Sukses

Obrolan Para Pejuang yang Menembus Barikade Hukum Pemilu

Membawa sengketa pemilu melalui peradilan di MK diawali dari Jawa Tengah, kini mereka menggagas sebuah konsep baru. Apa itu?

Liputan6.com, Semarang - Penuntasan perselisihan hasil Pemilu selama ini dinilai belum memenuhi rasa keadilan elektoral. Hal itu disebabkan karena ada batas ambang batas minimal selisih jumlah suara dan juga batas waktu yang ditentukan.

Penilaian ini mengemuka dalam sebuah seminar nasional tentang Pemilu di Fakultas Hukum Undip. Menghadirkan pembicara Dr. Hasyim Asy'ari, PhD (Komisioner KPU), Bu Dr. Sri Wahyu Ananingsih, SH.MHum (BAwaslu Jateng), Prof M. Guntur Hamzah (Sekjen MK), dan Prof M. Fauzan (Guru Besar HTN FH UNSOED), dan Denny Septiviant SH (praktisi advokat Pilkada).

Komisioner KPU, Dr Hasyim Asy'ari menuturkan bahwa sejarah penyelesaian pilkada dan pemilu secara umum melalui pengadilan, dimulai dari Jawa Tengah. Saat itu pada Pilkada 2015 di Kabupaten Pemalang ada selisih penghitungan suara.

"Saat itu oleh salah satu pasangan calon, kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Atas hal ini, saya menaruh hormat kepada mas Denny Septiviant yang berinisiatif mendaftarkan gugatan ke MK pertama kali di Indonesia. Dan akhirnya menjadi preseden solusi sengketa pemilu yang sangat baik karena tak ada anarkisme," kata Hasyim.

Denny sendiri bercerita, sebagai advokat, ia akhirnya terlibat dalam sejumlah Pilkada mulai tahun 2015, 2017 dan 2018 di sejumlah daerah. Gagasannya memanfaatkan MK sebagai upaya meredam kekerasan akhirnya menjadi tren.

"Namun ketika semua sengketa hasil pemilu berujung perselisihan, tentu MK menjadi sangat sibuk. Prinsip peradilan yang mekanismenya sederhana, waktu singkat, dan murah mengharuskan Bawaslu diperkuat posisinya," kata Denny kepada Liputan6.com, Senin (10/9/2018).

Simak video menarik di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sidang MK Bertele-tele

Penguatan Bawaslu itu akan memberi kepuasan dan meningkatkan kepercayaan publik karena sengketanya diselesaikan secara terbuka dan partisipatif (musyawarah).

"Akan lebih baik lagi jika dibentuk peradilan khusus kepemiluan secara ad hoc," kata Denny.

Ide pembentukan peradilan ad hoc kepemiluan itu didasari pengalaman bahwa ambang batas minimal selisih jumlah suara dan batas waktu tersebut menjadi problem di lapangan. Persoalan-persoalan di hulu seperti money politik dan kecurangan-kecurangan lain tidak terselesaikan dengan sempurna.

Atas ide ini, Sekjen Mahkamah konstitusi Guntur Hamzah menyebut bahwa lontaran itu jika direalisasi akan mengurangi beban persidangan di MK. Biasanya menjadi bertele-tele karena harus menyidangkan dalil-dalil seputar kecurangan sebelum pemungutan suara.

"Terkait ambang batas minimal selisih jumlah suara, saya kira perlu kajian lebih lanjut," kata Guntur.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.