Sukses

HEADLINE: Ospek Minum Air Ludah Rendahkan Martabat Manusia, Saatnya Tradisi Plonco Dihapus

Video ospek di Unkhair dikecam berbagai pihak. Belajar dari kasus itu, masyarakat berharap perpeloncoan tak terjadi lagi di dunia pendidikan.

Liputan6.com, Jakarta - Linimasa Twitter dan Instagram Sabtu 31 Agustus 2019 dihebohkan dengan video orientasi pengenalan kampus (ospek) mahasiswa baru di salah satu universitas di Ternate, Maluku Utara.

Dalam video berdurasi 47 detik itu, sejumlah mahasiswa berompi kuning tampak tengah menaiki tangga. Namun, mereka dipaksa menaiki tangga dengan cara tak lazim, berjongkok. Tidak mudah sekaligus membahayakan.

Tidak hanya itu, di adegan berikutnya, lebih miris lagi. Mahasiswa baru itu dipaksa meminum air ludah. Dalam tayangan tersebut terlihat, seorang mahasiswa tengah diberi segelas air minum. Tampak beberapa mahasiswa menutupi mulut mereka dengan kerudung, rautnya tak karuan menahan jijik air minum yang akan mereka teguk.

Sontak video itu mendapat kecaman dan cacian dari warganet. Setelah ditelusuri, peristiwa itu terjadi di Universitas Khairun (Unkhair) Ternate. Diketahui para korban perpeloncoan merupakan mahasiswa baru Fakultas Perikanan di univesitas tersebut.

Pengamat Pendidikan, Doni A Koesoema menyebut bahwa tindakan yang dilakukan mahasiswa senior kepada mahasiswa baru itu tidak dibenarkan.

"Itu jelas tindakan tidak manusiawi," kata Doni saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Senin (2/9/2019).

Doni mengatakan, kegiatan ospek harusnya dimanfaatkan pihak kampus untuk memperkenalkan diri kepada para mahasiswa baru. Tujuannya, agar para mahasiswa baru bisa lebih cepat beradaptasi dengan metode belajar dan lingkungan kampus.

"Kalau ada ospek yang kemudian melakukan seperti itu, itu tindakan kriminal melecehkan martabat manusia, kena perbuatan tidak menyenangkan, itu ada pasalnya," tutur Doni.

Doni berpendapat, kasus perpeloncoan khususnya di lingkungan kampus bukan barang baru. Setiap tahunnya masalah serupa terus terjadi.

Oleh karena itu, Doni menilai, perlu ketegasan dari pemerintah untuk mencegah kejadian yang sama terulang. Namun, Doni menyebut sampai detik ini, sikap tegas pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi belum terlihat.

"Kan Kemenristekdikti belum ada, kalau kita baca di kementerian belum ada pedoman (pengenalan) mahasiswa baru," terang Doni.

Menurut Doni, akibat tidak adanya aturan tegas dari Kemenristekdikti, pihak kampus seakan lepas tangan. Selain itu, pihak kampus selalu berkelit bahwa tindakan itu di luar pengawasan mereka.

"Karena enggak ada surat dari Kemenristekdikti, ospek di kampus jadi tidak ada panduannya. Harusnya rektor universitas sebagai pengelola harus memberikan perhatian khusus," tambah Doni.

Infografis Setop Perpeloncoan! (Liputan6.com/Triyasni)

Di sisi lain, Doni mendesak seluruh kampus di Indonesia untuk dapat mengontrol mahasiswanya agar aksi perpeloncoan tidak terjadi lagi. Tak hanya itu, pihak kampus juga harus menyiapkan sanksi tegas bagi para mahasiswa yang melanggar.

"Harus dicek, itu sengaja atau tidak. Kalau itu sengaja, harus diberikan sanksi tegas. Takutnya akan terjadi lagi di tahun berikunya untuk balas dendam. Nah, itu bukan tradisi yang bagus," kata Doni.

Dalam kasus ini, empat mahasiswa senior telah diberi sanksi. FSMA, AE, LM, dan NSF dari Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan mendapat sanksi skors oleh pihak kampus.

Doni berpendapat, sanksi yang diberikan pihak kampus kepada mahasiswa yang melanggar sudah tepat. Namun, yang perlu ditekankan, pihak kampus harus bisa menjamin kejadian serupa tidak kembali terulang.

"Karena memang harus mengedepankan kemampuan akal budi dan rasionalitas di setiap kampus. Dan itu harus kembangkan bagian dari proses orientasi," ucap dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sama dengan Perundungan

Psikolog anak dan remaja Oktina Burlianti menilai kegiatan pengenalan mahasiswa baru di Fakultas Perikananan Unkhair tak ubahnya dengan perundungan atau bullying. Ia pun mempertanyakan sistem ospek yang masih berlaku di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di lingkungan kampus.

"Kenapa diizinkan oleh sistem pendidikan dengan dibungkus nama 'ospek'" ucap Oktina, dihubungi oleh Health-Liputan6.com, Minggu 1 September 2019.

Psikolog yang akrab disapa Ulie ini menyebut, setidaknya ada tiga dampak bagi mahasiswa yang mengalaminya yakni menjatuhkan harga diri, dampak penyakit fisik, dan depresi. Bahkan, bukan tak mungkin juga mengurangi semangat belajar di sekolah atau kampus.

Namun, Ulie mengatakan, yang perlu dikhawatirkan dari tindakan ospek itu adalah menularnya perilaku kekerasan. "Kekerasan akan memicu kekerasan juga dari orang yang di-bully," jelasnya.

Psikolog yang juga aktif sebagai Direktur Program Sekolah Citta Bangsa Cibubur ini mengatakan, aktivitas ospek yang menjadi viral tersebut menunjukkan adanya salah kaprah dalam memaknai mentoring di kalangan pelajar.

"Mentoring di kalangan pelajar kok seringkali dianggap sebagai tindakan kekerasan ya? Ada salah kaprah di sini," ujar Ulie.

Menurut Ulie, permintaan maaf saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah tersebut. "Maaf saja tidak cukup. Sistem pendidikan harus diubah. Rasa ingin berkuasa dari para senior baiknya diubah menjadi rasa ingin mengayomi, melindungi, dan melakukan coaching," ucapnya.

Ulie menambahkan, memperbaiki kesalahan secara konstruktif penting dilakukan. Setidaknya ada tiga tindakan jangka pendek yang bisa dilakukan guna mengatasi kasus serupa.

Pertama, para senior yang terlibat perpeloncoan dihadapkan dengan mahasiswa baru yang menjadi korban. Di depan korban, para senior harus menyampaikan permintaan maaf secara langsung.

Kedua, mengajak diskusi para korban perpeloncoan. Pihak kampus harus mengetahui kerugian yang diterima para mahasiswa baru atas tindakan sewenang-wenang para senior. Dari diskusi itu kemudian dicarikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Ini namanya konsekuensi. Jadi, kita tidak memberikan hukuman. Tetapi para senior itu belajar tentang konsekuensi, yaitu tanggung jawab yang muncul sebagai konsekuensi atas tindakan merugikan yang telah mereka buat," jelas Ulie. 

Psikolog yang aktif mengelola Sekolah Citta Bangsa ini juga menuturkan, pentingnya mengubah rasa ingin berkuasa dari mahasiswa senior menjadi rasa ingin mengayomi, melindungi, dan coaching terhadap mahasiswa junior.

 

3 dari 5 halaman

Pemerintah Mengecam

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa) Kementerian Riset Teknologi dan pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), mengecam aksi tersebut. Melalui akun instagramnya @Ditjen_Belmawa, mereka menegaskan tindak perpeloncoan sudah seharusnya ditinggalkan.

"Lingkungan sekolah dan kampus semestinya menjadi lingkungan untuk tiap-tiap anak bangsa belajar dan berkembang dengan suka cita," tulis akun @Ditjen_Belmawa, Minggu 1 September 2019.

Ditjen Belmawa menyatakan, masa orientasi siswa juga harus dimanfaatkan menjadi wadah bagi para mahasiswa baru untuk melewati proses transisi menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri.

"Serta mempercepat proses adaptasi mahasiswa dengan lingkungan yang baru dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi," tulis akun tersebut.

Ditjen Belmawa juga menegaskan, tindakan perpeloncoan atau hal-hal lain yang berbau kekerasan dilingkungan pendidikan dilarang keras. Pelaku ataupun pihak-pihak yang terlibat harus diberi sanksi tegas dari pihak kampus.

"Ayo bersama kita bangun wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Menjadi generasi yang tidak hanya cerdas pikiran dan pengetahuan, namun juga cerdas dalam berperilaku dan bermasyarakat," tulis akun tersebut.

Ditjen Belmawa juga memberikan memberikan paduan kepada setiap universitas pada setiap periode ospek. Panduan tersebut tertera dalam surat Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Nomor B/636/B.B3/KM.00/2019 tanggal 24 Juli 2019 tentang Panduan Umum Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Tahun 2019.

"Perguruan Tinggi tidak diperbolehkan mengembangkan model pengenalan kampus sesuai dengan interpretasi masing-masing, sehingga terjadi penyimpangan antara lain aktivitas perpeloncoan oleh senior, kekerasan fisik dan atau psikis," ujar Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Ismunandar, Minggu 1 Agustus 2019. 

PKKMB atau ospek memang bukan tanggung jawab mahasiswa senior. Melalui surat tersebut, Ismunandar menyatakan bahwa PKKMB merupakan tanggung jawab pemimpin perguruan tinggi.

"Kegiatan PPKMB merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang merupakan tanggung jawab pemimpin perguruan tinggi. Tidak dibenarkan bila ada perguruan tinggi yang menyerahkan kegiatan sepenuhnya kepada peserta didik senior tanpa ada proses pembimbingan dan pendampingan yang memadai," kata Ismunandar.

Selain pendampingan, pemimpin perguruan tinggi harus melakukan pengawasan untuk memastikan ospekberjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan.

"Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan PKKMB sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan oleh panitia yang terdiri dari unsur pemimpin, dosen, tenaga kependidikan dan semua unsur lain yang dianggap perlu," ucap dia.

Keberadaan pedoman ini seharusnya dapat mencegah terjadinya kasus di Universitas Khairun. Bahkan, pedoman tersebut menjelaskan apa saja cara yang dapat dilakukan dalam melaksanakan PKKMB.

Cara tersebut antara lain pembinaan kesadaran bela negara, kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan gerakan nasional revolusi mental, pengenalan sistem pendidikan tinggi di Indonesia (termasuk etika, tata krama, norma di kampus), dan kesadaran lingkungan hidup dan kesiapsiagaan bencana di perguruan tinggi.

Selain itu, surat tersebut mengimbau PKKMB agar memenuhi tiga asas yaitu keterbukaan, demokratis dan humanis. Asas keterbukaan yaitu dilaksanakan secara terbuka dalam pembiayaan, materi kegiatan, informasi waktu dan tempat penyelenggaraan.

Asas demokratis berarti kegiatan dilakukan berdasarkan kesetaraan dengan menghormati hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat. Asas humanis yaitu PKKMB dilakukan atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, prinsip persaudaraan, dan anti kekerasan.

Meski begitu, sisi teknis dan pelaksanaan dapat disesuaikan dengan masing-masing perguruan tinggi, namun harus tetap berpedoman dengan panduan tersebut. "Perguruan Tinggi dapat mendeskripsikan materi lebih teknis dan metode pelaksanaan yang disesuaikan dengan karakteristik, berdasarkan kebutuhan masing-masing dengan tetap berpedoman pada panduan ini," ucap Ismunandar.

Pada panduan, Ismunandar menyatakan bahwa sanksi disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di tiap perguruan tinggi.

"Semua bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di atas (di panduan) dikenakan sanksi, sesuai dengan peraturan yang berlaku di perguruan tinggi masing-masing," ujarnya.

4 dari 5 halaman

Bentuk Unit Pelaporan Perundungan

Di pihak lain, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudin menilai, perlu pembentukan suatu unit di sekolah atau kampus untuk melaporkan perbuatan perundungan atau bullying.

Hal itu ia katakan terkait dengan adanya kegiatan orientasi sekolah dan pengenalan kampus (Ospek) di Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, yang menyuruh mahasiswa baru meminum air sudah diludahi.

"Untuk jangka panjang pun di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi juga ada satu unit semacam unit pengaduan di mana mahasiswa dan siswa yang mengalami tindakan-tindakan kekerasan dan kekhawatiran seperti bullying itu bisa, bisa mengadukannya," kata Hetifah pada merdeka.com, Senin (2/9/2019).

Menurutnya, jika ada unit khusus pelaporan bullying, akan mempermudah korban mengadu. Terlebih lagi korban kerap kali takut untuk melaporkan pada pihak yang berwajib.

"Jadi kalaupun kepada guru ataupun kepada dosen siapa jelas kalau mau hotline nomor teleponnya berapa. Nanti juga tentu saja pengaduan itu disertai juga informasi yang terbuka. Kalau mau mengajukannya, biasanya korban itu suka takut, ya dia lebih baik diam padahal ternyata korbannya banyak," ungkapnya.

Setelah membuat unit, diperlukan penanganan yang tepat dari pihak sekolah atau kampus terhadap keamanan korban. Sehingga korban merasa aman saat mengadu ke unit tersebut.

"Jangan nanti ditekan lagi sama pihak kampus misalnya 'ah kamu ngadu-ngadu', jadi pengaduan itu memang mekanisme yang harus diciptakan, gimana meng-handling suatu pengaduan secara bijak, jadi berkelanjutan. Jadi biar engg ada lagi, 'ah kalau nanti ngadu resikonya untuk kita sendiri'," ucapnya.

