Sukses

Cerita Tentang Kemungkinan Salah Data Swab Test Covid-19

Meskipun dinyatakan positif covid-19, namun hingga hari ke sepuluh tetap tak menunjukkan gejala terinfeksi. Nama yang salah menimbulkan kecurigaan.

Liputan6.com, Donggala - Ini kisah seorang yang memiliki mobilitas tinggi, kemudian dinyatakan positif terpapar covid-19. Anehnya, hasil swab memiliki nama berbeda dan disampaikan sangat terlambat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala. Lebih aneh lagi, hingga hari ke sepuluh ia tak merasakan perubahan apapun pada fisiknya.

Pagi hari tanggal 9 November 2020, Erna Sulistyowati mendarat di bandara Mutiara SIS Al Jufrie. Ia dijemput temannya mengendarai sebuah minibus menuju ke sanggar Batik Bannava 01 di Ganti Kabupaten Donggala. Siang sedikit, ia harus menjalani swab test.

“Karena ibu dari luar kota, kami akan swab test covid-19 ya bu. Hasilnya akan keluar paling cepat tiga hari,” kata Fatma, surveillance dari Puskesmas Donggala.

Erna mengiyakan saja karena memang mobilitasnya tinggi. Ia merasa baik-baik saja dan hasil rapid test sebagai syarat terbang juga hasilnya non reaktif.

Setelah menunggu tiga hari, hasil belum juga dikirimkan. Pada hari kelima atau tanggal 14 November 2020, ia harus menyelesaikan pekerjaan di daerah Banten. Maka ia datang ke sebuah klinik menjalani rapid test sebagai syarat terbang. Hasilnya juga non reaktif.

Erna tenang saja. Namun ia berhati-hati dan tetap menjalani isolasi mandiri di sebuah hotel di Tangerang. Telepon bordering, ada persoalan yang harus ia selesaikan. Sementara hasil tes usap tak kunjung turun.

“Saya lalu berinisiatif menghubungi petugas puskesmas. Dan barulah dikirim hasil tes usap itu dan menyatakan saya positif terkena covid-19,” kata Erna, Kamis (19/11/2020).

Erna tak langsung percaya. Ia kemudian mengecek surat yang dikirim melalui aplikasi percakapan WhatsApp tersebut. Namanya ada di urutan kedua.

“Anehnya, nama saya berubah menjadi Eka Sulistyowati. Dan tanggal penerimaan sample tanggal 11 november 2020. Apakah ini salah data?” Erna mempertanyakan.

Tak mau ambil resiko, surat yang diterima sangat terlambat itu tetap membuatnya berhati-hati. Ia tak ingin ada orang lain tertular covid-19 jika ia memang positif. Maka, ia tetap mengisolasi diri dalam sebuah hotel. Tak pernah keluar kamar. Bahkan pesan makananpun ia minta agar waiter meletakkan di depan pintu.

 

simak video pilihan berikut ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Merujuk WHO, Bukan OTG

Namun hingga hari ini, hari ke sepuluh ia tak merasakan perubahan apapun. Sebagai kewaspadaan, Erna kemudian menganggap dirinya sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG). OTG inilah yang disebut asimptomatik.

Istilah OTG atau asimptomatik merujuk pada seseorang yang telah terinfeksi virus, namun tidak merasa sakit atau mengalami gejala apa pun. Ini berbeda dari pra-gejala, yang berarti seseorang tidak menunjukkan gejala pada tahap awal penyakit.

Bagi seseorang yang tidak menunjukkan gejala, waktu antara infeksi dan timbulnya gejala dapat berkisar dari 1-14 hari. Meski begitu, mayoritas orang yang terinfeksi menunjukkan gejala dalam lima hingga enam hari.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gejala Covid-19 yang paling umum antara lain demam, kelelahan, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami sakit dan nyeri, sakit tenggorokan, diare, atau kehilangan bau atau rasa.

