Sukses

Menguji Pesawat Amphibi Tanpa Awak Buatan UGM

Tim ini sedang mempertimbangkan pembuatan pesawat tanpa awak berbahan dasar bambu.

Liputan6.com, Bantul - Di laguna Opak pantai Samas, Bantul, Yogyakarta, angin bertiup cukup kencang. Sejumlah anak muda membawa dua pesawat tanpa awak yang sekilas seperti mainan anak-anak. Mereka adalah peneliti muda UGM yang tengah meneliti UAV (Unnamed Aerial Vehicle) atau pesawat tanpa awak.

Dewa, salah satunya menyebut sengaja memilih laguna ini karena anginnya cukup kencang. Cocok untuk mengetes kemampuan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang mereka bawa.

Pesawat nir-awak buatan anak-anak muda ini adalah UAV amphibi yang diharapkan bisa take off dan landing dari permukaan air.

"Di daerah bencana, angin biasanya kencang dan sulit mendapatkan permukaan tanah rata untuk take off dan landing UAV konvensional, itulah kenapa kami mencoba mengembangkan UAV amphibi ini," kata Ketua Tim Peneliti UAV UGM, Tri Kuntoro Priyambodo, Senin (22/7/2019).

Untuk pengembangan UAV itu, tim UGM menguji coba dua unit UAV bernama Amphibi Gama V2 di laguna Pantai Samas, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul. Dari uji coba itu, diharapkan ada beberapa hal yang menjadi evaluasi tim untuk mengembangkan UAV agar lebih baik.

Pengembangan UAV pertama kali dilakukan UGM tahun 2015. Menurut Tri Kuntoro, pengembangan UAV dimaksudkan untuk membantu monitoring dan memetakan kondisi gunung berapi aktif di Indonesia.

"Beberapa UAV yang kami buat. UGM secara lembaga juga sudah menghasilkan UAV yang mampu memotret kawah Gunung Agung di tahun 2017 lalu," katanya.

UAV yang sedang diuji itu sebenarnya pengembangan dari UAV Gama UX 628 yang merupakan UAV flying wing konvensional. Sedangkan UAV Amphibi Gama V2 merupakan UAV type fixed wing yang juga dikembangkan dari UAV Amphibi Gama V1. Semuanya produk para peneliti muda UGM.

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menimbang Bambu

Para peneliti muda ini melibatkan banyak orang sesuai dengan kekhususan bidang masing. Masing. Mulai badan pesawat hingga fungsi kontrolnya.

Oktaf Agni Dhewa mengembangkan pesawat tak berawak bersama Nur Achmad Sulistyo Putro, Ardi Puspa Kartika, Faisal Fajri Rahani, Prasetya Aditama, serta Faris Yusuf Baktiar, semuanya dari FMIPA UGM.

Ketika angin masih kencang, mereka kembali mengulang peluncuran pesawat di laguna Opak. Awalnya, pesawat kesulitan take off dengan situasi angin kencang. Setelah diulang beberapa kali, pesawat sukses mengudara.

Wajah serius Dewa tak mengendur meski pesawat telah sukses terbang. Ternyata disebabkan pesawat pertama gagal mendarat di permukaan air dan terbawa angin hingga crash di daratan.

"Kami memang sengaja melakukan tes di kondisi angin besar, faktor angin inilah yang biasanya menjadi kendala dari UAV fixed wings yang memang sangat ringan," kata Tri Kuntoro.

Tim ini mencoba lagi menerbangkan kembali pesawat kedua, dan ternyata take off pesawat kedua ini lebih stabil. Pesawat lalu mencoba ketinggian yang bisa dijangkaunya dilangit pantai samas.

"Ketinggian jelajah maksimal UAV Amphibi V2 ini 1.200 meter, kecepatan maksimal 25 meter/dtk dan kecepatan minimalnya 8 meter/dtk. Mampu terbang 40 menit dengan jangkauan jelajah sekitar 40 kilometer, UAV ini efektif untuk mengamati dari udara," kata Tri.

Pesawat itu dilengkapi sensor akselerometer, sensor gyroscope, sensor barometer, sensor air speed, serta sistem navigasi GPS. Kapasitas muatan 1,5 Kg dan beban muatan maksimal untuk take off 6 kg. Dimensi pesawat panjang 1.350 mm dan dengan bentang sayap 2.000 mm.

UAV ini juga dilengkapi  sistem autopilot dan mampu terbang mandiri untuk monitoring maupun memetakan lingkungan sekitar gunung berapi atau lingkungan lainnya.

Usai terbang dalam angin kencang selama 15 menit, sistem kontrol manual mulai diaktifkan untuk pendaratan. Awalnya pesawat terlihat kesulitan mendarat. Setelah pilot bermanuver, pesawat mengakhiri penerbangannya di permukaan laguna Opak.

"Dari uji coba ini, angin masih menjadi kendala. Ke depan akan mengembangkan material badan dan sayap pesawat yang bisa disesuaikan dengan misi dan medannya. Salah satu materi yang dipertimbangkan, badan dan sayap pesawat menggunakan bambu," kata Tri.

Selain sayap dan badan pesawat, UGM sendiri juga tengah mengembngkan penggunaan solar sel yang bisa memperlama waktu terbang UAV, sehingga nantinya pemantauan udara yang dilakukan oleh UAV menjadi lebih efektif.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.