Sukses

HEADLINE: Nurdin Abdullah Ditangkap KPK, Proyek Infrastruktur Rentan Bancakan Korupsi?

Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di wilayahnya.

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu dini hari lalu. Penangkapan orang nomor satu di Sulsel atas kasus dugaan suap itu cukup mengejutkan.

Pasalnya, Nurdin Abdullah selama ini dikenal sebagai salah satu pemimpin yang bersih dan berintegritas. Bahkan mantan Bupati Bantaeng dua periode itu juga pernah dianugerahi penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 lalu.

Sejak menjabat sebagai Bupati Bantaeng pada 2008 lalu, Nurdin telah mengoleksi 100 lebih penghargaan baik dari lembaga pemerintahan maupun swasta. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menyesalkan penangkapan terhadap Nurdin Abdullah terkait kasus dugaan korupsi. Menurutnya, penghargaan BHACA 2017 sebaiknya segera dicabut, kendati Nurdin masih berstatus tersangka.

"Ironis dan patut disesalkan karena yang bersangkutan dikenal sebagai sosok yang bersih dan inovatif, tapi ternyata dia mencoreng namanya sendiri. Dengan penetapan dia sebagai tersangka saja, sudah semestinya penghargaan itu dicabut," ujar Egi saat dihubungi Liputan6.com, Senin (1/3/2021).

Belajar dari kasus tersebut, Egi menilai, bahwa pengawasan publik tidak sepatutnya melemah ketika terdapat sosok yang dikenal bersih dan inovatif menduduki posisi pejabat publik. Sebab, pejabat publik memiliki kewenangan yang besar, sehingga potensi penyelewengan juga terbuka lebar.

"Pengawasan ini krusial jika melihat kecenderungan publik yang seringkali melonggarkan pengawasannya atau permisif terhadap perilaku pejabat publik yang dikenal sebagai sosok 'orang baik'," katanya.

ICW mendorong KPK menelusuri aliran dana suap untuk membuktikan apakah ada pihak lain --baik individu maupun organisasi seperti partai politik-- yang ikut menikmatinya. Hal ini menjadi penting mengingat biaya politik dalam kontestasi pemilu di Indonesia teramat mahal.

"Untuk menutupi kebutuhan pemilu, kandidat pejabat publik seperti kepala daerah kerap menerima bantuan dari pengusaha. Kandidat juga perlu memberikan mahar politik kepada partai politik. Sehingga saat menjadi pejabat publik, ia akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan 'balas budi' ataupun memfasilitasi permintaan dari pihak-pihak tersebut. Upaya tersebut di antaranya adalah praktik-praktik korupsi," ujarnya menjelaskan.

Menurut Egi, kasus suap yang menjerat Nurdin menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan. Pembangunan infrastruktur yang masif dan menyebar di seluruh Indonesia telah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Namun kita perlu melihat bahwa nafsu untuk membangun infrastruktur justru dapat berimbas pada munculnya praktik-praktik korupsi yang meluas, bagi-bagi konsesi, serta kerugian bagi warga yang berlokasi di sekitar proyek infrastruktur," katanya.

Pakar hukum, Mudzakir menuturkan bahwa pejabat negara memang sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi. Semakin tinggi jabatan dan kewenangannya, maka semakin besar pula peluangnya melakukan penyelewengan. Karena itu, keimanan menjadi salah satu kunci agar terhindar dari rasuah.

"Yang jadi masalah adalah gubernur diam saja dapat duit. Duit datang sendiri tanpa diminta, apalagi kalau diminta. Nah ketika iman itu tidak kuat, sebaik apapun penghargaan yang diberikan kepada yang bersangkutan ya tetap akan masuk dalam jaringan itu (korupsi)," ujar Mudzakir saat dihubungi Liputan6.com, Senin.

Guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga menyoroti tingginya biaya politik di Indonesia. Tidak sedikit kandidat kepala daerah yang terpaksa mencari pinjaman untuk tambahan biaya kampanye. Sehingga saat menjabat mereka akan mencari jalan pintas untuk menutup biaya tersebut.

"Sehingga penghargaan itu bukan jaminan. Yang jadi jaminan adalah lingkungan sistem dari pemerintahan itu yang istilahnya good governance. Jadi kalo lingkungan sistem dia bekerja itu good governance yakinlah lingkungan dia juga akan good governance, artinya dia akan terlindungi dari perbuatan korupsi," kata Mudzakir.

Praktik korupsi seolah telah menjadi hal yang biasa di lingkungan pejabat negara. Terhitung sejak 2004 hingga Februari 2021, KPK telah menetapkan 127 kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Jumlah itu meliputi 110 bupati/wali kota dan 17 gubernur.

