Sukses

Lenggok Dewi Sri dan Kidung Petani untuk Bumi Lestari

Sosok Dewi Sri yang molek menyimbolkan bagaimana umat manusia mesti bersahabat dengan alam, salah satunya dengan pertanian organik.

Liputan6.com, Banyumas - Matahari sudah meninggi ketika suara gamelan mulai mengalun. Ratusan petani bercaping bambu berduyun-duyun memasuki lapangan Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.

Gunungan hasil bumi berisi sayur mayur dan buah tegak berdiri di atas panggung. Delapan belas gubuk berhias orang-orangan sawah didirikan di sisi-sisi lapangan.

Tiba-tiba sebuah kereta kencana yang dipanggul delapan pria menyeruak. Satu sosok jelita turun mengenakan busana berwarna hijau. Rambutnya disanggul berhias ronce melati yang merumbai hingga ke punggung.

Selendang atau sampur berwarna kuning, terapit dalam lentik jemarinya. Inilah Dewi Sri, sang dewi perlambang kesuburan. Ia pun mulai menari gemulai.

Sosok Dewi Sri yang diperankan oleh Mahesa Wahyu Sari (22) tak sendirian ketika menari. Ia didampingi oleh ratusan warga dan anak-anak Desa Wlahar Wetan dalam sebuah tarian kolosal.

Inilah puncak dan inti Festival Seni Budaya Pertanian Desa Wlahar Wetan. Festival yang menggambarkan rasa syukur karena panen melimpah, utamanya pertanian organik.

Dalam kebudayaan Jawa, kesejahteraan selalu disimbolkan dalam sosok perempuan. Dewi Sri misalnya, adalah sosok dari Kahyangan yang melambangkan kesuburan dan kelangsungan hidup umat manusia.

Sosoknya yang molek menyimbolkan bagaimana umat manusia mesti bersahabat dengan alam. Petani-petani, diajarkan ketika mengambil manfaat dari alam, maka ia pun mesti menimbal balik bumi berupa bahan alami untuk pertanian organik.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

Simak video menarik pilihan berikut di bawah:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pesan dalam Sepenggal Tari

Kehidupan petani yang selalu selaras dengan alam ini lantas lenyap dalam sekejap bersama munculnya revolusi hijau. Demi swasembada pangan, pupuk-pupuk kimia dikenalkan. Pupuk kimia telah merusak tatatan keselarasan petani dengan ibu bumi.

Timbal balik sebagai bagian dari keselarasan tak lagi ditemui. Petani pun cenderung berubah menjadi pemanfaat alam. Sebagian besar petani mengekploitasi alam sehingga terus mengalami degradasi.

Beruntung, masih ada yang menyadari bahwa kini, pertanian telah jauh dari pesan keselarasan. Adalah warga Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kalibagor yang menggelar Festival Seni Budaya Pertanian, sebuah seni tradisi bernuansa Agricultural ceremonies.

Pesan besarnya, mereka ingin kembali bersahabat dengan alam. Warga mulai kembali menerapkan pertanian organik berbasis kemandirian.

"Saat ini ada 15 hektare yang menerapkan pertanian organik. Secara bertahap akan terus dikembangkan," ucap Kepala Desa Wlahar Wetan, Dodiet Prasetyo, Minggu, 19 Agustus 2018.

Dia menjelaskan, festival ini diadakan untuk mengangkat potensi lokal dalam bidang pertanian yang selaras dengan kearifan lokal dengan balutan seni. Pertanian organik diangkat untuk mengampanyekan pemanfaatan alam dengan semangat menjaga kelestarian.

3 dari 3 halaman

Tradisi Seni Masyarakat Petani di Banyumas

Dari 365 hektare luas wilayah Desa Wlahar Wetan, 120 hektare di antaranya adalah lahan pertanian. 80 persen warganya hidup dari sektor pertanian. Pertanian adalah denyut nadi kehidupan Wlahar Wetan.

Festival Seni Budaya Pertanian Wlahar Wetan digelar sebagai wujud syukur petani yang telah mendapat berkah dari Tuhan. Lewat festival ini diharapkan muncul generasi baru yang meneruskan perjuangan para petani.

Mereka bakal dididik untuk menjaga tradisi pertanian yang menjaga kelestarian alam layaknya yang sudah diajarkan generasi terdahulu. Mereka bakal menjamin regenerasi petani Wlahar Wetan yang menjaga kearifan lokal.

Mahesa, pemeran sosok Dewi Sri menerangkan, dalam kebudayaan Banyumas, ritus kesuburan dan kesejahteraan petani telah diekspresikan dalam bentuk seni. Pertunjukan rakyat Cowongan, misalnya, adalah ritual memanggil hujan saat kemarau panjang melanda membawa dampak kekeringan pada lahan-lahan pertanian.

"Kalau di pertunjukan tadi, bersamaan pembacaan legenda Dewi Sri saya memainkan tari Baladewa," ucap Mahesa, yang seorang lulusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang ini.

Festival bertajuk "Desaku Mandiri Harapanku Sejahtera" ini pun rupanya disambut antusias oleh warganya. Madiarjo (75) misalnya, rela berjalan kaki berkilometer dari ujung barat desa bersama cucunya untuk mengikuti karnaval tematik budaya desa.

Ia berbusana batik dan mengenakan blangkon. Sesampai di lapangan, Madiarjo menunggang kuda dari anyaman bambu. Hari itu, ia libur dari segala aktivitas dan meriung bersama warga menikmati pertunjukan seni.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.