Erna Sulistyowati yang dinyatakan positif covid 19 namun terdapat sejumlah kejanggalan dan kini ia mengisolasi diri di sebuah Hotel. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

“Saya tetap tak merasakan gejala itu. Ini aneh. Apa benar saya positif? Ada banyak kejanggalan dalam surat dari Laboratorium Kesehatan itu. Pertama nama yang salah. Kedua, para tetangga di sanggar Batik Bannava lebih dulu diberitahu sedangkan kami yang di sanggar dan menjalani tes malah tak diberitahu. Hasil disampaikan setelah ditanyakan,” kata Erna.

Kejanggalan lain mengenai asal usul. Dalam berita yang disebar di masyarakat, disebutkan yang dinyatakan positif ditemukan di Sanggar Batik Bannava dan berasal dari Semarang. Erna sendiri terbang dari Jakarta sehingga asal pasien harusnya dari Jakarta.

“Jika merujuk KTP, saya ini ber-KTP Yogyakarta. Belum lagi seluruh rapid test hasilnya taka da yang reaktif. Yang paling mencolok, tak ada perubahan apapun hingga hari ke sepuluh,” kata Erna.

 

 

3 dari 3 halaman

Beda Data Puskesmas dan Dinkes

Sementara itu petugas Puskesmas Donggala Kabupaten Donggala yang mengambil contoh tes usap, Fatma menjelaskan bahwa ia menjelaskan sesuai prosedur yang ada. Tentang hasil dan keterlambatan serta sejumlah kekeliruan bukan dari pihaknya.

“Tanggal 9 November 2020 seluruh sampel yang kami ambil langsung kami kirim ke Laboratorium Dinas Kesehatan. Saya tak tahu kok dalam data menjadi tanggal 11 November 2020,” kata Fatma.

Penegasan serupa disampaikan atasan Fatma. Sadat selaku coordinator surveillance Puskesmas Ganti menyebutkan, sebelum diserahkan ke Dinas Kesehatan pihaknya selalu mengecek kesesuaian data.

“Karena secara faktual kami yang mengerjakan. Kami harus mencegah adanya sampel yang tertukar. Data di kami nama tetap ibu Erna Sulistyowati, namun keluarnya menjadi ibu Eka Sulistyowati,” kata Sadat melalui sambungan telepon.

Jika itu salah ketik tentu menjadi sulit diterima logika karena posisi huruf r, n sangat jauh letaknya dengan huruf k. Lagi pula empat huruf bisa menjadi tiga huruf.

Dinas Kesehatan sendiri tak bisa dihubungi sejak tanggal 16/11/2020 hingga hari ini (19/11/2020) tak ada respon.

“Sementara sanggar saya suruh tutup dulu. Sesungguhnya sanggar Batik Bannava bukan sekadar berjualan batik. Kami memproduksi dan memberdayakan ibu-ibu di sekitar sanggar agar lebih produktif,” kata Erna.

Sanggar Batik Bannava adalah satu-satunya sanggar batik yang memproduksi sendiri batik-batik Donggala. Terus riset untuk mencari kearifan local yang akan didokumentasikan menjadi motif. Keberadaan batik Donggala ini membantu masyarakat sekitar untuk lebih produktif.

“Saat ini kami menggelar pelatihan. Setiap kali pelatihan digelar, kami mendatangkan guru dari Jawa. Semua kami lakukan mandiri tanpa subsidi dari pemerintah. Tujuan kami adalah menciptakan masyarakat yang produktif, terutama kaum perempuan. Karena kami tak mampu memberi modal uang, maka kami beri modal ketrampilan dan semua dengan biaya kami sendiri. Sekarang sanggar kami tutup, sampai mendapat kepastian semua berjalan tanpa hambatan. Biarlah pemberdayaan masyarakat itu dikerjakan oleh pemerintah Kabupaten Donggala,” kata Erna.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.