Sukses

Laman Web Forest Watch Indonesia Kini Hitung Kehilangan Hutan Per Detik

Secara sederhana, pengakses laman FWI akan mengetahui seberapa luas hutan yang hilang bersamaan dengan lamanya waktu akses.

Liputan6.com, Jakarta - Laman resmi Forest Watch Indonesia (FWI) kini menampilkan penghitungan hutan yang hilang per detik. Angka yang tampil itu menghitung berapa lama akses laman dibandingkan dengan kehilangan hutan di Indonesia.

Secara sederhana, pengakses laman FWI akan mengetahui seberapa luas hutan yang hilang bersamaan dengan lamanya waktu akses. Menurut penghitungan FWI, 0,1 hektare hutan alam di Indonesia hilang per 1 detik kunjungan.

Salah satu pengembang laman FWI, Ogy Dwi Aulia, menyebut data yang dijadikan acuan adalah data yang telah dikumpulkan oleh dia dan timnya. Singkat cerita, penghitungan yang ditampilkan itu menggunakan analisis statistik.

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

“Jadi data tutupan hutan yang sudah ada kita hitung laju per detik dengan regresi,” kata Ogy kepada Tekno Liputan6, Rabu (10/2/2021).

Dia melanjutkan, setelah dilakukan penghitungan statistik dan ditambahkan ke web, sistem akan menghitung jumlah kehilangan hutan mulai dari situs web itu dibuka.

Tujuan penghitungan tersebut, kata dia, untuk memberikan gambaran kepada audiens atau pengunjung web FWI mengenai besaran kehilangan hutan. Karena itu, juga diharapkan laman web itu akan memicu kesadaran di antara masyarakat.

“Bahkan ketika kamu hanya membuka web FWI, bisa sebegitu besar hutan yang hilang,” tutur Ogy.

PESAN IBU

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Manfaatkan Aplikasi Arcgis

Sementara itu, terkait cara menampilkan angka tersebut, Ogy mengaku memanfaatkan aplikasi Arcgis untuk digitisasi data tutupan lahan dari citra satelit.

Sebelum digitisasi, perlu dilakukan koreksi atmosferik, lalu mengantisipasi citra yang tertutup awan.

“Selanjutnya baru bisa di-composite berdasarkan band dari citra raw, sehingga menghasilkan visualisasi citra yang sudah RGB,” jelasnya.

Sederhananya, proses digitisasi akan memisahkan wilayah hutan dan bukan hutan menurut asa interpretasi hutan seperti warna, rona, tekstur dan lainnya. Selanjutnya dipantau perubahan per tahunnya.

“Baru dari data per tahunnya dihitung lajunya untuk menghasilkan yang tercantum di web,” tutup Ogy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini