Sukses

Informasi Perusahaan

  • TentangBio Farma merupakan salah satu perusahaan BUMN Indonesia yang bergerak di bidang farmasi. Bio Farma fokus pada penelitian, pengembangan, produksi, dan pemasaran produk biologi, produk farmasi secara nasional dan global. Selain itu, Bio Farma pun turut berperan aktif dalam mengembangkan riset dan teknologi vaksin, melakukan penelitian vaksin baru dalam menjamin kemandirian kebutuhan vaksin di dalam negeri serta ketersediaan vaksin untuk memenuhi kebutuhan vaksin di dunia yang berkualitas dan terjangkau.

Berita Terkini

Lihat Semua
Topik Terkait

    Layak Jadi Hub Vaksin Covid-19 ASEAN karena Punya Pengalaman 100 Tahun

    Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto menyarankan Bio Farma sebagai hub vaksin COVID-19 di kawasan Asia Tenggara, terkait kerja sama Indonesia-China yang ingin menjadikan RI sebagai hub regional produsen vaksin.

    "Kalau misalnya ada permintaan menjadikan Bio Farma menjadi hub vaksin COVID-19 di Asia Tenggara, hal tersebut sangat wajar," ujar Toto Pranoto dilansir dari Antara, Senin (7/6/2021).

    Menurut Toto, fasilitas pabrik vaksin yang dimiliki oleh Bio Farma sebagai induk holding BUMN farmasi telah diakui sebagai produsen vaksin yang lolos sertifikasi Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).

    "Pengalaman Bio Farma sebagai produsen vaksin juga sudah lebih dari 100 tahun, sehingga wajar saja reputasi perusahaan ini sangat baik," katanya.

    Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa di sektor BUMN, Indonesia dan China telah menjalin sejumlah kesepakatan penting.

    Salah satunya kerja sama menjadikan Indonesia sebagai hub regional untuk produksi vaksin.

    Menteri BUMN sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID‑19 dan Pemulihan Ekonomi​ Nasional ​​​​​​Erick Thohir menginginkan Indonesia bisa memproduksi vaksin sendiri.

     

    Memproduksi Vaksin untuk Masyarakat Indonesia

    Tidak hanya mengandalkan produk vaksin asal luar negeri, ternyata Pemerintah Indonesia juga berupaya mengembangkan vaksin buatan sendiri untuk memenuhi kuota vaksin di Indonesia, yakni Vaksin yang dikembangkan oleh PT Bio Farma yakni .vaksin merah putih.

    Vaksin Merah Putih ditargetkan akan selesai 2021 dan didistribusikan pada awal 2022. Hal itu bila vaksin Merah Putih sudah melalui seluruh tahap uji klinis fase 1, 2, dan 3.

    Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, perkembangan vaksin Merah Putih. Bibit vaksin Merah Putih diharapkan dapat diserahkan kepada PT Bio Farma pada 2021.

    "Hingga saat ini, vaksin Merah Putih sedang dikembangkan oleh sejumlah universitas dan lembaga penelitian terkemuka di Indonesia. Kami terus mengawal dan dukung pengembangan vaksin ini dengan baik," kata Wiku saat konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (19/11/2020).

    "Dan juga bibit vaksin Merah putih diharapkan dapat diserahkan kepada PT Bio Farma pada tahun 2021. Selanjutnya, Bio Farma akan melakukan uji klinis tahap 1 sampai 3," tambahnya.

    Jika seluruh tahapan uji klinis berjalan dengan baik, maka izin edar vaksin Merah Putih diproyeksikan diperoleh pada akhir 2021 dan akan didistribusikan awal tahun 2022.

     

    Vaksin Polio Bio Farma jadi yang Pertama Terdaftar untuk Penggunaan Darurat WHO

    WHO resmi mendaftarkan vaksin nOPV2 produksi Bio Farma untuk penggunaan darurat guna mengatasi meningkatnya kasus strain polio yang diturunkan dari vaksin di sejumlah negara Afrika dan Mediterania Timur. Selain itu juga negara-negara di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara WHO yang terkena dampak wabah ini.

