Sukses

Jalan Panjang Menjegal KPK

Polemik TWK yang menjadi syarat pengalihan status jadi ASN berujung pemecatan 51 pegawai KPK. Penjegalan ini dinilai sudah dirancang sejak adanya revisi UU KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN berujung pemecatan. Setidaknya, 51 dari 75 pegawai lembaga antirasuah yang tak lolos tes asesmen itu diberhentikan oleh Pimpinan KPK.

TWK lahir di era kepemimpinan Firli Bahuri. Tak ujug-ujug. Bentuk asesmen itu lahir imbas dari Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dalam UU itu dijelaskan bila pengangkatan para pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara itu tercantum dalam Pasal 1 Nomor 6, Pasal 24 ayat 2, Pasal 69B, dan Pasal 69C.

Selang beberapa bulan pengesahan UU KPK, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Aturan tersebut diteken Jokowi pada 24 Juli 2020 dan berlaku pada saat tanggal diundangkan yakni 27 Juli 2020.

KPK pun segera menyusun Peraturan Komisi (Perkom) menindaklanjuti diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam penyusunan Perkom tersebut, KPK akan melibatkan kementerian atau lembaga terkait.

Sejumlah aktivis meyakini TWK merupakan upaya pelemahan KPK. Nama-nama beken seperti, Novel Baswedan secara mengejutkan tak lolos dalam TWK.

Mereka yang tak lolos asesmen kebanyakan menangani kasus korupsi kelas kakap di KPK. Mulai dari kasus korupsi bansos, hingga yang terakhir mengenai kasus dugaan suap yang menjerat Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.

Sejatinya Novel mengaku tidak kaget dengan segala upaya untuk menyingkirkannya dari komisi antirasuah. Sebab menurutnya, sejak lama beragam tekanan terus diterima pegawai KPK yang memiliki integritas tinggi agar hengkang dari KPK.

"Upaya untuk menyingkirkan orang-orang yang berintegritas dari KPK adalah upaya lama yang terus dilakukan," kata Novel pada Selasa (4/5/2021).

Adapun aspek-aspek yang diukur dalam asesmen TWK pegawai KPK oleh BKN RI bersama instansi lainnya adalah:

a. Aspek Integritas

Integritas dimaknai sebagai konsistensi dalam berperilaku yang selaras dengan nilai, norma, dan atau etika organisasi/berbangsa dan bernegara, serta bersikap jujur.

b. Aspek Netralitas ASN

Netralitas ASN dimaknai sebagai tindakan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

c. Anti Radikalisme

Anti Radikalisme dimaknai sebagai sikap tidak menganut paham radikalisme negatif, memiliki toleransi, setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintahan yang sah, dan/atau tidak memiliki prinsip konservatif atau liberalisme yang membahayakan dan yang menyebabkan disintegritas.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jokowi dan DPR Harus Bertanggung Jawab

Sedangkan, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, sejak awal alih status kepegawaian menjadi ASN sudah diprediksi akan semakin melemahkan KPK. Kurnia mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan DPR bertanggung jawab atas pelemahan KPK itu.

"Sebab dua cabang kekuasaan itu yang pada akhirnya sepakat merevisi UU KPK dan memasukkan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi ASN," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Selasa (4/5/2021).

Bahkan, Kurnia menyebutkan bahwa sejumlah pegawai KPK yang memiliki integritas dikabarkan tidak lulus pada tes tersebut. Hal ini menambah kecurigaan ICW bahwa alih status kepegawaian KPK menjadi ASN dirancang menjadi jalan terakhir untuk melemahkan lembaga antirasuah.

"ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK," ujar dia.

Sementara itu, kehadiran UU KPK juga membentuk struktur baru di lembaga antirasuah yakni, Dewan Pengawas. Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir berpendapat, perlu adanya dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.

"KPK kan enggak ada pengawasnya, karena setiap lembaga yang diberikan wewenang harus ada yang mengawasi," kata Muzakir kepada Liputan6.com.

Namun, Muzakir tak sepakat apabila dewan pengawas punya kewenangan untuk memberikan atau menolak izin sadap yang diajukan KPK. Menurutnya, hal itu bukan ranah dari lembaga pengawas.

"Ketika seseorang diduga melakukan tindak pidana, dia disadap. Sadap itu diperoleh dari komisioner, nanti diawasi dewan pengawas. Jadi jangan sampai dewan pengawas memberikan izin, nanti dewan pengawas siapa yang mengawasi lagi," terang Muzakir.

Muzakir menilai, ada tiga hal yang perlu diawasi dewan pengawas KPK. Pertama adalah mengawasi kode etik, mulai dari pimpinan hingga karyawan KPK. Kedua adalah mengawasi keuangan KPK, dan ketiga adalah mengawasi tata cara serta prosedur KPK dalam melakukan penindakan hukum.

Muzakir menyarankan, dewan pengawas diisi oleh pakar dan ahli hukum, khususnya yang mengerti masalah penanganan kasus korupsi. Selain itu, para dewan pengawas juga harus independen dan tidak terafiliasi partai politik.

Adapun fungsi Dewas sesuai UU KPK Pasal 37B sebagai berikut:

a). Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b). Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

c). Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

d). Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;

e). Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

f). Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.