Sukses

Kasus Mycoplasma Pneumoniae, Efek dari Long Covid-19?

Enam anak yang terkonfirmasi terinfeksi bakteri mycoplasma pneumoniae di DKI Jakarta telah dinyatakan sembuh.

Liputan6.com, Jakarta - Enam anak yang terkonfirmasi terinfeksi bakteri mycoplasma pneumoniae telah dinyatakan sembuh. Mereka telah beraktivitas seperti biasa dan kembali ke sekolah. Enam pasien tersebut mendapat perawatan dari dua rumah sakit di DKI Jakarta.

Lima dari enam pasien tersebut sebelumnya mendapat perawatan di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Sedangkan satu pasien lainnya menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jakarta Woman and Children’s Clinic atau JWCC. 

Bulan Oktober hingga November enam anak tersebut mendapatkan perawatan. Tiga di antaranya perlu mendapatkan rawat inap. Paling muda, usia pasien anak yang terinfeksi mycroplasma pneumoniae tersebut tiga tahun, sedangkan tertua 12 tahun.

Awalnya gejala yang muncul pada anak yang terinfeksi mycoplasma pneumoniae itu cenderung hampir sama. Diawali dengan panas batuk, dan sakit kepala hingga sesak napas. Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih melakukan penyelidikan terkait penemuan tersebut.

"Penyelidikan epidemiologi jalan terus. Kami gali informasi mulai anak tersebut sekolah di mana, lalu di sekolah ada anak lain yang kena atau tidak. Lalu dicari tahu tinggal di mana," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, Rabu (6/12/2023).

Maxi mengimbau agar masyarakat tak panik menghadapi mycoplasma pneumoniae yang sempat menghebohkan Tiongkok Utara beberapa pekan lalu. Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok saat itu menyatakan kenaikan kasus pneumonia disebabkan oleh beberapa patogen saluran pernapasan seperti bakteri Mycoplasma pneumoniae, virus influenza, dan infeksi respiratory syncytial virus (RSV) serta adenovirus.

Menurut Maxi, penanganan untuk pasien mycoplasma pneumoniae bukanlah yang terlalu sulit. "Mycoplasma pneumonia karena bakteri cukup dengan antibiotik sudah selesai," ucapnya.

Sempat Dianggap Misterius

Masyarakat diimbau tidak mengkhawatirkan mengenai mycoplasma pneumoniae yang dianggap misterius di Tiongkok Utara dan mengakibatkan kenaikan kasus yang cukup tinggi. Beberapa rumah sakit penuh dengan pasien anak-anak akibat pneumonia misterius.

Dokter Spesialis Paru di RSUP Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan menyebut mycroplasma pneumoniae yang ditemukan di Tiongkok Utara bukanlah misterius dan tak serupa dengan virus Covid-19. Pneumonia merupakan radang paru yang disebabkan oleh kuman, bakteri, hingga virus yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu jauh dari pandemi Covid-19.

Sebagian besar data yang dilaporkan terkait mycoplasma pneumoniae hanya diperlukan rawat jalan dan bergejala ringan. Mycoplasma pneumoniae kata Erlina juga memiliki sebutan lain yaitu walking pneumonia yang berarti pasien yang datang ke rumah sakit tanpa harus dibawa menggunakan ambulans.

Namun saat itu, mycoplasma pneumoniae tidak menjadi sorotan atau perhatian lebih oleh masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena gejala yang ditimbulkan tidak berat dan bukan salah satu target yang diperiksa rutin di rumah sakit. Untuk pemeriksaannya pun diperlukan alat dan prosedur tersendiri.

Erlina menyebut, ini bukan penyakit baru, bukan juga kuman atau bakteri yang baru, tapi bakteri yang sebetulnya sudah lama kita kenal. "Nah kemudian mengapa menjadi marak, karena memang terjadi peningkatan kasus di Tiongkok bagian utara, dan kalau kita lihat di media itu banyak anak anak yang dirawat di rumah sakit," kata Erlina kepada Liputan6.com.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fatalitas Mycoplasma Pneumoniae Sangat Rendah

Mycoplasma pneumoniae disebabkan oleh bakteri. Namun Erlina juga mempertanyakan ketika mycoplasma pneumoniae dapat menjadi penyakit berat. Sebab pada dasarnya mycoplasma hanya memberikan gejala ringan kepada penderitanya. 

Erlina menduga mycoplasma pneumoniae yang memiliki gejala berat pada anak juga diakibatkan oleh faktor lain. Meskipun saat ini belum terdapat data pendukung lainnya.

"Ada (faktor lain) kemungkinan tapi kita enggak tahu datanya, ada kemungkinan bahwa satu anak mungkin terinfeksi oleh lebih dari satu penyeba. Mungkin ada covid nya juga tambah mycoplasma, atau ada covid tambah influenza, atau influenza tambah dengan mycoplasma," papar dia.

