Sukses

Ragam Tanggapan Naiknya Iuran BPJS Kesehatan, dari Parpol hingga KPK

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berlaku bagi peserta mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Liputan6.com, Jakarta - Iuran BPJS Kesehatan sudah diputuskan naik. Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 5 Mei 2020. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berlaku bagi peserta mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Beragam tanggapan pun bermunculan. Misalnya saja Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka ada potensi hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan akan terganggu. Karena kenaikan itu memberatkan masyarakat, sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengiur," kata Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan tertulisnya, Rabu 14 Mei 2020.

Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020 yang menyatakan, Presiden Jokowi tak merespons surat rekomendasi yang diberikan KPK untuk mengatasi defisit dalam BPJS Kesehatan.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, surat rekomendasi tersebut diserahkan kepada Jokowi pada 30 Maret 2020 atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, menurut Pahala, hingga kini Jokowi tak menanggapi rekomendasi tersebut.

Berikut ragam tanggapan soal naiknya iuran BPJS Kesehatan dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 9 halaman

PKS dan Demokrat

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anshory Siregar mengkritisi keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Ia meminta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang revisi perubahan perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan dicabut.

"Pemerintah tidak peka dan terbukti tuna empati dengan situasi masyarakat yang sedang dilanda pandemi wabah Covid-19, di mana masyarakat sedang susah dan menderita namun justru menaikkan iuran BPJS Kesehatan," ujar Anshory Siregar melalui keterangan tertulis.

Dia menilai pemerintah juga tidak memberikan contoh atau tauladan yang baik dalam ketaatan hukum, padahal keputusan Mahkamah Agung (MA) sudah sah dan mengikat agar iuran BPJS dikembalikan seperti sedia kala.

Ironisnya, kebijakan kenaikannya disampaikan ketika DPR sedang reses sehingga tidak bisa melakukan rapat Kerja dengan pemerintah.

"Untuk itu saya Ansory Siregar Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PKS mengusulkan untuk mencabut Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan," tegasnya.

Ia menilai di tengah-tengah kegembiraan masyarakat menyambut pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan muncul berita kenaikan lagi, itu sama saja pemerintah tidak peka dan tidak peduli terhadap perasan masyarakat.

Senada, anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat Lucy Kurniasari menilai Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, secara tidak langsung merupakan perbuatan melawan hukum.

Sebab, kata Lucy, dalam Perpres tersebut kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan kelas II per 1 Juli 2020.

"Sementara iuran untuk kelas III akan dinaikkan pada 2021," kata Lucy dalam keterangan pers tertulisnya.

Anggota Komisi IX DPR RI itu menyebut, menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Perpres No. 75 Tahun 2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

"Seharusnya Pemerintah melaksanakan Putusan Mahkamah Agung dengan taat azas. Kalau seperti ini kan sama Pemerintah bermain-main dengan Putusan MA," tegas Lucy.

Ia merasa khawatir kalau pemerintah memberi contoh tidak taat azas pada hukum, akan diikuti oleh rakyat. Kalau hal ini terjadi, akan berbahaya bagi bangsa dan negara Indonesia.

"Karena itu, saya meminta kepada Presiden untuk menganulir Perpres No. 64 Tahun 2020," pintanya.

Terakhir, Lucy meminta presiden untuk melaksanakan Putusan MA secara sungguh-sungguh, agar rakyat dapat mencontoh pimpinannya dalam melaksanakan hukum.

 

3 dari 9 halaman

PDIP dan NasDem

Senada, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning juga menolak kebijakan pemerintah yang kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan.

Menurut Ribka, kenaikan iuran BPJS itu tidak tepat apalagi di masa pandemi virus Corona Covid-19.

"Aku jelas tidak setuju, ya. Itu kan sudah melalui tahapan rapat berkali-kali. Bahkan pernah dipimpin oleh Ketua DPR, Mbak Puan (Maharani), semua menolak kenaikan BPJS dan diserahkan ke pemerintah. Apalagi pada situasi Covid-19 ini, rakyat sangat terjepit," ujar Ribka.

