Sukses

Gelombang Panas Dahsyat Bakal Sambangi Indonesia, Ini Penjelasan BMKG

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dikabarkan akan 'diserang' gelombang panas mematikan dalam waktu dekat. Hal tersebut justru dibantah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Menurut BMKG, kabar itu terlalu bombastis.

Kabar mengenai serangan gelombang panas mematikan itu pertama kali muncul di laman Deutsche Welle (DW) dengan judul Indonesia Akan Didera Gelombang Panas Mematikan. 

Artikel itu merupakan tulisan ulang dari artikel yang sebelumnya terbit 20 Juni 2017.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal, mengatakan, artikel DW itu didasari paper ilmiah Camilo Mora yang terbit di Jurnal Nature Climate Change pada Juni 2017 dengan judul Global Risk of Deadly Heat.

"Pemberitaan DW Indonesia dengan judul yang bombastis dengan kesan terkonsentrasi pada dampak besar yang akan terjadi di Indonesia sebenarnya tidak cukup relevan dengan kajian ilmiah paper Mora et al (2017) tersebut," tulis Heriza di laman BMKG, Senin (23/4/2018).

Penelitian Mora, kata Heriza, menggunakan data kasus kematian akibat gelombang panas sejak 1980 hingga 2014 yang terjadi di 164 kota di 36 negara. Dari data itu, ditemukan sebanyak 783 kasus kematian akibat gelombang panas.

"Paper tersebut mengkaji naiknya risiko ketakmampuan kapasitas tubuh manusia bertahan terhadap panas (thermoregulatory) akibat kenaikan temperatur perubahan iklim," ujar Heriza.

Heriza menambahkan, dengan menghitung indeks threshold global, suhu harian udara permukaan dan kelembaban udara (RH) yang menjadi pemicu kematian pada kejadian gelombang panas ditemukan 30 persen penduduk bumi saat ini terpapar ambang global suhu dan RH tersebut, setidaknya 20 hari dalam setahun.

Penelitian itu menghasilkan kesimpulan berupa proyeksi iklim di akhir abad 21. Kesimpulan itu menyebut tidak adanya pengurangan emisi akan berdampak pada peningkatan suhu global. 

"Selain itu paper Mora et al (2017) lebih membahas pada skala global dan tidak menyebut Indonesia secara spesifik," tandasnya.

Selain itu, data kejadian gelombang panas yang dipakai dalam paper itu sebagai dasar analisis dan pengambilan kesimpulan tidak ada satupun yang berasal dari Indonesia.

"Sebagian besar data gelombang panas terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sebagian kecil di India, China dan Australia," pungkas Heriza.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Seberapa Panas Cuaca di Indonesia Saat Ramadan Tiba?

Dalam hitung hari, Ramadan akan segera tiba. Kira-kira pada pertengahan Mei 2018, masyarakat Muslim di Indonesia akan menyambut bulan suci ini dengan suka cita.

Lalu, seperti apa suhu dan cuaca Indonesia nanti saat Ramadan tiba?

Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengatakan berdasarkan data historis pengamatan di sulurh Indonesia suhu di Mei dan Juni akan mencapai 32 hingga 34 derajat Celcius.

"Yang perlu diperhatikan, seluruh daerah berbeda-beda, namun secara umum berada pada kisaran 32 hingga 34 derajat Celcius," kata Hary beberapa waktu lalu.

Untuk suhu pasti, kata Hary, masyarakat diminta untuk menunggu waktu memasuki Mei dan Juni.

"Secara umum gambarannya semacam itu," ucap dia.

Hary membantah asumsi mengenai kondisi terik yang dialami beberapa waktu ini. Dia justru menilai kondisi suhu saat ini normal. "Panasnya normal," lanjutnya.

Hary mengatakan suhu terik yang dirasakan masyarakat kemungkinan karena transisi musim penghujan ke musim panas yang tergolong cepat. Kondisi ini, kata dia, kemungkinan mempengaruhi adaptasi tubuh.

"Dari musim penghujan tiba-tiba panas. Nggak ada awannya sama sekali, tubuh kaget menyesuaikan," jelasnya menambahkan.

3 dari 3 halaman

NASA: Pengurangan CO2 Bisa Selamatkan 150 Juta Manusia

Sebelumnya, Ilmuwan Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Serikat (NASA) melaporkan pengurangan emisi karbondioksida (CO2) jangka pendek dapat menyelamatkan 153 juta jiwa di seluruh dunia.

Penelitian yang didanai NASA dan dilakukan ilmuwan dari Duke University, Amerika Serikat, itu telah dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change.

"Pendekatan paling murah hanyalah mengubah kebijakan sektor energi," tulis peneliti utama, Drew Shindell.

"Kebijakan itu akan menyelamatkan 150 juta jiwa manusia dan akan mengurangi risiko iklim jangka panjang," kata Drew menambahkan.

Dilaporkan Anadolu Agency, para ilmuwan menggunakan permodelan yang mengandaikan kebinasaan manusia karena suhu bumi pada 2100 mencapai 2 derajat Celcius.

Kesepakatan Iklim Paris 2015 yang ditandatangani setiap negara menggunakan patokan dua derajat Celcius untuk membuat kebijakan pemotong emisi karbon.

Meski pemotongan itu dirasa sulit dilakukan negara-negara berkembang, para peneliti terus mendesak pengurangan emisi karbon setidaknya jangka pendek.

Sebab, pengurangan karbon jangka pendek dapat menyelamatkan jutaan jiwa ke depannya.

Para peneliti saat ini memantau pengurangan emisi karbon dioksida di 50 kota urban. Dari beberapa kota besar, antara lain Moskow, Los Angeles, New York, Meksiko City, dan Sao Paolo, usaha menekan emisi karbon akan mengurangi kematian dini dari 320.000 jiwa hingga 120.000 jiwa.

Reporter: Maulana Kautsar 

Sumber: Dream.co.id

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.