Sukses

Pandangan Psikolog dari Debat Capres ke-3

Dari perspektif psikologi, seorang pemimpin, terutama seorang Presiden, diharapkan memiliki kemampuan untuk menerima stimulus kapan pun dan memberikan respons yang tenang.

Liputan6.com, Jakarta - Debat Capres ke-3 mengenai Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik telah menjadi perhatian masyarakat luas. Isu-isu yang dibahas dalam debat ini menjadi penentu dalam memantapkan pilihan terhadap salah satu dari tiga Capres.

Meskipun di awal tampak sebagai ajang pembahasan substansi tema, namun dari perspektif psikologi, debat ini berkembang menjadi sebuah arena perang psikologis.

Dalam konteks tersebut, prinsip stimulus-response relationship menjadi kunci pemahaman. Prinsip ini menjelaskan bagaimana stimulus atau rangsangan yang dihasilkan oleh seseorang akan diterima dan direspon oleh lawan bicaranya.

Stimulus yang disampaikan harus menjadi pesan yang matang dan disampaikan dengan cara yang mudah dipahami, bahkan lebih efektif jika disertai dengan gestur tubuh tertentu.

Proses ini melibatkan persepsi penerima terhadap stimulus dan respons yang dihasilkan. Reaksi seseorang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakini, pengalaman masa lalu, kematangan diri, kepribadian, dan kondisi saat itu (tenang, takut, atau terkejut).

Dalam konteks perang psikologi, informasi, komunikasi, propaganda, dan taktik psikologis lainnya digunakan untuk menciptakan stimulus tertentu yang diharapkan memicu respons yang diinginkan.

Dalam Debat Capres ke-3, terlihat adanya Capres yang mahir dalam menciptakan stimulus, sementara yang lain mungkin kurang siap untuk menerimanya, menghasilkan respons yang reaktif dan tidak terstruktur.

Dari perspektif psikologi, seorang pemimpin, terutama seorang Presiden, diharapkan memiliki kemampuan untuk menerima stimulus kapan pun dan memberikan respons yang tenang tanpa menunjukkan gejolak perasaan yang berlebihan. Kondisi ini menjadi penting dalam menilai kematangan sosial seorang pemimpin.

Sebagai contoh, kejadian penembakan terhadap Presiden Reagan pada 1981 dan lemparan sepatu kepada Presiden Bush pada 2008 menunjukkan kemampuan mereka untuk tetap tenang dan memberikan respons yang terkendali dalam situasi krisis.

Dari tontonan perang psikologi di debat Capres ke-3, diharapkan bangsa ini dapat memilih seorang Presiden yang memiliki kematangan kognitif sosial. Seorang pemimpin yang mampu mengelola, menafsirkan, dan merespons setiap stimulus dengan bijaksana.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.