Sukses

Kerugian Besar Belanda di Perang Diponegoro: 20 Juta Gulden, Berapa Nilainya Kini?

De Kock harus membangun 258 benteng dengan pelbagai ukuran yang tersebar di sejumlah medan perang.  Pembangunan ratusan benteng ini menelan biaya sangat besar.

Diperbarui 06 Oktober 2025, 08:06 WIB
Share
Copy Link
Batalkan
Jadi intinya...
  • Perang Jawa 1825-1830 dipicu Pangeran Diponegoro melawan campur tangan Belanda.
  • Perang ini rugikan Belanda 20 juta gulden dan paksa strategi modern.
  • Belanda terapkan Cultuurstelsel, raup untung besar setelah perang.

Liputan6.com, Jakarta Perang Jawa yang berkecamuk dari tahun 1825 sampai 1830 menjadi tapal batas sejarah yang membuka masa kolonialisme di Indonesia. Perang itu dikobarkan seorang panglima perang Jawa dari Yogyakarta, Pangeran Diponegoro.

Sketsa karya Mayor Francois de Stuers menggambarkan sosoknya sebagai pangeran gagah yang menunggang kuda. Di kepalanya melekat surban. Tubuhnya dibalut pakaian perang sabil. Sementara dalam Babad, Diponegoro digambarkan sebagai pejuang keadilan yang ikonik dan ulama karismatik.

Perang ini juga menjadi pertama kalinya pemerintahan kolonial menghadapi pemberontakan sosial skala besar. Padamnya perang Jawa dengan tertangkapnya Diponegoro dianggap Belanda sebagai penanda rezim kolonial menduduki Jawa secara penuh.

Sejarawan Saleh A Djamhari dalam bukunya Strategi Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830 mengisahkan, perang pecah lantaran Diponegoro gerah melihat ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta. 

Diponegoro menyingkir dari lingkungan kraton. Padahal, Diponegoro begitu lekat dengan lingkungan Istana. Dia adalah putra sulung Hamengkubuwana III dari istri selirnya R.A. Mangkarawati. Diponegoro melepaskan status kebangsawanannya untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.

Perselisihan dipicu campur tangan Belanda dalam kehidupan Keraton Yogyakarta, beban ekonomi rakyat akibat aturan pajak pemerintah kolonial Belanda, dan adanya pengusiran terhadap rakyat karena tanahnya termasuk tanah yang disewakan.

Puncaknya, Diponegoro meradang makam leluhurnya di Tegalrejo dipasang patok-patok untuk jalan. Sebab-sebab itu yang memicu Perang Diponegoro.

2 dari 4 halaman

Belanda Rugi Besar

Sang pangeran terkenal sebagai salah satu musuh Belanda yang paling sulit ditaklukkan. Perlawanannya selama lima tahun pada tahun 1825-1830 begitu merepotkan. Perang Jawa ini memaksa Belanda untuk pertama kalinya harus menerapkan strategi dan taktik modern. 

Sejarah mencatat, perang dengan Diponegoro membuat keuangan pemerintah kolonial kolaps. Pertempuran ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap Belanda. Kerugiannya tidak kurang dari 20 juta gulden.  Bila dikonversi senilai 25 miliar dolar Amerika (angka sekarang) atau Rp 417,575 triliun.

"25 miliar dolar. Jadi ini menyulitkan ini menyulitkan anggaran Hinda Belanda," kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris dikenal karena dedikasinya meneliti Diponegoro dan Perang Jawa kepada Liputan6.com, Jumat (28/9/2025).

Anggaran perang yang membengkak ini tidak lepas dari strategi perang Stelsel Benteng yang diterapkan Letnan Gubernur Jenderal de Kock.

Dalam pelaksanaan taktik atrisi ini, De Kock harus membangun 258 benteng dengan pelbagai ukuran yang tersebar di sejumlah medan perang. Mulai dari Pajang, Mataram, Kedu, Begelen, Ledok dan Monconegoro Timur. Pembangunan ratusan benteng ini menelan biaya sangat besar dalam jangka waktu perang yang panjang.

3 dari 4 halaman

Masa Kelam Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch

Setelah Perang Jawa, kas pemerintah Belanda jadi kosong dan utang menumpuk. Dengan kondisi keuangan yang memburuk ini, Raja William I mengutus Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch untuk menyelamatkan Kerajaan Belanda dari kebangkrutan melalui eksploitasi Jawa.

Di bawah kepemimpinan Van den Bosch, pemerintah kolonial akhirnya menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa. Kebijakan ini mewajibkan petani menanam komoditas ekspor (kopi, tebu, tarum) yang laku di Eropa. Sebagian tanah rakyat juga harus dijual kepada pemerintah kolonial.

Kebijakan ini diterapkan sejak 1830 hingga 1870, dan bukannya membawa kesejahteraan, justru semakin memperparah penderitaan masyarakat karena beban kerja dan hasil panen yang harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Peter Carey mengatakan, sistem ini berhasil bagi Belanda. Tidak hanya membayar utang, Cultuurstelsel menghasilkan keuntungan besar (surplus) bagi kas Belanda. 

Belanda meraup untung 823 juta gulden dari tanam paksa. Bila dikonversi sekarang mencapai 100 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp 1.670,299 triliun. Artinya, Belanda mendapatkan untuk 40 kali dari anggaran perang yang dikeluarkan selama Perang Jawa.

Bahkan, menurut Peter, 1/3 dari anggaran pemerintah Belanda di Eropa berasal dari Jawa. "Rakyat sendiri mereka mengalami satu situasi yang sangat buruk sekali, Belanda bisa meraih untung gila-gilaannya dari culturestelsel, 832 juta gulden. 40 kali meraih dari Jawa dalam culturestelse," ujar dia.

Nahasnya, kata Peter, tidak ada sepeser pun yang dipakai untuk pendidikan atau kesejahteraan rakyat.

"Jadi ada kelaparan besar di Demak dan di Tegal, ada banyak wewenang yang tidak menguntungkan sama sekali dan hanya orang jago atau orang yang bisa melindungi rakyat bisa ada tindakan terhadap Belanda," tutup Peter.

4 dari 4 halaman

Korban Perang Jawa

Perang Diponegoro tidak hanya merugikan Belanda dari segi ekonomi, tetapi juga korban jiwa dan psikologi. Dalam memoarnya, Memoires sur la guerre de 'ile de Java de 1825-1830 (1834), Kolonel Ridder de Stuers, anak menantu Jenderal H.M. de Kock memperkirakan "Perang Jawa", yang berawal dari 19 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830, telah menelan korban sebanyak 12.749 orang meninggal di Daerah Militer Besar II, (Jawa Tengah). 

Jumlah korban yang hilang atau meninggal dalam perang mencapai 15.000 orang. Dari jumlah itu, 8.000 orang di antaranya dari Eropa dan 7.000 lainnya adalah pasukan pribumi.

Lebih dari dua per tiga Expeditionnaire Afdeeling (yang datang dari Nederland pada 1826) yang berkekuatan 3.134 orang tewas. Sisanya kurang dari sepertiga memilih tetap berdinas sebagai NOIL dan seperenamnya lagi memilih kembali ke Eropa.

EnamPlus