Sukses

Kemenag Sebut Indonesia Punya Daya Tahan Ideologi Transnasional

Kemenag menilai ormas keagamaan Islam di Indonesia memiliki infrastruktur sosial yang sangat kokoh. Hal ini pula yang membuat Indonesia memiliki daya tahan terhadap paham atau ideologi transnasional.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia adalah negara yang paling majemuk atau plural di dunia. Namun demikian, Indonesia memiliki tingkat stabilitas sosial politik yang baik. Hal ini tentu tak terlepas adanya kontribusi fundamental dari ormas-ormas keagamaan yang menjadi fondasi infrastruktur sosial.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, saat Silaturrahim Menteri Agama dengan Ormas Islam Tingkat Pusat, yang bertajuk "Memperkuat Kebersamaan dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa" di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta, Kamis (4/4/2024) petang.

Ia menilai, ormas keagamaan Islam di Indonesia memiliki infrastruktur sosial yang sangat kokoh. Hal ini pula yang membuat Indonesia memiliki daya tahan terhadap paham atau ideologi transnasional.

"Ini sesuatu yang sangat membanggakan yang harus kita rawat dan jaga bersama. Kemajuan teknologi informasi yang bisa masuk ke anak-anak kita, sinergi antara pemerintah dan ormas tentu menjadi hal yang sangat penting," kata Kamaruddin.

Menurutnya, Pemerintah Indonesia dan ormas keagamaan Islam punya visi yang sama, sinergi maksimal, dan hubungan yang mesra.

"Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama di Indonesia. Hal itu bisa terwujud manakala pemerintah dan ormas-ormas Islam bekerja bersama," ujarnya di hadapan puluhan perwakilan ormas Islam yang menerima bantuan langsung operasional oleh Menteri Agama.

Kamaruddin menilai, Islam di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Mathla’ul Anwar, Jamiat Khair, Syarikat Islam, dan lainnya berperan penting dalam proses berbangsa dan bernegara. Mereka berkontribusi baik sebelum maupun setelah Indonesia merdeka dan mengisi kemerdekaan.

Merujuk data World Population Review, lanjutnya, Indonesia tidak lagi menjadi negara Muslim terbesar di dunia karena titel itu sudah diambil alih oleh Pakistan. Saat ini populasi penduduk Muslim Pakistan mencapai 240,8 juta jiwa (98,19% dari total populasi). Sementara Indonesia sebanyak 236 juta jiwa (84,35% dari total populasi).

Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa Islam akan menjadi agama mayoritas di dunia pada 2050 nanti.

"Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang semakin menarik, agama yang semakin dirasakan signifikansinya dalam kehidupan umat manusia," jelasnya.

Ia menambahkan, tren kenaikan pemeluk Islam tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, tetapi juga negara-negara di Eropa Barat, Amerika, Skandinavia, Eropa Timur, Asia Timur, Australia, dan belahan dunia lainnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Indonesia Negara Paling Pantas Mewakili Dunia Islam

Kamaruddin menyebut, Indonesia adalah negara yang partisipasi penduduknya tertinggi di dunia. Banyak lembaga pendidikan, terutama Islam, lembaga dakwah, dan majelis taklim digerakkan oleh masyarakat dan tidak didominasi oleh pemerintah.

"Tidak ada negara seperti Indonesia ini yang misalnya pendidikan Islamnya mayoritas dimiliki oleh masyarakat. Ini menjadi kekhasan Islam di Indonesia yang menjadi sorotan oleh para peneliti Eropa dan Amerika," terangnya.

Menurutnya, Indonesia negara yang paling pantas mewakili dunia Islam karena memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan Islam dengan demokrasi. Dalam pandangannya, itu semua berkaitan dengan perjuangan dan khidmat para tokoh ormas keagamaan Islam.

“Kalau mau melihat Islam diimplementasikan atau diartikulasikan, maka lihatlah Indonesia sebagai salah satu negara yang paling representatif untuk melihat bagaimana Islam dan demokrasi kompatibel," kata dia.

Kamaruddin mengaku bersyukur karena pemilihan umum yang baru saja selesai dilaksanakan tanpa ada kekerasan berbasis agama atau politik identitas. Padahal dalam pesta demokrasi di Eropa Barat dan Amerika, politik identitas masih cukup kental.

"Ini lagi-lagi adalah berkat kerja keras, kerja sama, sinergi, dan kolaborasi antara kita semua, antara pemerintah dengan civil society, ormas-ormas keagamaan, pondok pesantren, penceramah, para ulama, dan para kiai," ucapnya. (Achmad Sudarno)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini