Sukses

KPK Pastikan Tak Akan Mengistimewakan Lukas Enembe

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan pihaknya terus memperhatikan kondisi kesehatan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan pihaknya terus memperhatikan kondisi kesehatan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe. Namun begitu, KPK menegaskan tak akan mengistimewakan Lukas Enembe.

"Artinya, saya kira tentang kesehatan LE kami perhatikan betul proses-proses bagaimana kesehariannya, dan keadaan LE sebagaimana tahanan lain, tidak kami istimewakan," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (7/2/2023).

Ali menyebut setiap tahanan mendapatkan perlakuan yang sama. Termasuk mereka yang memiliki riwayat penyakit, akan diperlakukan sesuai dengan prosedur yang ada.

"Kami memastikan proses penanganan kesehatan sesuai dengan mekansime ketentuan yang ada di rutan KPK," kata Ali.

Terkait penanganan terhadap Lukas Enembe, KPK dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Setidaknya ada tiga laporan yang masuk ke Komnas HAM berkaitan hal tersebut.

Ali Fikri mengatakan Komnas HAM sudah mendatangi pihaknya terkait pelaporan ini. Menurut Ali, pihaknya juga sudah menjelaskan kepada Komnas HAM terkait tuduhan abai dengan kesehatan Lukas.

"Kami memastikan seluruh proses penanganan perkara, termasuk juga memerhatikan hak-hak dari tersangka. Senin (kemarin) kunjungan keluarga, ada yang datang berkunjung dan ditemui tersangka LE (Lukas Enembe), artinya LE sehat dan mampu menemui keluarganya, karena tempat bertemu pihak keluarga dan tersangka bukan di kamarnya, tetapi di ruang publik," ujar Ali.

Ali menyebut tim lembaga antirasuah memahami bahwa Lukas Enembe memiliki riwayat penyakit. Ali memastikan setiap tahanan yang memiliki riwayat penyakit, maka kesehatannya akan diperhatikan oleh pihaknya.

Namun menurut Ali sejauh ini Lukas Enembe dalam keadaan sehat dan siap menjalani masa penahanan.

"Adanya keluhan dan lain-lain kami sampaikan bahwa tidak ada keluhan. Kami juga berkoordinasi dengan Komnas HAM, kami menjunjung tinggi HAM, asas praduga tak bersalah, kami patuhi aturan-aturan penyidikan yang kami lakukan. Kami pastikan itu tidak melanggar aturan hukum dalam menangani LE," kata Ali.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tersangka Kasus Suap

KPK menetapkan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lukas Enembe diduga menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp10 miliar.

Selain itu, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar. Bahkan, KPK menduga korupsi yang dilakukan Lukas Enembe mencapai Rp1 triliun.

Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi.

Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.

Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono.

Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.