Sukses

Mantan Analis Goldman Sachs Dihukum Imbas Transaksi Orang Dalam

Mohammed Zina (35) bekerja di Goldman Sachs International, anak perusahaan bank di London. Jaksa menuturkan, dia telah memakai informasi rahasia untuk membeli saham di enam perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang mantan analis Goldman Sachs dijatuhi hukuman 22 bulan penjara pada Jumat, 16 Februari 2024. Hal ini lantaran memakai informasi orang dalam untuk membeli saham di perusahaan tercatat dan hasilkan lebih dari 140.000 poundsterling (USD 175.650). Jumlah itu sekitar Rp 2,74 miliar (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.616).

Mohammed Zina (35) bekerja di Goldman Sachs International, anak perusahaan bank di London. Jaksa menuturkan, dia telah memakai informasi rahasia untuk membeli saham di enam perusahaan antara Juli 2016 dan Desember 2017, termasuk Arm dengan pengetahuan tentang akuisisi perancang chip Inggris oleh SoftBank senilai USD 32 miliar.

Ia mengaku tidak bersalah atas enam pelanggaran transaksi orang dalam dan tiga tuduhan penipuan karena diduga berbohong kepada Tesco Bank tentang tujuan pinjaman yang menurut jaksa digunakan untuk membeli saham tersebut.

Namun, Zina dinyatakan bersalah atas kesembilan dakwaan tersebut pada Kamis pekan ini, setelah diadili di pengadilan London.

Hakim Tony Baumgartner menuturkan kepada Zina, “Anda mengkhianati kepercayaan majikan Anda, serta menipu investor jujur dalam saham yang Anda perdagangkan menggunakan informasi orang dalam yang Anda lihat di tempat kerja,”

“Apa yang Anda lakukan sangat menekan inti pasar keuangan kita, dan kepercayaan, keyakinan masyarakat terhadap pasar tersebut,”

Pengacara Zina menolak berkomentar setelah hukuman tersebut.

Saudara laki-laki Zina, Suhail Zina, yang sebelumnya bekerja di firma hukum Clifford Chance, juga telah diadili tetapi dibebaskan dari sembilan dakwaan atas arahan hakim pada tanggal 5 Februari. Clifford Chance menolak berkomentar.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Memakai Informasi Pribadi

Pada Kamis pekan ini, Juru bicara Goldman Sachs mengatakan Mohammed Zina mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya, dan penyalahgunaan informasi kliennya merupakan kontradiksi langsung dengan nilai-nilai kami. “Kami tidak menoleransi tindakan ini,” ujar dia.

Steve Smart dari Regulator nggris, yang mengajukan penuntutan, juga mengatakan akan ambil tindakan tegas terhadap kejahatan ekoboni.  "Hukuman ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa kejahatan ekonomi ada dalam radar kami, dan kami akan mengambil tindakan untuk menegakkan integritas pasar Inggris," ujar dia.

Jaksa Peter Carter mengatakan kepada juri pada awal persidangan, Mohammed Zina telah menggunakan “informasi pribadi, rahasia, sensitif terhadap harga” untuk berinvestasi di bursa saham.

Dia mengatakan kebijakan internal Goldman Sachs dengan tegas melarang penggunaan informasi rahasia yang diperoleh oleh bank investasi atau karyawannya.

3 dari 4 halaman

Goldman Sachs: Kinerja Ekonomi Inggris Memburuk Sejak Brexit

Sebelumnya diberitakan, bank investasi ternama asal Amerika Serikat, Goldman Sachs menilai perekonomian Inggris pasca-Brexit berkinerja jauh lebih buruk dari negara-negara maju lainnya sejak referendum UE tahun 2016.

Hal itu diungkapkan Goldman Sachs dalam analisis terbaru yang mengulas dampak ekonomi dari keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa.