Fenomena tersebut, kata Mudzakir, lantaran pemberantasan korupsi di Indonesia menggunakan pendekatan hukum pidana. Menurut dia, pemberantasan korupsi sebaiknya menggunakan hukum administrasi dengan menitikberatkan pada upaya pencegahan.

"Pidana atau peradilan hukum pidana itu tidak bisa sebagai alat untuk memberantas korupsi. Karena peradilan pidana itu adalah mengolah limbah yang buruk yang kotor agar supaya jadi baik. Jadi memproses orang yang berbuat kejahatan korupsi dimasukkan ke pengadilan agar supaya tidak berbuat korupsi di kemudian hari," ucap dia.

Sementara langkah tersebut tidak menjadikan orang lain jera dan menjauhi korupsi. "Jadi istilah bahasanya tidak memberi lingkungan yang mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, karena dia (hukum pidana) mengolah limbah."

Karena itu, Mudzakir meminta KPK dan penegak hukum lainnya sebaiknya memberantas korupsi dengan pendekatan hukum administrasi, terutama dalam perbaikan manajemen keuangan, manajemen penggunaan kekuasaan, dan lain-lain.   

"Mestinya dalam sistem administrasi, sistem pengelolaan pemerintah, dan sistem keuangan negara itu masuk kategori yang disebut sebagai good governance. Kalau dia good governance, yakin saya bahwa sistem itu akan menciptakan seseorang yang baik. Sebaliknya bila sistem itu bad governance yakin lah siapa pun orang baik di situ kalau imannya tidak kuat akan masuk dalam jaringan sistem korupsi," tutur Mudzakir.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisyah Putri Budiatri menuturkan bahwa korupsi bisa dilakukan siapa saja. Dia mengakui, Nurdin Abdullah memang berprestasi dalam tata kelola pemerintahan dan memajukan daerahnya sebelum menjadi gubernur.

"Tapi ternyata tak luput juga dari perilaku koruptif, ini sangat mengejutkan dan mengecewakan di saat bersamaan. Tentunya saya pikir ini menunjukkan bahwa ada problem secara sistem. Dan ini juga menunjukkan bahwa KPK harus digenjot lagi untuk lebih kencang melakukan pencegahan dan juga penindakan terhadap kasus korupsi," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Senin.

Peneliti bidang perkembangan politik nasional LIPI itu mengamini bahwa tingginya biaya politik di Indonesia menjadi salah satu faktor banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi. "Ini yang kemudian dijadikan dalih ketika banyak elite politik itu terperangkap dalam tindakan korupsi," tutur Aisyah.

Selain itu, dia juga menyoroti sistem tata kelola pemerintahan yang masih memiliki banyak celah sehingga memungkinkan kepala daerah atau pejabat struktural melakukan korupsi.

"Secara spesifik saya belum pernah melakukan riset soal itu. Tapi masalah ini muncul di banyak wilayah, tak hanya di level daerah tapi juga pemerintahan pusat. Ini kan ada hal yang harusnya dicek. Ada persoalan dalam tata kelolanya, entah itu terkait dengan bagaimana pelelangan dilakukan ketika tender itu dibuka dan lain-lain. Ini prosesnya harus dicek ricek," ujar Aisyah.

"Dan ini menurut saya tendensinya ada kemiripan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain. Nah ini harus dievaluasi bersama apa kira-kira yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem ini," katanya memungkasi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bagaimana Nasib Penghargaannya?

Anggota Dewan Juri Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017, Bivitri Susanti mengaku kecewa terhadap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang ditangkap terkait dugaan korupsi. Pasalnya, penghargaan tersebut diberikan karena prestasinya membangun daerah.

"Penangkapan Gubernur Sulsel ini tentu sangat kami sesalkan. Proses pemilihannya sangat serius. Selain menerima masukan masyarakat, penelusuran rekam jejak juga dilakukan secara langsung ke lapangan," kata Bivitri kepada Liputan6.com, Sabtu (27/2/2021).

Menurut dia, Dewan Juri BHACA 2017 berharap semua penerima penghargaan menjadi dorongan dan inspirasi antikorupsi di kalangan pemerintah. Terlebih, mereka juga telah meneken pakta integritas saat mendapat penghargaan.

"Tapi perkembangan setelah award tidak bisa dikontrol, meskipun mereka menandatangani pakta integritas waktu menerima award," ujarnya.

Pengamat Hukum Tata Negara itu menjelaskan bahwa penarikan award setelah Nurdin Abdullah ditangkap KPK akan menunggu proses hukum di lembaga antirasuah. Bivitri menekankan Dewan Juri BHACA mendukung upaya KPK menuntaskan kasus yang diduga menjerat Nurdin Abdullah.

"Yang saya tahu, bisa dicabut, bukan kalau 'terseret', tetapi kalau sudah terbukti bersalah. Ini kan masih jauh dari pembuktian. Biasanya kalau sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap," kata Bivitri.

Menurut dia, ada prosedur atau ketentuan dalam pencabutan penghargaan Bung Hatta Award dari penerima. Hal itu tidak diputuskan oleh dewan juri, melainkan pengurus Bung Hatta Anti-Corruption Award.

"Dewan juri tidak memutuskan pencabutan, paling hanya ditanya pendapat. Yang memutus itu pengurus," ucapnya.

Ketua KPK Firli Bahuri turut menyoroti penghargaan antikorupsi dari BHACA yang diraih Nurdin Abdullah pada 2017 lalu. Dia menyampaikan, penghargaan tentunya terbatas dengan waktu saat prestasi tersebut ditorehkan.

"Kalau kami sampaikan terkait dengan prestasi atau apresiasi yang pernah diterima oleh saudara NA, termasuk beberapa penghargaan, tentu itu diberikan sesuai dengan prestasi dan waktu, tempat tertentu," kata Firli di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Minggu (28/2/2021).

Menurut Firli, setiap prestasi selalu pantas mendapatkan apresiasi. Namun praktik korupsi sendiri dapat terjadi kapan saja dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi.

"Korupsi itu disebabkan oleh karena ada kekuasaan, korupsi itu sebabnya karena ada kesempatan, karena keserakahan," ucap mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat itu.

3 dari 3 halaman

Bukti UU KPK Tak Melemahkan?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md berharap KPK dapat bertahan dari opini baik atau buruk yang berkembang di tengah masyarakat. Dia meminta KPK tidak goyah dan membiarkan fakta yang berbicara.

"KPK harus tetap berpijak pada statement Pimpinan KPK sendiri, 'Biar kami dituding lemah atau tidak baik, tapi kami akan berusaha berbuat baik'. KPK jangan diombang-ambingkan oleh opini. Mau dinilai lebih baik atau lebih jelek tak perlu dijawab. Biar masyarakat berbicara dengan fakta dan data," tulis Mahfud dalam akun Twitternya @mohmahfudmd seperti dikutip, Minggu (28/2/2021).

Mahfud melanjutkan, upaya pelemahan KPK selalu terjadi di setiap periode kepemimpinan. Meski begitu, jangan sampai goyah apalagi telah dibekali berbagai mekanisme penguatan hingga pengambilalihan kasus dari aparat keamanan.

"Upaya untuk lemahkan KPK selalu terjadi tiap periode tapi KPK tetap tegar. Karena sistem dan mekanisme KPK kuat. Saat ini, selain ada Dewas KPK yang kredibel, pemerintah juga sudah membekali KPK dengan Perpres untuk melakukan supervisi, termasuk ambil alih kasus dari kejagung dan Polri jika perlu," kata Mahfud.

Cuitan Mahfud Md ini ditulis setelah KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020-2021.

Sejak UU KPK direvisi dan disahkan pada 2019 lalu, regulasi baru tersebut dinilai sejumlah pihak sebagai upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah. Pengesahan UU KPK hasil revisi itu juga sempat diwarnai gelombang demonstrasi penolakan.

Peneliti ICW, Egi Primayogha mengatakan, kasus penangkapan Nurdin Abdullah sebaiknya tidak dikorelasikan dengan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK. Menurut dia, pelemahan KPK tetap terjadi hingga saat ini. 

"Pelemahan KPK tetap ada dengan UU KPK yang baru, kendati banyak kasus yang telah menjerat pejabat publik. Jadi jangan kesimpulannya lompat ke sana. Narasinya selalu muncul bahwa saat KPK menindak kasus, pemberantasan korupsi tidak dilemahkan, menurut saya itu tidak tepat," katanya.

Sementara Prof Mudzakir memandangnya berbeda. Menurutnyaguru besar hukum pidana UII Yogyakarta ini, KPK dilemahkan atau tidak tergantung pada orang-orang di lembaga antirasuah itu sendiri.

"Karena orang diberikan kekuasaan mau berbuat atau tidak berbuat sesuatu tergantung dia sendiri, bukan tergantung pada aturan yang lain," ujarnya.

Yang terpenting, kata dia, penegakan hukum di KPK dilakukan sesuai dengan koridor dan tidak pandang bulu.

"Kalau dia udah jadi penyidik itu mau baik atau buruk tergantung penyidik yang bersangkutan, tidak bisa menyalahkan UU. Ketika pimpinannya komitmen dan konsisten, itu pasukan bawahannya akan komitmen dan konsisten semuanya," kata Mudzakir.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (NA), Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum (Sekdis PU) Edy Rahmat (ER), dan kontraktor bernama Agung Sucipto (AS). Nurdin dan Edy dijerat sebagai penerima, sementara Agung diduga penyuap.

Sebagai penerima Nurdin dan Edy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sebagai pemberi, Agung disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.