Hingga saat ini penyebab ledakan kasus mycoplasma pneumonia di Tiongkok Utara masih menjadi tanda tanya. Data resmi juga belum dipublikasikan. Kendati begitu Erlina kembali menduga kenaikan kasus pneumonia tersebut karena adanya perubahan musim, cuaca, hingga polusi udara. 

Kemudian penularan penyakit pada anak-anak sangat mudah dan cepat. Karena biasanya anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama untuk berinteraksi. Selain itu interaksi pada anak-anak juga lebih dekat dibandingkan orang dewasa. Misalnya bermain, berguling-guling, dan lain sebagainya. 

"Jadi saya kira dengan perubahan cuaca dan juga mungkin saat ini cuaca lebih dingin banyak hujan,  merupakan salah satu pemicu terjadi penurunan sistem imun pada anak-anak ini. Apalagi anak-anak yang di bawah 5 tahun sistem imunitasnya belum berkembang dengan sempurna," ucap Erlina.

Terpenting, lanjut Erlina yaitu masyarakat dapat menjalankan protokol kesehatan layaknya saat pandemi Covid-19. Sebab penularan melalui droplet atau udara. 

"Jadi pakailah masker, cuci tangan, dan kalau ada yang sakit, kita minta, kita imbau untuk pakai masker supaya kalau dia batuk atau bersin kumannya tidak keluar ke udara yang bisa menularkan orang lain. Jadi kita kembali lagi ke kebiasaan yang lama, menjalankan protokol kesehatan dan juga menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat," Erlina menandaskan.

Tak Harus Rawat Inap 

Dokter Spesialis Anak di RS Cipto Mangunkusumo Nastiti Kaswandani menyatakan, tingkat fatalitas dan keparahan akibat bakteri mycoplasma lebih rendah dibandingkan Covid-19 ataupun bakteri lainnya penyebab pneumonia.

"Apabila dibandingkan dengan Covid-19, tingkat keparahan maupun mortalitas (kematian) akibat Mycoplasma pneumoniae cenderung lebih rendah hanya 0,5 sampai 2 persen. Itu pun pada mereka dengan komorbiditas," kata Nastiti saat konferensi pers.

Karena itu kata dia, pneumonia akibat bakteri mycoplasma sering disebut sebagai walking pneumonia. Hal tersebut lantaran gejala yang ditimbulkan cenderung ringan. Bahkan pasien cukup melakukan rawat jalan dan tidak perlu menjalani rawat inap. 

"Anaknya cukup baik kondisi klinisnya sehingga masih bisa beraktivitas seperti biasa. Makanya sebagian besar kasusnya bisa dilakukan rawat jalan, pemberian obatnya secara minum, dan anaknya bisa sembuh sendiri," ujar dia.

 

3 dari 4 halaman

Hubungan Antara Mycoplasma Pneumoniae dengan Covid-19

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi menyebut infeksi pneumonia secara garis besar disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit. Untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri diperlukan obat antibiotik yang ada.

Mycoplasma merupakan salah satu bakteri penyebab pneumonia dan bisa hidup cukup lama di udara ataupun benda-benda sekitar. 

"Dan mycoplasma ini itu sebetulnya adalah penyebab paling banyak untuk pneumonia sebelum Covid-19. Dan itu sudah ada di Indonesia sejak lama, bahkan di seluruh dunia sudah ada. Jadi mycoplasma ini bukan mikroorganisme baru di Indonesia," kata Imran kepada Liputan6.com.

Imran mengaku belum mengetahui ada atau tidaknya hubungan mycoplasma pneumoniae di Tiongkok Utara dengan Covid-19. Sebab secara penyebabnya pun berbeda. Covid-19 disebabkan oleh virus dan mycoplasma merupakan bakteri.

Namun, dia meyakini jika efek terpapar Covid-19 dapat menjadi penyebab di berbagai aspek tubuh manusia. Misalnya ke pencernaan, pernapasan, hingga menyerang sistem imun atau daya tahan tubuh.

"Jadi kalau coba dihubungkan, mungkin saja ya ini saya belum membaca, bisa saja orang yang sudah pernah kena Covid-19 begitu dia terinfeksi mycoplasma itu reaksinya akan berbeda. Mungkin saja karena reaksi ini dia lebih berat kondisinya. Jadi hubungannya bukan karena secara langsung ke bakterinya, tapi ke manusianya," papar Imran.

Kendati begitu, Imran meminta masyarakat untuk tidak khawatir mengenai kasus tersebut. Terpenting yaitu larangan untuk menganggap remeh penyakit saluran pernapasan meskipun itu hanya flu dan batuk. Kemudian yaitu tetap menerapkan protokol kesehatan jika sedang sakit.

