Sukses

Perludem: Aneh Parpol dan Pemerintah Tak Melakukan Revisi UU Pemilu

Fadli Ramadhanil menyebut, sikap partai politik atau parpol dan pemerintah yang menunda merevisi Undang-Undang Pemilu sangat aneh.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyebut, sikap partai politik atau parpol dan pemerintah yang menunda merevisi Undang-Undang Pemilu sangat aneh. Pasalnya, UU Pemilu sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.

"Menurut saya ini sangat patut dipertanyakan dan juga menjadi sangat aneh baik partai politik maupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi UU Pemilu," kata Fadli dalam webinar dengan tema Maju Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu, Minggu (7/2/2021).

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

Dia menyebut, alasan parpol dan pemerintah dalam menunda merevisi UU Pemilu tidak berdasarkan pada situasi kontestasi demokrasi dan kerangka hukum UU Pemilu.

Justru sebaliknya, kata Fadli, kerangka hukum dalam UU Pemilu saat ini mengalami masalah. Karenanya DPR sepatutnya menyetujui revisi UU Pemilu pada 14 Januari 2021 lalu.

"Kalau menggunakan alasan itu apakah Undang-Undang sekarang sudah memadai untuk digunakan dalam jangka waktu yang panjang? Menurut saya jawabannya tidak. Ada banyak aspek yang harus diperbaiki dan dikuatkan," jelas Fadli.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masuk Prolegnas

DPR RI tengah membahas revisi undang-undang (RUU) tentang Pemilu. Pembahasan RUU Pemilu telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2021. RUU Pemilu di antaranya membahas soal ambang batas parlemen dan ambang batas presiden.

Dalam draf RUU Pemilu tetap mencantumkan ambang batas presiden (presidential treshold) sebesar 20 persen. Angka ini tidak berubah dari ketentuan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Kemudian, ada ambang batas parlemen (parliamentary treshold) sebesar 5 persen.

Revisi UU Pemilu ini juga disorot karena membahas penyelenggaraan Pilkada yang dinormalisasi pada tahun 2022 dan 2023. Bila undang-undang ini berlaku, Pilkada tetap digelar 2022 sesuai siklus lima tahunan. Sedangkan, pada UU nomor 10 tahun 2016, Pilkada digelar pada 2024.

Beberapa partai politik melalui masing-masing fraksi di DPR RI menyampaikan pendapatnya tentang revisi UU Pemilu ini. Mereka mengutarakan pandangannya soal angka ambang batas parlemen dan ambang batas presiden, serta penentuan tahun penyelenggaraan Pilkada.

 

Reporter: Titin Supriatin

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.