Sukses

Gus Yahya: Kami Tidak Mau Ada Politik Berdasar Identitas NU

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan, pihaknya tidak mentoleransi segala bentuk politik identitas saat pesta demokrasi nanti.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan, tidak mentoleransi segala bentuk politik identitas saat pesta demokrasi nanti. Bahkan, sebagai pemegang mandat tertinggi di PBNU, pria yang karib disapa Gus Yahya ini melarang ada politik berdasarkan identitas NU.

“Kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU. Jadi, kami tidak mau ada kompetitor pilih orang NU,” tegas Gus Yahya usai bersilaturahmi dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Kantor Pusat PBNU Jakarta, Kamis (25/4/2023).

Gus Yahya menjelaskan, dalam pandangan PBNU, politik identitas adalah politik yang hanya menyandarkan penggalangan dukungan yang hanya berdasarkan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal visioner dan juga tawaran agenda bisa dipersandingkan antar kompetitor.

“Kami memandang politik identitas ini berbahaya bagi masyarakat secara keseluruhan karena itu akan mendorong perpecahan di masyarakat,” tegas Gus Yahya.

Gus Yahya tidak ingin, nama umat dan agama diseret dalam pesta demokrasi. Dia pun berharap, kompetisi antar kandidat nantinya berjalan lebih adil tanpa membawa hal-hil yang bersifat primordial.

“Kita tidak mau itu, kalau mau bertarung harus dengan tawaran rasional, ini yang kami harapkan. Saya sering katakan, bahwa kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam,” Gus Yahya menandasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bicara soal Primordial

Senada dengan itu, Haedar Nashir ikut angkat suara menjelaskan soal pengertian primordial. Menurut pandangannya, primordial terdiri dari sesuatu yang mengatasnamakan agama, ras, suku dan golongan yang sering disebut SARA.

“Karena menyandarkan dengan itu, maka sering terjadi politisasi sentimen atas nama agama ras suku golongan yang akhirnya membawa ke arah polarisasi,” tambah dia.

Haedar mewanti, primordial bukan hanya secara inklusif bahkan di tubuh setiap komunitas golongan bisa terjadi friksi atau gesekan. Dia berharap, setiap kontestasi, tidak hanya soal politik dan pesta demokrasi bisa berjalan secara lebih damai tanpa menyeret politik identitas ke dalamnya.

“Mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif rasional dan di dalam koridor demokrasi,” dia menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.