"Jadi sebetulnya apa yang sudah kita lakukan, protokol kesehatan zaman Covid-19 itu bisa dilakukan. Cuci tangan, kenapa cuci tangan? Karena orang megang-megang gitu kan mesti kan terus pegang mulut, pegang hidung, ini akan mempermudah infeksi," ucap dia.

Kenapa Mycoplasma Pneumoniae Serang Anak-anak?

Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menyatakan bahwa streptococcus merupakan bakteri penyebab pneumonia tertinggi di Indonesia. Streptococcus merupakan bakteri yang rapat ditemukan di kulit manusia dan dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kemudian dapat berkembang jadi pneumonia. 

Kemudian baru disusul jenis mycoplasma yang menginfeksi saluran pernapasan dan cepat berkembang menjadi pneumonia. Untuk bakteri kecepatan mutasinya sangat lambat jika dibandingkan virus misalnya pada Covid-19.

Saat ini kata Tri Yunis masih sangat rendah pengamatan atau penelitian di Indonesia ketika ada dua jenis virus atau bakteri bersamaan menginfeksi saluran pernapasan atas manusia. Misalnya antara virus influenza dan Covid-19 atau dengan bakteri lainnya.

"Virus Covid-19 sampai sekarang menurut saya itu luput diamati di Indonesia. Padahal di Singapura terjadi peningkatan yang sangat banyak, kemudian di Malaysia juga terjadi peningkatan sangat banyak sekarang," kata Tri Yunis kepada Liputan6.com.

Jadi, kata Tri Yunis, sekarang harusnya kita berhati-hati terhadap virus Covid-19. "Jangan-jangan yang menyebabkan pneumonia di Indonesia bukan hanya hemovirus seperti di Tiongkok, kemudian salah satunya adalah Covid-19 yang menyebabkan pneumonia," ujarnya.

Pneumonia, kata dia memang lebih banyak menginfeksi anak-anak dan khususnya balita. Sebab mereka memiliki daya imunitas yang rendah. Hal tersebut juga berkaitan dengan buruknya polusi udara di Jakarta. 

4 dari 4 halaman

Ada Peningkatan Kasus ISPA

Selain mycoplasma pneumoniae, data orang terinfeksi ISPA mengalami peningkatan. Karena hal itu Tri Yunis menegaskan jika penemuan mycoplasma pneumoniae bukan lah hal yang kebetulan atau bahkan misterius. 

Bahkan Tri Yunis Miko memprediksi akan terjadi adanya peningkatan kasus pneumonia. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Salah satunya dari polusi udara yang mengakibatkan adanya peningkatan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).

"Jadi penyakit pneumonia itu akan meningkat, satu karena polusi udara di Jakarta atau Depok dan Bekasi, kemudian Jabodetabek. Kedua adalah karena mungkin Covid-19 yang tidak teramati di Indonesia atau kurang teramati, yang ketiga itu adalah mycroplasma, itu karena rutinnya juga sudah banyak begitu," jelas dia.

Bagaimana Cara Mengenali Gejala Sesak Napas Pada Anak?

Sebelumnya, maraknya kasus mycoplasma pneumonia di China menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi salah satu masalah yang harus diwaspadai.

Setiap satu jam, terjadi kematian dua hingga tiga balita di Indonesia akibat pneumonia. Ini adalah data UNICEF tahun 2018.

Menurut dokter spesialis ilmu kesehatan anak subspesialis kesehatan anak respirology RS Pondok Indah – Pondok Indah, Wahyuni Indawati, pneumonia pada anak biasanya berasal dari infeksi saluran pernapasan akut atas (ISPA atas).

Umumnya gejala pneumonia diawali dengan demam, batuk atau pilek, kemudian diikuti oleh gejala sesak napas yang biasanya terjadi dalam 14 hari dan bersifat akut.

Gejala sesak napas ditandai oleh adanya usaha bernapas yang berat seperti tarikan dinding dada saat bernapas maupun adanya napas cuping hidung. Adanya sesak napas menjadi indikasi anak kekurangan oksigen.

“Jika hal ini terjadi pada anak Anda, segera bawa ia ke fasilitas kesehatan untuk diperiksa lebih lanjut,” saran Wahyuni dalam keterangan pers, Jumat (8/12/2023).

Wahyuni pun membagikan cara mengenali gejala sesak napas pada si kecil dengan menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit dengan meletakkan tangan di dada anak.

Sesak napas ditandai dengan frekuensi napas cepat yaitu:

- Lebih dari 60 kali/menit untuk usia kurang dari 2 bulan

- Lebih dari 50 kali/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun

- Lebih dari 40 kali/menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun

- Lebih dari 30 kali/menit untuk usia lebih dari 5 tahun

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.