Melansir CNBC International, Rabu (14/2/2024) dalam catatan berjudul The Structural and Cyclical Costs of Brexit, Goldman memperkirakan bahwa perekonomian Inggris tumbuh 5 persen lebih rendah selama 8 tahun terakhir dibandingkan negara-negara lain yang sebanding.

Namun, dampak yang sebenarnya terhadap perekonomian Inggris bisa berkisar antara 4 persen hingga 8 persen dari produk domestik bruto (PDB) riil negara itu, menurut Goldman Sachs.

Bank itu melihat, Inggris mengalami kesulitan dalam mengekstraksi dampak Brexit dari peristiwa ekonomi simultan lainnya termasuk Covid-19, serta krisis energi pada tahun 2022.

Goldman Sachs mengaitkan kemerosotan ekonomi Inggris dengan tiga faktor utama, yaitu berkurangnya perdagangan; investasi bisnis yang lebih lemah; dan kekurangan tenaga kerja akibat rendahnya imigrasi dari UE.

Sebagai informasi, Inggris memberikan suara 52 persen berbanding 48 persen untuk meninggalkan UE pada 23 Juni 2016, kemudian secara resmi keluar dari UE pada 31 Januari 2020.

Selama periode tersebut hingga saat ini, menurut perkiraan Goldamn Sachs, kinerja perdagangan barang di Inggris berada di bawah negara-negara maju lainnya sekitar 15 persen sejak pemungutan suara untuk keluar dari Uni Eropa, sementara investasi bisnis telah turun "sangat jauh" dari tingkat sebelum referendum.

Selain itu, jumlah imigrasi dari UE ke Inggris juga menurun, yang merupakan janji utama kampanye Vote Leave, dan digantikan oleh kelompok migran non-UE yang kurang aktif secara ekonomi, terutama pelajar.

"Secara keseluruhan, bukti-bukti menunjukkan adanya kerugian jangka panjang yang signifikan dari Brexit," kata penulis laporan Goldman Sachs.

 

4 dari 4 halaman

Akibat Perubahan Pola Imigrasi

Bank Dunia juga mencatat bahwa penurunan perdagangan di Inggris sejalan dengan ekspektasi dan kinerja investasi yang buruk “lebih nyata” dari yang diantisipasi.

Namun, dikatakan bahwa perubahan pola imigrasi menimbulkan dampak siklus yang paling penting bagi perekonomian Inggris – dan inflasi pada khususnya.

"Perubahan arus imigrasi pasca-Brexit telah mengurangi elastisitas pasokan tenaga kerja di Inggris, berkontribusi terhadap lonjakan inflasi pasca-pandemi dan menunjukkan lebih banyak siklus pasar tenaga kerja dan tekanan inflasi di masa depan," kata laporan Goldman Sachs.

PDB per kapita riil Inggris kini hampir tidak meningkat di atas level sebelum pandemi Covid-19 dan saat ini berada 4 persen di atas tingkat pada pertengahan tahun 2016.

Sebagai perbandingan, level kawasan zona euro adalah 8 persen peningkatan dan 15 persen di AS.

Sementara itu, Inggris telah mencatat inflasi yang lebih tinggi selama periode tersebut, dengan harga konsumen di Inggris yang meningkat sebesar 31 persen sejak pertengahan tahun 2016 dibandingkan dengan 27 persen di AS dan 24 persen di zona euro.

Meskipun laporan Goldman Sachs mencatat bahwa perjanjian perdagangan non-UE yang baru berpotensi mengurangi dampak Brexit, perkiraan menunjukkan bahwa manfaatnya mungkin kecil.

Pemerintah Inggris memperkirakan bahwa perjanjian perdagangan bebas dengan Australia akan meningkatkan PDB Inggris sebesar 0,08 persen per tahun, sementara dampak ekonomi dari perjanjian perdagangan baru dengan Swiss masih belum jelas.

Sementara itu, jadwal perjanjian dagang baru dengan mitra utama seperti Amerika Serikat dan India belum diumumkan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.