Untuk itu, Ketua DPP PDIP ini meminta Pemerintah membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Harapan saya sebagai wakil rakyat, saya mendengar keluhan rakyat, mengeluh kontrakan rumah, mengeluh pekerjaan. Ini supaya dibatalkan kenaikan BPJS," kata dia.

Ribka mengingatkan kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi terkait masa sulit yang dialami rakyat akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, banyak rakyat yang ekonominya kian terjepit bahkan sampai kehilangan pekerjaan.

"Apalagi yang di PHK, tidak bisa bayar kontrakan rumah, anak mau masuk sekolah, pekerjaan ke depan bagaimana? Masa malah naik BPJS. Pemerintah sensitif deh," ucapnya.

Menurut Ribka, Perpres yang dikeluarkan pada 6 Mei 2020 ini juga tidak sesuai dengan amar putusan Mahkamah Agung No.7P/HUM/2020 yang membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS sebelumnya.

"Ini sebetulnya tinggal mengeksekusi hasil keputusan MA saja. Kenapa harus naik? Kalau perlu tidak dinaikkan, bahkan dibebaskan. Seperti pajak dibebaskan, bensin untuk ojol saja bisa 50 persen sampai 30 persen. Ini kenapa BPJS malah naik. Lama-lama orang bisa tidak bayar BPJS," jelas Ribka.

Kemudian, anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Nasdem DPR RI Sri Wulan mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus Corona Covid-19 dirasa kurang sensitif dan dapat berefek negatif.

Dia menuturkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat mungkin dilakukan setelah situasi kembali normal. Namun kebijakan itu harus diawali dengan perbaikan tata kelola terlebih dahulu.

"Kenaikan iuran BPJS ini kurang sensitif dengan perkembangan situasi. Sebaiknya dikaji ulang," ujar Sri Wulan melalui keterangan tertulisnya, Jumat (15/5/2020).

Dia mencatat, saat ini setidaknya terdapat 2,8 juta pekerja yang terancam PHK akibat pandemi corona Covod-19. Akibatnya, angka pengangguran diprediksi akan meningkat.

"Belum lagi usaha-usaha kecil penopang ekonomi warga juga terdampak Covid-19. Kalau pemerintah saja mengatakan bahwa ekonomi baru akan kemungkinan mulai pulih pada tahun 2021, perkiraan yang sama semestinya dipakai juga sebelum menaikan iuran BPJS," kata Sri Wulan.

Dengan menetapkan kenaikan Iuran BPJS, kata dia, bukan hanya warga yang akan mengalami dampaknya. APBN yang selama ini menanggung subsidi iuran juga akan mengalami dampaknya.

 

Aspek tersebut, menurut Sri Wulan, masih belum berubah dan harus tetap menjadi patokan kebijakan pemerintah. Merujuk putusan MA, dia mengatakan warga tidak boleh dibebankan dengan kenaikan iuran akibat kesalahan dan kecurangan yang dilakukan pengelola BPJS.

"Jangan lupa, putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS itu memberi 2 catatan serius. Pertama, tidak berfungsinya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk merumuskan kebijakan umum dan singkronisasi penyelenggaraan SJSN. Kedua, kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial. Kita belum tahu apa rencana pengelola BPJS dan pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan perbaikannya," ucapnya.

Sri Wulan menekankan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam situasi penurunan ekonomi akibat pandemi Covid-19 bisa menjadi bola liar di publik.

Upaya pemerintah untuk menghalau dampak lanjutan dari penurunan ekonomi yang tajam akibat pandemi lewat berbagai insentif bisa terancam gagal. Konsentrasi pemerintah untuk menghidupkan kembali produksi nasional akan terganggu dengan polemik kenaikan iuran BPJS ini.

"Sebaiknya pemerintah kaji ulang dan tunda pemberlakuan kenaikan iuran BPJS ini. Kesalahan dan kecurangan pengelola sebagaimana putusan MA harus lebih dulu diperiksa mendalam. Roadmap singkronisasi progam jaminan sosial ini harus benar-benar dibuat matang. Kalau itu belum dihasilkan oleh BPJS, DJSN dan Kementerian terkait, jangan naikkan iuran BPJS. Mereka yang mengelola ini harus lebih dulu bertanggung jawab atas kesulitan yang dialami. Bukan mendahulukan kenaikan iuran," tegasnya.

 

4 dari 9 halaman

KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020 yang menyatakan, Presiden Jokowi tak merespons surat rekomendasi yang diberikan KPK untuk mengatasi defisit dalam BPJS Kesehatan.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, surat rekomendasi tersebut diserahkan kepada Jokowi pada 30 Maret 2020 atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, menurut Pahala, hingga kini Jokowi tak menanggapi rekomendasi tersebut.

"KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan, tanpa menaikan iuran. Tapi enggak ditanggapi itu surat," ujar Pahala saat dikonfirmasi.

Dalam surat tersebut, KPK menyatakan telah menyelesaikan kajian tentang defisit pendanaan BPJS Kesehatan. Kajian dilakukan sebagai rangkaian terhadap program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang sudah dilakukan KPK sejak 2014.

Dalam surat itu juga KPK menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020.

Dalam surat tersebut, setidaknya ada enam rekomendasi yang diberikan KPK kepada Jokowi agar tak menaikan iuran BPJS Kesehatan. Salah satunya yakni dengan menertibkan kelas di rumah sakit.

 

5 dari 9 halaman

Ditolak KSPI

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Salah satunya karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dikatakan Iqbal, hal itu melanggar ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka ada potensi hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan akan terganggu. Karena kenaikan itu memberatkan masyarakat, sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengiur," kata Said Iqbal melalui keterangan tertulisnya.

Terlebih lagi, sambung dia, saat ini banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Negara seharusnya berkewajiban untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia, bukan malah membebaninya dengan kenaikan iuran.

Alasan kedua, kata Iqbal, KSPI menilai kenaikan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Dalam UU tersebut disebutkan, bahwa BPJS Kesehatan bukanlah BUMN, tetapi berbentuk badan hukum publik. Sehingga pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari pemilik BPJS Kesehatan.

"Adapun pemilik BPJS Kesehatan adalah mereka yang mengiur iuran," jelasnya.

Pemilik BPJS Kesehatan terdiri dari: 1) Pemerintah yang membayar biaya untuk Penerima Bantuan Iuran; 2) Pengusaha yang membayar iuran untuk buruh sebesar 4% dari gaji; 3) Buruh yang membayar iuran sebesar 1% dari gaji; dan 4) Masyarakat yang mengiur sesuai dengan kelas yang dipilihnya.

"Karena itu, BPJS harus bertanya kepada masyarakat jika ingin menaikkan iuran. Tidak boleh seenaknya menaikkan secara sepihak," tegas Iqbal.

Alasan ketiga, lanjut dia, Mahkamah Agung (MA) sudah membatalkan Perpres No 82 Tahun 2018 yang sebelumnya menaikkan iuran.

KSPI menilai, seharusnya untuk sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan. Tidak boleh diakal-akali untuk memaksakan kehendak.

Oleh karena itu, KSPI meminta pemerintah mentaati putusan MA. Jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak dibatalkan, sehabis lebaran KSPI akan mengajukan gugatan ke MA agar membatalkan Perpres tersebut.

"Selain itu, KSPI juga meminta DPR untuk mengambil sikap politik dengan memanggil Menteri Kesehatan dan Direksi BPJS Kesehatan untuk melakukan RDP guna membatalkan Perpres tersebut," pungkasnya.

 

6 dari 9 halaman

Ketua MPR

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut, mengingat putusan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya di Jakarta.

Menurut dia, meskipun kenaikan iuran BPJS nominalnya sedikit berbeda, namun langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan karena bukan satu-satunya cara mengatasi defisit ekonomi negara, terlebih di tengah resesi ekonomi saat ini.

Dia meminta pemerintah segera memberikan sosialisasi dan penjelasan yang dapat dipahami masyarakat karena rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini bertolak belakang dengan kembali normalnya iuran BPJS Kesehatan yang beberapa waktu lalu diputuskan MA.

Politikus Partai Golkar itu mengingatkan pemerintah agar selalu mengedepankan kepentingan masyarakat luas dan menyampaikan bahwa peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak pandemi COVID-19.

"Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini justru berpotensi membuat masyarakat kesulitan dalam membayar iuran BPJS Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Dia juga meminta pemerintah mencari solusi dalam menjaga keberlanjutan program JKN-KIS dan keberlangsungan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN agar tetap berjalan, namun tidak memberatkan ataupun membebani masyarakat.

 

7 dari 9 halaman

MA Angkat Bicara

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan, MA tidak akan menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Menurutnya, MA hanya berwenang mengadili sebuah perkara.

"MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah. MA hanya berwenang mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, dan itupun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA," ujar Andi saat dikonfirmasi.

Diketahui, pada Februari 2020, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Namun, Jokowi kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Menurut Andi, penerbitan Perpres 64 merupakan hak prerogratif Presiden.

"Jika benar Presiden telah menerbitkan Perpres baru yang menaikkan (lagi) iuran BPJS, tentu sudah dipertimbangkan dengan saksama," kata Andi.

Andi berpandangan, dalam membuat Perpres, Jokowi pastinya sudah mempertimbangkan semua aspek.

"Sebab kalau toh iuran BPJS itu harus dinaikkan untuk kesinambungannya, namun tentu juga Pemerintah mempertimbangkan isi putusan MA yang membatalkan Perpres No 75 yang lalu," jelas Andi.

 

8 dari 9 halaman

Coba Atasi Defisit

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan bahwa terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang penyesuaian iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan bisa mengatasi defisit.

Fachmi mengatakan bahwa berdasarkan hasil perhitungan mereka, apabila perpres tersebut berjalan pada 1 Juli tahun ini, BPJS Kesehatan hampir tidak mengalami defisit.

"Hampir kurang lebih bisa diseimbangkanlah antara cash in dengan cash out-nya, tentunya detilnya belum bisa saya sampaikan di sini," kata Fachmi dalam konferensi pers daringnya.

"Tentu banyak variabel lain yang harus kita lihat ulang terkait dengan pandemi COVID-19 dan lain-lain, tapi kalau kita melihat hitung aktuaria berdasarkan asumsi-asumsi normal tentu program ini akan sustain dan berkelanjutan," ujarnya.

Fachmi menambahkan, yang terpenting adalah adanya harapan agar rumah sakit bisa dibayar lebih tepat waktu sehingga bisa berkontribusi pada pelayanan yang lebih baik untuk masyarakat.

"Rumah sakit bisa dibayar lebih tepat waktu, harapan kita pelayanan akan lebih baik, pelayanan ke masyarakat juga akan berkualitas," jelas Fachmi.

Kunta Wibawa Dasa, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara, Kementerian Keuangan mengatakan bahwa peraturan ini diharapkan bisa membuat BPJS Kesehatan surplus pada tahun ini.

"Harapannya memang keuangan DJS Kesehatan untuk 2020 itu bisa surplus naiknya 1,76 triliun karena kemarin ada carry over di 2019 sekitar 15,5 (triliun)," kata Kunta dalam kesempatan yang sama.

"Dan harapannya kita bisa meningkatkan kualitas layanan kesehatan termasuk mereview INA-CBGs," ujarnya.

 

9 dari 9 halaman

Kata Istana

Pelaksana Tugas Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus Corona Covid-19 sudah memperhitungkan kemampuan bayar (ability to pay) masyarakat. Menurut dia, Kementerian Keuangan sudah melakukan perhitungan terkait hal itu.

"Dari Kementerian Keuangan mengatakan, perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay-nya dalam melakukan pembayaran," kata Abetnego.

Dia menyadari, perekonomian masyarakat kini tengah terpuruk akibat pandemi Corona. Namun, Abetnego menyebut saat ini pun negara juga mengalami kesulitan.

"Di dalam konteks potret negara juga kita lihat bahwa negara juga dalam situasi yang sulit kan. Artinya penerimaan negara juga menurun drastis," jelas dia.

Abetnego menjelaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut demi suistainability, keberlanjutan secara finansial. Dia menuturkan pemerintah berupaya memperbaiki pelayanan dan sistem jaminan kesehatan nasional.

"Kita harus punya sistem jaminan kesehatan nasional dan itu kita pertimbangkan dari aspek keberlanjutan dan perbaikan layanan yang terus menerus," jelasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.