Sukses

Kampanye Pencegahan HIV/AIDS ala Trans Gender Rojali

Rojali VC yang dibentuk dari kesamaan menyukai hobi bermain volly, akhirnya membentuk sebuah perkumpulan trans gender.

Liputan6.com, Jayapura Senyum manis Mbak Inul tersipu-sipu, saat melayani Musa (35 tahun), pemuda dari Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen.  “Kaka, mau potong model apa?” katanya dengan ramah kepada Musa.

Hari ini,Mbak Inul melakukan tugasnya dengan sukarela memotong rambut secara gratis, bagi siapa pun yang telah melakukan test HIV/AIDS.

Aksi Mbak Inul dilakukan bersama empat orang teman lainnya yang tergabung dalam perkumpulan trans gender Rojali Volley Ball Club (VC).  “Potong rambutnya gratis ya, jika sudah ada pemeriksaan HIV/AIDS dari petugas kesehatan. Periksa dulu deh, nanti balik lagi kesini ya,” kata Mbak Inul, sambil kembali tersenyum.

Rojali VC sengaja mengambil bagian pada kegiatan Jayapura International AIDS Conference (JIAC) yang digagas oleh Pemerintah Kota Jayapura, mulai 31 Juli hingga 3 Agustus 2019.

Tak hanya itu saja, pada pembukaan konferensi AIDS ini, 14 orang anggota Rojali VC dengan pakaian dan topi tradisional khas Papua melakukan tarian penyambutan yang sangat meriah.

Kemudian, pada hari kedua konferensi AIDS, anggota Rojali VC atas nama Dera dan Diaz, melenggak lenggok bak pramugari, memamerkan busana daur ulang dari bahan plastik hasil rancangan Diaz.Anggota Rojali VC usai melakukan tarian penyambutan di Konferensi Internasional AIDS di Kota Jayapura. (Liputan6.com/Katharina Janur/Rojali VC)

“Kami sedang kampanya go green. Kami ingin lingkungan bersih dan mengajak siapapun untuk tak lagi menggunakan sampah plastik,” ujar Ketua Rojali VC, Merry Perez.

Tak hanya peduli lingkungan, Rojali VC yang dibentuk dari kesamaan menyukai hobi bermain volly, akhirnya membentuk sebuah perkumpulan trans gender. Namun kelompok ini juga beranggotakan masyarakat umum, heterogen yang peduli dengan olahraga, lingkungan, aksi sosial dan kampanye tentang HIV/AIDS. Keanggotaannya Rojali VC sampai saat ini mencapai 30 orang, mulai dari Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi dan Kota Jayapura

“Intinya kelompok ini memiliki visi dan misi yang sama. Kami terus jalan bersama dan saling mendukung. Kami juga melakukan kampanye pencegahan AIDS dan tidak takut untuk memeriksakan HIV/AIDS,” kata Merry.

Kata Merry, untuk mendukung kampanye HIV/AIDS, anggota Rojali secara rutin harus memeriksakan dirinya. Ada sanksi yang diterapkan kelompok ini, jika tak melakukan HIV/AIDS secara rutin. Sanksi itu adalah denda Rp250 ribu per orang.

Kemudian, jika diantara kelompok ini melakukan gosip diantara yang lain, soal hasil pemeriksaan HIV/AIDS, maka akan dikenakan dengan Rp2,5 juta. Fungsi dari uang ini adalah akan mengembalikan para pihak ke kampung halamannya jika kedapatan saling gosip satu dan yang lainnya.  

“Pemeriksaan HIV/AIDS ini dilakukan secara sukarela. Jangan pernah takut. Ini kan sifatnya rahasia, bukan berarti hasilnya akan disebarkan. Tapi hasilnya tetap dirahasiakan. Intinya, jika misalnya ada teman ODHA, janga berkecil hati dan tetap mengkonsumsi ARV untuk mempertahankan daya tubuh kita dan tetap bisa beraktifitas biasanya," kata Merry.  

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

ODHA Tak Akhiri Segalanya

Perempuan beranak satu asal Merauke itu nampak luwes, tidak kaku, bahkan ngobrol dengan banyak orang. Siang itu, Yanti Korida Kaimu (31 tahun), nampak sama seperti peserta konferensi AIDS lainnya.

Mengenakan blouse batik motif Papua warna kuning dipadukan celana jeans warna biru dan sepatu flats, Yanti nampak santai. Sepintas tidak ada yang istimewa dari penampilannya, bahkan tak ada kesan yang menampakkan bahwa perempuan asal Merauke itu adalah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

“Saya bekerja sebagai resepsionis di Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke, sebuah yayasan yang bergerak dalam kampanye HIV/AIDS,” katanya.

Yanti mulai menceritakan dirinya terkena HIV sejak usia 19 tahun. Sebelum diketahui mengidap virus HIV melalui test, Yanti menderita penyakit TBC yang parah. Setelah tuntas minum obat TBC, barulah Yanti rutin megkonsumsi ARV.

“Saya bergabung dengan Yasanto untuk pengobatan dan pendampingan. Saya masih rutin minum sampai saat ini, setiap jam 8 pagi dan jam 8 malam. Say aminum ARV sejak 2006,’’ jelasnya.

Memiliki sikap yang luwes dan perasaan yang bebas dari rasa terintimidasi karena statusnya sebagai ODHA, dilakukan Yanti dengan proses yang lama, hingga akhirnya ia merasa percaya diri.

Yayasan Yasanto  mengajaran Yanti menjadi ODHA yang mandiri. Semua pendamping mengajarkan agar ODHA tak minder dan berkecil hati. “Jika kita terbuka akan memudahkan pengobatan, sebaliknya jika kita tertutup maka sulit juga untuk pengobatan,’’ ujarnya.

Kemandirian yang diajarkan di Yasanto, membuat Yanti dan ODHA lainnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Yasanto juga mengajarkan kami berkebun, membuat keterampilan noken, topi, kalung, gelang dan apapun yang memghasilkan uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga kami,” jelasnya.

Yanti yang sudah menikah dan memiliki satu orang anak berusia 9 tahun. Meskipun ODHA, namun anak dan suaminya tidak tertular virus HIV. Ini dikarenakan Yanti patuh pada saran dokter dan pendamping di Yasanto.

Yanti berpesan kepada sesama ODHA, agar tidak patah semangat dan teru smenyebarkan kebaikan. “Hidup ini hanya sekali. Jangan kita merasa kecil hanya karena ODHA. Mari bangkit dan tetap semangat,” katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.