    Daftar penggunaan darurat atau The emergency use listing (EUL) adalah yang pertama dari jenisnya untuk vaksin dan membuka jalan untuk daftar potensi vaksin COVID-19.

    "Dunia telah membuat kemajuan luar biasa menuju pemberantasan polio, mengurangi kasus polio hingga 99,9 persen dalam 30 tahun terakhir. Tetapi langkah terakhir untuk mengakhiri penyakit ini terbukti paling sulit, terutama dengan terus berjangkitnya virus polio yang diturunkan dari vaksin (cVDPV) yang beredar," dikutip laman WHO Sabtu (14/11/2020).

    Menurut laman tersebut, cVDPV jarang terjadi dan terjadi jika strain virus polio yang dilemahkan yang terkandung dalam vaksin polio oral (OPV) beredar di antara populasi yang kurang diimunisasi untuk waktu yang lama.

    "Jika tidak cukup anak-anak yang diimunisasi terhadap polio, virus yang melemah dapat berpindah antar individu dan seiring waktu secara genetik kembali ke bentuk yang dapat menyebabkan kelumpuhan. CVDPV tipe 2 saat ini adalah bentuk paling umum dari virus yang diturunkan dari vaksin," ungkap WHO.

     

    Berkolaborasi dengan ITB untuk Kembangkan Kit Diagnostik Virus Hepatitis B

    Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama dengan PT Bio Farma (Persero) melakukan penelitian dan pengembangan kit diagnostik untuk mendeteksi keberadaan virus hepatitis B pada serum atau plasma darah manusia.

    Direktorat Humas dan Publikasi ITB dalam siaran persnya, Selasa, melaporkan total peneliti yang terlibat dalam kegiatan ini berjumlah 10 orang, diketuai oleh Ernawati Arifin Giri-Rachman M Si, Ph D dan dibiayai pihak LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).

    Salah seorang peneliti, Meutia Diva Hakim mengatakan, dengan kit diagnostik tersebut, status infeksi seseorang bisa diketahui dengan cepat dan akurat tanpa perlu lagi menggunakan kit diagnostik impor yang harganya mahal.

    Selain itu, Penyakit hepatitis B merupakan penyakit yang sangat serius. Jika tidak segera ditangani, penyakit itu dapat menyebabkan kanker hati dan berujung pada kematian.

    Oleh karena itu perlu upaya pencegahan terhadap infeksi hepatitis B.

    "Keunggulan dari kit diagnostik ini ialah komponen utamanya dikembangkan sendiri mulai dari antibodi, sampai komponen penting lainnya," katanya.

    Meutia Diva Hakim yang merupakan peneliti lulusan SITH ITB angkatan 2012 tersebut, ada dua kit diagnostik yang telah dikembangkan sementara ini, yaitu kit diagnostik untuk mendeteksi infeksi penyakit hepatitis B, dan kit diagnostik untuk menguji keberhasilan vaksinasi hepatitis B.

    Kedua kit diagnostik ini dikembangkan bersama, karena penting untuk pencegahan dan terapi.

    "Misalkan setelah dicek dengan menggunakan kit diagnostik yang pertama, tidak terdeteksi adanya infeksi hepatitis B, maka akan diberikan vaksinasi untuk mencegah infeksi. Nah, kit yang kedua kemudian digunakan untuk menguji keberhasilan vaksinasi," kata dia.

    Hasil pengujian saat ini menunjukkan bahwa kit diagnostik yang dikembangkan tersebut memiliki sensitivitas, akurasi dan keandalan yang setara dengan kit impor yang saat ini tersedia.

    Diharapkan dalam waktu yang tidak lama lagi kedua kit diagnostik yang dikembangkan ini akan bisa dikomersialisasikan.