakat sekitar. Selain itu, peleburan bijih kobalt menghasilkan asap dengan konsentrasi sulfur oksida yang tinggi dan polutan udara lainnya.

Dibandingkan dengan lithium dan kobalt, mangan sering kali diabaikan dalam diskusi tentang bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi baterai EV. 

Mangan sering ditemukan bersama dengan endapan besi di tambang terbuka. Karena penambangannya dilakukan di tambang terbuka, ekstraksi mangan dapat menyebabkan polusi udara yang cukup besar dan mencemari lingkungan.

3 dari 4 halaman

Alternatif Baterai EV Ramah Lingkungan

Munculnya baterai LFP

Mengingat banyaknya sumber bahan pembuatan baterai EV yang berdampak negatif, produsen mencari solusi baru yang ramah lingkungan untuk memproduksi baterai. Salah satu alternatif tersebut adalah teknologi lithium iron phosphate (LFP atau Li-FP), yang menggunakan besi sebagai pengganti kobalt.

Dibandingkan dengan lithium-ion (Li-ion) kelemahan LFP adalah kepadatan energinya yang lebih rendah, yang berarti cenderung kurang efisien dan memiliki jangkauan yang lebih pendek daripada baterai Li-ion.

Kendati demikian, baterai LFP juga jauh lebih mudah dan murah untuk diproduksi, karena menggunakan bahan yang lebih umum tersedia. Baterai ini juga lebih tahan panas daripada baterai Li-ion dan cenderung memiliki masa pakai yang lebih lama.

Produsen mobil listrik sudah menggunakan baterai LFP. Produsen China memimpin dalam penggunaan baterai LFP dan diikuti perusahaan-perusahaan Barat yang mulai mengadopsinya. Tesla, misalnya, melaporkan bahwa setengah dari mobilnya sudah menggunakan baterai LFP bebas kobalt.   

Dampak Lingkungan dari Pengisian Daya dan Penggunaan Mobil Listrik

Karena mobil listrik tidak membakar bensin atau solar untuk mengisi bahan bakar mesinnya, dampak lingkungan utama mobil listrik berasal dari proses pembuatannya.

Mobil listrik yang ditenagai oleh sumber energi terbarukan lebih baik daripada mobil listrik yang ditenagai oleh listrik hasil batu bara atau gas alam.

Namun, secara rata-rata, kendaraan mencapai kesetaraan dalam hal emisi dengan mesin mobil pembakaran setelah menempuh jarak sekitar 33.000 km di jalan.

4 dari 4 halaman

Seberapa Berkelanjutan Baterai EV Sebenarnya?

Meskipun produksi baterai EV saat ini menghadapi beberapa dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, proses ekstraksi, kimia baterai, dan bahan baru membuka jalan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Meskipun teknologi baterai telah digunakan secara luas, penerapannya sebagai sumber daya untuk kendaraan listrik masih dalam tahap awal.

Seiring dengan terus menurunnya biaya dan kemajuan teknologi yang dicapai, para pembuat kebijakan dan pemimpin industri memiliki kewajiban untuk meningkatkan kondisi kerja yang terkait dengan penambangan dan produksi baterai.

Tentu saja, dampak dari produksi mobil listrik tidak akan pernah nol, jadi menggunakan kembali dan mendaur ulang baterai EV lama sangat penting untuk memastikan bahan yang dikandungnya tetap berguna selama mungkin.

Untungnya, perlu diingat bahwa sepanjang masa pakainya, mobil listrik jauh lebih ramah lingkungan daripada kendaraan bertenaga gas.

Baterai EV saat ini diperkirakan dapat bertahan sekitar 15-20 tahun dan dapat digunakan kembali serta didaur ulang untuk mendapatkan kembali sebagian besar bahan baku yang dikandungnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini