Sukses

Kata Trauma yang Terlalu Sering Digunakan Bisa Membuat Sarat Arti

Banyak orang menggunakan kata “trauma” untuk mendeskripsikan hal-hal seperti bos yang mengirimi pesan di luar jam kerja atau kantor yang secara tidak resmi mengajak makan siang bersama.

Liputan6.com, Jakarta Harus bekerja dengan bos yang dianggap kejam oleh teman kerja menjadi hal yang kemungkinan dapat mewarnai kehidupan profesional selama bertahun-tahun yang akan datang.

Biasanya fase yang terjadi adalah takut jika harus izin karena sakit, dimarahi lewat chat atau diharapkan bekerja lembur. Semuanya merupakan pengalaman yang membuat frustasi dan kerap kali memalukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, para karyawan banyak yang merasa nyaman melabeli budaya di tempat kerjanya yang di bawah standar sebagai trauma.

Menurut Janina Fisher, psikolog klinis dan penulis mengatakan, sebenarnya banyak dari pengalaman yang digambarkan oleh pekerja tidak benar-benar memenuhi syarat sebagai trauma.

Sebagai informasi, Fisher juga adalah mantan instruktur di Harvard Medical School yang penelitiannya telah memajukan bidang perawatan trauma.“Diremehkan adalah pengalaman yang memang sangat menyusahkan tapi itu bukan berarti traumatis,” kata Fisher dilansir dari CNBC, Senin (9/1/2023). 

Banyak orang menggunakan kata “trauma” untuk mendeskripsikan hal-hal seperti bos yang mengirimi pesan di luar jam kerja atau kantor yang secara tidak resmi mengajak makan siang bersama.“Membedakan antara tertekan dan trauma itu penting,” tambah Fisher.

• Trauma vs kesusahan

Definisi trauma sendiri tentunya bervariasi. Namun Fisher menggunakan definisi yang dibuat oleh psikolog klinis dan peneliti trauma Karen Saakvitne yang definisinya trauma psikologis adalah pengalaman individu yang unik dari suatu peristiwa atau kondisi bertahan lama.

Di mana kemampuan individu untuk mengintegrasikan pengalaman emosionalnya kewalahan (yaitu kemampuannya untuk tetap hadir, memahami apa yang terjadi, mengintegrasikan perasaan) dan memahami pengalaman tersebut), atau individu mengalami (secara subyektif) ancaman terhadap kehidupan, integritas tubuh, atau kewarasan.

”Semua ini menggambarkan sesuatu yang sangat berbeda dari tertekan. Peristiwa yang menyusahkan tidak menghasilkan respons yang sama dengan peristiwa yang traumatis.

“Kesusahan adalah disakiti, dihina, sedih, atau marah sedangkan Trauma menyebabkan kewalahan, pingsan, rasa sakit fisik yang menyiksa, dan ketakutan akan hidup atau mati,” kata Fisher.

Misalnya di tempat kerja, apakah Anda disakiti dan marah oleh atasan Anda atau apakah Anda benar-benar takut pada mereka? Yang pertama adalah reaksi terhadap kesusahan sedangkan yang kedua adalah reaksi dari trauma.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hal Lain

• Bahaya penggunaan ‘trauma’ secara kausal

Membedakan antara keduanya mungkin tampak berlebihan. Namun Fisher merasa hal yang membuatya kesal adalah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan profesional kesehatan mental dan masyarakat secara keseluruhan, bahwa trauma memang ada tapi tidak sering terjadiNamun kini, orang melabeli semuanya sebagai traumatis.

"Kita telah beralih dari memahami trauma sebagai peristiwa yang luar biasa dan menakutkan menjadi peristiwa yang hanya menyusahkan," jelas dia.

Dia tidak ingin meremehkan betapa merusaknya orang tua atau bos yang mengabaikan atau menolak. Peristiwa yang menyusahkan, atau berbagai rangkaian peristiwa dapat menimbulkan perasaan yang cukup parah yang memang pantas untuk dihormati.

Fisher juga merasa bahwa semakin banyak kata “trauma” yang digunakan, semakin sedikit artinya.“Kita harus sadar bahwa jika tren ini berlanjut kita akan membuat istilah trauma menjadi tidak ada artinya lagi,” katanya.

 

Penulis: Nita Suci Lydiarti

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.