Sukses

Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel Tak Ditahan Meski Divonis Bersalah, Mengapa?

Hingga saat ini jaksa tak menahan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel Iptu Yusuf Purwantoro yang divonis bersalah dalam kasus penipuan oleh Pengadilan Negeri Makassar.

Liputan6.com, Makassar - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang dipimpin oleh Zulkifli telah menjatuhkan pidana 2 tahun 6 bulan kepada Iptu Yusuf Purwantoro, eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Kamis 9 Juli 2020.

Selain hukuman badan, Yusuf yang berstatus terdakwa dalam perkara pidana dugaan penipuan sebesar Rp1 miliar itu, turut mendapat sanksi tambahan. Dalam putusannya, Majelis Hakim memerintahkan ia dimasukkan ke dalam Rutan Klas 1A Makassar.

Meski demikian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum juga melaksanakan perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang telah memerintahkan agar terdakwa segera ditahan di Rutan Klas 1A Makassar. Sebelumnya, terdakwa berstatus tahanan kota.

"Penetapan perintah masuk itu betul ada. Tapi kita tidak tahan karena terdakwa melakukan upaya hukum banding, dan bisa tidak dilakukan penahanan selama belum ada putusan inkrah," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra via telepon, Senin (3/8/2020).

Korban penipuan, A Wijaya mengaku menyesalkan sikap JPU Kejati Sulsel yang dinilainya tidak mematuhi perintah Majelis Hakim PN Makassar yang dengan tegas memerintahkan agar terdakwa segera dimasukkan ke dalam Rutan Klas 1A Makassar.

"Saya menduga sejak awal memang JPU sepertinya ketakutan sama eks Bendahara Brimob ini. Penetapan Hakim saja berani diabaikan. Ke mana lagi kami rakyat kecil begini berharap keadilan jika oknum penegak hukumnya bersikap demikian," terang Wijaya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI) wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Abdul Azis Saleh mengatakan, jika memang ada penetapan Majelis Hakim PN Makassar yang telah memerintahkan terdakwa segera ditahan di Rutan Klas 1A Makassar, maka JPU harus mematuhinya.

Perlawanan upaya hukum banding oleh pihak terdakwa, kata dia, itu hal yang berbeda. Putusan pemidanaan menurutnya berbeda dengan perintah untuk ditahan.

Pemidanaan, kata Azis, bisa dilakukan karena belum inkracht. Tetapi perintah masuk atau perintah agar terdakwa segera ditahan, itu berkaitan dengan ketentuan pasal 21 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang nantinya kewenangan tersebut beralih ke Hakim Pengadilan Tinggi (PT).

Jika dalam amar putusan berbunyi segera ditahan, maka lanjut Azis, itu karena terdakwa dinilai telah memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan penahanan.

"Perintah masuk itu harus segera dilaksanakan sekali pun perkara belum inkrah dalam putusan pemidanaan," ujar Azis.

Ia mengatakan sebuah kewajiban jaksa untuk segera menjalankan perintah dalam putusan termasuk jika dalam putusan terdapat kata-kata memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan dalam Rutan (Rumah Tahanan).

Kalau hal itu Jaksa tak jalankan, maka, lanjut Azis, itu dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini menjalankan putusan hakim pidana.

"Jadi jaksa dalam kasus eks Bendahara Brimob ini dilihat dalam hukum adminstrasi itu dikategorikan sebagai perbuatan tidak menjalankan putusan Pengadilan," tegas Azis.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Vonis 2 Tahun 6 Bulan Penjara Disertai Perintah Ditahan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang dipimpin oleh Zulkifli menjatuhkan hukuman (vonis) pidana 2 tahun 6 bulan atau 2,5 tahun penjara kepada Iptu Yusuf Purwantoro, terdakwa kasus dugaan pidana penipuan dan penggelapan, Kamis 9 Juli 2020.

Tak hanya hukuman badan, Majelis Hakim juga memerintahkan agar eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu ditahan di Rutan Klas 1A Makassar.

"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa membawa-bawa nama institusi dan janji untuk mengembalikan uang korban tapi sampai detik ini tidak ada pengembalian," kata Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya.

Sementara hal-hal yang meringankan, kata Majelis Hakim, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan.

"Bahwa perbuatan terdakwa dinilai bersalah dan melanggar Pasal 378 KUHPidana sehingga atas perbuatannya itu, terdakwa dijatuhi hukuman pidana 2 tahun 6 bulan penjara dan diperintahkan menjalani penahanan di Rutan Klas 1A Makassar dikurangi dengan masa penahanan kotanya serta membayar biaya administrasi persidangan sebesar Rp5.000," ucap Majelis Hakim.

Putusan Majelis Hakim itu dinilai lebih rendah dari tuntutan yang diberikan oleh JPU sebelumnya. Terdakwa dituntut 3 tahun 10 bulan atau 46 bulan penjara.

Tak hanya tuntutan pidana badan, JPU juga menuntut terdakwa ditahan di sel Rumah Tahanan (Rutan) Klas 1 Makassar dimana sebelumnya Pengadilan Negeri Makassar telah melonggarkan status terdakwa sebagai tahanan kota.

Menanggapi putusan Majelis Hakim PN Makassar tersebut, baik Jaksa maupun terdakwa langsung menyatakan upaya banding. "Karena terdakwa banding otomatis kita ikut banding," ucap JPU, Ridwan Saputra.

3 dari 3 halaman

Kronologi Perkara

Dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum sebelumnya mendakwa eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro dengan ancaman Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.

Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personel Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan untuk kebutuhan lain.

Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.

Namun, belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa.

Atas perbuatan terdakwa itu, selain membuat korbannya menanggung kerugian besar, juga membuat malu korban dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.

"Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank," terang korban, A Wijaya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.