Sukses

Kemendagri Didesak Tak Petieskan Kelanjutan Revisi Qanun Jinayat

Pengesahan draf revisi Qanun Jinayah, yang kini tertahan pada tahapan fasilitasi oleh Kemendagri, dinilai kian mendesak untuk segera dilanjutkan. Simak beritanya:

Liputan6.com, Aceh - Penghujung tahun 2022 sempat menjadi titik terminasi dari wacana perevisian Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat yang dimotori oleh organisasi kemanusiaan di Aceh. Legislator saat itu telah merampungkan draf revisi dari peraturan setingkat perda tersebut, yang diharap akan segera disahkan setelah melewati tahapan fasilitasi oleh kemendagri.

Tahapan fasilitasi sendiri, mengutip Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri, Nyoto Suwignyo, merupakan tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi materi muatan rancangan produk hukum daerah.

Pada ujung tahun yang sama, kemendagri menerbitkan daftar draf rancangan qanun yang telah melewati tahapan fasilitasi dan dapat segera disahkan sebagai qanun. Namun, dari 12 rancangan qanun yang diajukan, kemendagri hanya melakukan tahapan fasilitasi terhadap lima di antaranya.

Adapun kelima rancangan qanun tersebut yakni Qanun Penyelenggaraan Perpustakaan, Qanun Majelis Pendidikan Aceh, Qanun Cadangan Pangan, Qanun Tata Niaga Komoditas Aceh, dan Qanun Bahasa Aceh. Seperti yang tampak, Qanun Jinayah sama sekali tidak tertera di sana.

Seakan menjadi tumbal dari dipetieskannya proses kelanjutan pengesahan draf revisi Qanun Jinayat tersebut, ketika korban kejahatan seksual terhadap anak di Aceh terus berjatuhan, pada saat yang sama pemerkosa anak-anak di Serambi Makkah cuma diberi hukuman cambuk. Ini terjadi berkat adanya alternatif sanksi yang dimuat di dalam Qanun Jinayah, yang selama ini ditentang oleh pemerhati perlindungan dan pemenuhan hak anak korban kejahatan seksual. 

"Baru-baru ini Mahkamah Syar’iyah Sigli menjatuhkan vonis bagi terdakwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak berinisial FR dengan 65 kali cambuk. Di tempat lain, Kejaksaan Negeri Aceh Selatan mengeksekusi terpidana pemerkosaan terhadap anak berinisial S yang divonis 190 kali cambuk oleh Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan," sebut Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, dalam siaran pers diterima Liputan6.com, Minggu (22/10/2023).

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Timbulkan Efek Jera

Sebagai informasi, alat yang selama ini digunakan oleh para eksekutor atau disebut 'jallad' sebagai cambuk adalah sepotong rotan. Umumnya ukuran rotan yang dipilih itu berdiameter 0,7 sampai 1,00 sentimeter, memiliki panjang satu meter, yang ujungnya tidak boleh ganda atau dibelah. Selama eksekusi, jarak eksekutor dengan terhukum yakni 0,70 sampai satu meter.

Eksekutor juga dapat mengambil kuda-kuda dengan jarak antara kaki kiri dan kaki kanan 50 sentimeter sewaktu mengempaskan rotan tersebut ke punggung pesakitan. Adapun pelaksanaan eksekusi digelar di atas panggung berukuran 3x3 meter yang berjarak 12 meter dari penonton. Namun, berdasarkan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat, pelaksanaan uqubat cambuk mesti dilakukan di dalam lapas. 

Terutama untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak, panggung penghakiman dengan cambuk dinilai belum merepresentasikan rasa keadilan. Cambuk bagi predator anak nyatanya jadi tak seseram seperti yang dibayangkan.

Dalam beberapa kasus jarimah lainnya, para tereksekusi bahkan menunjukkan wajah meledek dari atas panggung selama menjalani hukuman.

Dapat dibayangkan pula bagaimana trauma korban terangkat kembali demi melihat pelaku yang merupakan tetangga kembali melenggang kangkung di desa usai menjalani hukuman cambuk beberapa hari yang lalu.

Melihat ini, pengesahan draf revisi Qanun Jinayah, yang kini tertahan pada tahapan fasilitasi oleh Kemendagri, dinilai kian mendesak untuk segera dilanjutkan. Qanun terbaru itu nantinya akan memperkuat pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak korban kejahatan seksual.

Salah satu hal yang juga paling melegakan di dalam qanun yakni tidak diaturnya alternatif sanksi, yang notabene akan memotong kesempatan bagi para pelaku untuk menerima hukuman instan seperti cambuk.

 

3 dari 3 halaman

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Kejahatan Seksual

Berdiri di atas semangat perlindungan dan pemenuhan hak anak korban kejahatan seksual, di dalam draf qanun revisi ini telah dirumuskan hukuman pemberatan kumulatif. Jika selama ini hukuman terhadap predator anak terdiri atas pilihan antara cambuk, denda, dan penjara, maka dalam versi revisi ini, selain dicambuk, para pelaku nantinya juga akan dipenjara. Selain itu, Qanun Jinayat versi revisi terlengkapi dengan memuat hak restitusi dan pemulihan bagi anak yang menjadi korban, sebut Muhammad Qodrat.

Muhammad Qodrat juga mengatakan bahwa vonis hukuman cambuk untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak sesungguhnya bertentangan dengan SE Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, dan SE Jaksa Agung No. SE2/E/Ejp/11/2020 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan Hukum Jinayat di Aceh. 

"Dalam SE Mahkamah Agung disebutkan bahwa perkara jarimah pemerkosaan dan pelecehan seksual yang korbannya adalah anak, maka untuk menjamin perlindungan terhadap anak, kepada terdakwa harus dijatuhi uqubat takzir berupa penjara. Demikian pula dalam SE Jaksa Agung disebutkan bahwa dalam proses penuntutan terhadap pelaku jarimah pemerkosaan dan pelecehan seksual, para jaksa wajib menuntut dengan uqubat penjara," terang dia.

Ironisnya, lanjut Muhammad Qodrat, selalu saja terdapat hakim dan penuntut umum yang malah menghendaki diberlakukannya hukuman cambuk terhadap bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Melihat fenomena yang garib ini, Muhammad Qodrat juga mendesak dilakukannya evaluasi terhadap hakim dan penuntut umum oleh masing-masing pimpinan di lembaga Mahkamah Syar’iyah dan Kejaksaan Negeri di Aceh. Ada apa dengan mereka?

"Sesuai pasal 41 ayat 2 dan pasal 43 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, para hakim dan penuntut umum dalam proses penyelesaian perkara anak sedapat mungkin ditunjuk mereka yang mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi terhadap masalah anak," ujar Muhammad Qodrat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.