Sukses

Menghidupkan Roh Tradisi Yang 200 Tahun Mati

Pernikahan dengan konsep Gladhi Ageng terakhir dilakukan zaman kerajaan-kerajaan Nusantara masih berjaya, sekitar 200 tahun lalu.

Klaten - Walimatul ursy atau pesta pernikahan biasa digelar di gedung atau di bawah tenda. Tempat duduk tamu undangan mengarah ke kursi pelaminan dihibur alunan musik hingga pengajian.

Suasana berbeda pesta pernikahan unik yang digelar di lapangan sepak bola Dodiklatpur Rindam IV Diponegoro Klaten, Desa Glodogan, Kecamatan Klaten Selatan, Minggu, 15 Juli 2018. Kursi tamu berjajar di bawah tenda sepanjang lapangan sepak bola.

Tak menghadap ke pelaminan, pandangan para tamu diarahkan ke lapangan. Sambil menyantap hidangan yang disuguhkan, mereka menyaksikan para pemanah tradisional adu ketepatan.

Suara desing anak panah bersahutan dengan tabuhan genderang. Seakan menggantikan alunan musik yang biasa terdengar saat pesta pernikahan digelar. 

Pakaian yang dikenakan para pemanah pun unik. Mereka mengenakan beragam pakaian tradisional seperti pakaian adat Jawa, Aceh, Nusa Tenggara Barat, hingga Makasar. Ada pula pemanah yang mengenakan jubah dan surban ala Pangeran Diponegoro.

Demikian pula dengan para wanita ada yang mengenakan cadar. Aksi pemanah berkuda menjadi hiburan lain yang dihadirkan pada pesta pernikahan tersebut.

Aksi mempelai laki-laki beserta ayahnya menjadi hiburan puncak bagi para tamu. Ayah dan anak mengenakan pakaian adat Jawa itu mengarahkan anak panah pada berbagai sasaran. Mulai kendi hingga potongan logam di puncak bambu berdiri.

Para tamu sesaat meletakkan makanan yang disuguhkan kepada mereka, ikhlas untuk bertepuk tangan ketika ayah dan anak itu berhasil melesatkan anak panah pada target sasaran. Bukan hanya pernikahan unik, tapi hiburan yang langka.

Ikuti berita-berita menarik lainnya dari Solopos.com di tautan berikut ini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Zaman Kesultanan

Konsep pernikahan itu dinamai Gladhen Ageng. Diselenggarakan pada upacara ngunduh mantu pasangan pengantin Muhammad Yahya Ayyas asal Desa Jagalan, Kecamatan Karangnongko, Klaten dan Royhanah asal Kabupaten Wonosobo itu.

Melibatkan 99 pemanah tradisional dari 12 provinsi. Mereka adalah para pemanah yang tergabung pada Komunitas Panahan Berkuda Indonesia (KPBI).

Bambang Minarno yang merupakan ayah dari pengantin laki-laki, Ayyas, merupakan ketua KPBI cabang Jogja-Solo. Ide menghadirkan gladhen ageng pada pesta pernikahan muncul dari usulan para anggota komunitas.

Bambang sendiri adalah pengusaha kuliner asal Klaten. Ia menjelaskan konsep pernikahan dirancang selama sebulan.

"Sebagai pertunjukan menghibur para tamu. Juga untuk menghidupkan kembali budaya masa lampau yang telah lama hilang," kata Bambang.

Menurut Bambang pada zaman kasultanan, gladen ageng sering dihadirkan pada pesta pernikahan atau khitanan. Hiburan itu muncul pada zaman kerajaan Turki Usmani.

"Konsep ini diadopsi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Kali terakhir sekitar 200 tahun lalu,” kata Bambang.

Simak video menarik pilihan berikut :

 

3 dari 3 halaman

Pesan Adab

Selain sebagai hiburan, panahan tradisional juga memiliki beragam pelajaran. Ada adab adiluhung yang harus dipatuhi para pemanah. Dalam memanah, selain melatih kesabaran dan kesigapan juga mengasah sikap rendah hati dan tidak meremehkan orang lain.

“Semoga semakin banyak event lain yang bisa menghadirkan seperti ini,” katanya.

Bambang mengatakan ada hadiah bagi para peserta gladhen ageng. Mereka yang meraih nilai terbanyak berkesempatan menjalani pertandingan panahan di Malaysia dan Singapura.

Sementara itu mempelai laki-laki, Muhammad Yahya Ayyas mengaku bersyukur bisa menghadirkan hiburan memanah tradisional. Ia melangsungkan akad nikah pada 8 Juli lalu atau setelah tiga hari menginjak usia 17 tahun. Istrinya saat ini berusia 20 tahun.

“Alhamdulillah sangat senang dan beruntung sekali bisa ada diantara orang-orang hebat seperti ini,” kata Yahya Ayyas.

Wijiyanto, salah satu tamu undangan mengaku baru pertama menghadiri pesta pernikahan dengan konsep hiburan berupa panahan tradisional dan berkuda. Biasanya, ia mendatangi pesta pernikahan yang menghadirkan hiburan musik serta pengajian.

“Baru kali ini menikmati pesta pernikahan dengan hiburan panahan. Pesertanya bagus-bagus dari luar daerah bahkan ada yang dari Malaysia. Jauh sekali dengan pesta pernikahan lainnya. Ini asyik sekali,” kata warga Desa Blimbing, Kecamatan Karangnongko itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.