Sukses

Kemkominfo Dinilai Tak Adil Soal Revisi PP 82

Salah satu revisi yang ditentang adalah poin yang menyatakan klasifikasi data center. Seharusnya pemerintah tidak melakukan revisi pada poin tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan informatika (Kemkominfo), tampaknya tak menggubris aspirasi dari beberapa kelompok organisasi internet seperti MASTEL, APJII, FTII, ACCI, dan lain sebagainya, terkait rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE).

Salah satu revisi yang ditentang adalah poin yang menyatakan klasifikasi data center. Seharusnya pemerintah tidak melakukan revisi pada poin tersebut.

Relaksasi lokalisasi data dinilai sebagai bukti pemerintah tengah memamerkan ketidakadilan dalam memperlakukan pelaku usaha di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Hal itu mereka sampaikan melalui keterangan resmi, Senin (26/11/2018).

Menurut Sylvia W Sumarlin dari FTII, rasa ketidakadilan tengah diperlihatkan pemerintah melalui Kemkominfo terhadap pelaku usaha yang bergerak di bidang TIK dengan tidak memberikan ruang perubahan dalam draft revisi PP PSTE.

Apalagi, soal relaksasi data, tetapi bersikap lunak terhadap tunggakan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) dari tiga operator Broadband Wireless Access (BWA) yang sudah menggunakan alokasi sumber daya alam terbatas namun tak membayar kewajibannya.

"Dalam kasus operator BWA nunggak, saya melihat pejabat Kemkominfo bisa berkompromi. Padahal jelas jika mengacu ke aturan tak ada ruang untuk permohonan penundaan, pengangsuran maupun penjadwalan. Tetapi yang ditunjukkan Pak Menteri ke publik terlihat beliau akomodatif walau terkesan mengabaikan kebijakan sendiri yang kadung sudah mengancam akan mencabut ijin frekuensi," kata wanita yang akrab disapa Efie itu.

Efie membandingkan sikap pemerintah kala berhadapan dengan sejumlah organisasi yang menolak relaksasi lokalisasi data dalam draft revisi PP PSTE, di mana Menkominfo hingga Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) seperti tak ada kata "mundur".

Padahal, argumentasi yang diberikan untuk mempertahankan adanya relaksasi data itu lemah.

"Kami bisa berikan analisa soal negara berpotensi merugi Rp 85,2 triliun apabila mengabaikan keberadaan pusat data di Indonesia. Bahkan, kami bisa buktikan sudah ada investasi selama lima tahun terakhir senilai US$ 450 juta karena adanya PP PSTE. Belum lagi bicara kedaulatan digital, semua argumen pemerintah bisa kami mentahkan," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto meragukan investasi akan datang di sektor data center dan juga ICT jika keran relaksasi dibuka.

"Bagaimana mungkin dengan memperbolehkan selain data strategis dikelola, diproses dan disimpan di luar wilayah Indonesia tanpa ada kewajiban menyimpan data tersebut di wilayah Indonesia akan bisa mendatangkan investasi? Yang ada malah mereka tidak akan jadi berinvestasi di Indonesia dan ini akan sangat merugikan Indonesia," tegasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tudingan Adanya Asing

Irwin Day dari FTII yang juga menjadi juru bicara bersama kelompok asosiasi IT, menduga adanya tekanan dan agenda asing yang ikut menumpang dalam draft revisi PP PSTE sehingga Menkominfo dan Dirjen Aptika seperti maju tak gentar melawan "teman-temannya" yang di lapangan.

Soal "tekanan" asing, Irwin merujuk kepada pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sejumlah media, yang menyebut data center menjadi salah satu permintaan Amerika Serikat agar RI kembali fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).

"Setelah investigasi lapangan, tak hanya Paman Sam punya kepentingan soal draft revisi PP PSTE, Australia juga. Kita dapat info ada konsultan dari Australia suka sowan ke Kemkominfo dan beberapa kali diskusi intens soal draft revisi PP PSTE. Ini menyakitkan sekali karena pelaku usaha lokal malah tak diajak diskusi bahas itu draft," jelasnya.

 

3 dari 3 halaman

Kedaulatan Negara

Executive Director Mastel Arki Rifazka, mengingatkan lokalisasi pusat data bukan hanya soal kemudahan akses dalam proses hukum tetapi bagian dari kedaulatan negara atas warganya.

Warga negara membayar pajak misalnya bukan hanya untuk menjamin keamanan fisik tetapi juga non-fisik termasuk di antaranya data digital mengenai warga negara.

"Jika terus dipaksakan relaksasi lokalisasi data, maka kekayaan kita akan mengalir ke luar negeri. Data itu adalah the next oil, kalau dibiarkan ditempatkan di luar artinya kita membiarkan harta itu ke luar Indonesia," pungkasnya.

Reporter: Fauzan Jamaludin

Sumber: Merdeka.com

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.