Hetifah juga meminta, semua kampus meningkatkan pengawasan pada kegiatan ospek. "Karena kami sangat tidak mengharapkan praktik-praktik yang mengandung unsur kekerasan itu bisa terjadi di lingkungan pendidikan," kata Hetifah.

Hetifah menilai, ospek yang terjadi di Universitas Khairun sudah masuk dalam kategori perundungan atau bullying. Kejadian itu juga berbahaya bagi mental para mahasiswa baru.

"Bisa jadi, nanti membuat mahasiswa itu bukannya tumbuh menjadi mahasiswa yang percaya diri, tetapi penuh rasa takut," ungkapnya.

Dia menuturkan, di beberapa kampus juga ada yang mewajibkan para panitia ospek mengikuti pendidikan tetang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak. Hal itu perlu dilakukan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Ia menambahkan, sebenarnya sudah ada aturan dari pemerintah soal pelaksanaan ospek. Karena itu, ia meminta, ada tindak tegas dari kampus pada mahasiswa yang melakukan ospek di luar unsur kemanusiaan.

"Jadi ya sebaiknya memang ada semacam tindakan ya sanksi yang tegas kalau masih terjadi supaya ada efek jera. Tapi juga diciptakan metode lainnya supaya kekompakan dan antara angkatan itu terjadi tanpa unsur-unsur itu terjadi," ucapnya.

5 dari 5 halaman

Ospek Maut

Perundungan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, kegiatan ospek di Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara harus menjadi pelajaran seluruh pihak agar kejadian serupa tidak terulang.

Kasus ini juga tidak bisa dianggap enteng. Sebab, kegiatan ospek tak jarang menelan korban jiwa. Misalnya dalam kasus kematian mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada 25 Januari 2013 silam.

Seorang Praja asal Sulawesi Utara bernama Jonoly Untayanadi (25) meninggal setelah mengikuti masa orientasi. Dari keterangan kerabat korban, Anton Jabarmase, Jonoly sebelumnya sering keluar masuk rumah sakit akibat disiksa para seniornya.

"Sebelum ini, dia (korban) juga pernah masuk rumah sakit karena disiksa. Orangtuanya ada di Tual, Maluku Tenggara. Bapaknya baru meninggal sebulan yang lalu," ujar Anton di kamar jenazah RS Malalayang.

Sementara itu, pihak IPDN mengatakan praja muda ini tewas akibat terperosok saat melewati kolam sedalam 2 meter.

Kasus yang sama juga menimpa Dimas Dikita Handoko (19) pada April 2014 silam. Dimas merupakan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Dimas yang merupakan taruna tingkat pertama sekolah pelayaran tersebut dinilai tidak kompak serta tak respek jika berhadapan dengan para seniornya.

Ketika itu, Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara AKBP Daddy Hartadi mengungkapkan, para pelaku mengaku ditegur oleh taruna semester IV yang menyebut bahwa korban tidak respek dan tidak kompak.

"Selanjutnya para korban dipanggil ke tempat kos pelaku Angga. Di mana rumah kos tersebut kerap dipakai para pelaku berkumpul," jelas Daddy di Mapolres Metro Jakarta Utara.

Awalnya, para pelaku menceramahi korban. Kemudian secara bergiliran ke tujuh korban diminta memasuki satu ruangan yang cukup besar yang ada di rumah kos tersebut.

"Di ruangan itu korban dipukuli di perut, dada dan ulu hati. Terus juga ditendang di perut, kakinya sama digampari pipinya," ungkap Daddy.

Namun, sambung Daddy, korban Dimas yang saat itu dipukuli oleh pelaku Angga, Fachry, dan Adnan sudah mengerang kesakitan. "Tapi oleh tersangka Fachry dan Andnan tetap dipukuli, ditendang juga digampar sampai jatuh," jelas Daddy.

Tak kuat menerima penyiksaan, tubuh Dimas pun lunglai hingga tak sadarkan diri. Panik, para pelaku pun kemudian memberikan minyak angin di bagian lubang hidung Dimas agar siuman.

"Wajah korban juga diciprat-cipratkan air dengan memakai gayung plastik namun korban tetap tak sadarkan diri hingga akhirnya meninggal dunia," tandas Daddy.

Tak hanya itu, Awaluddin (19) seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin juga bernasib sama. Korban meninggal setelah menderita sakit usai mengikuti ospek di kampusnya, selama dua hari berturut-turut. Awaluddin menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit (RS) Wahidin Sudiro Husodo.

Dari keterangan keluarga korban, Awaluddin langsung terkapar di kamarnya setelah mengikuti ospek tersebut. Awaluddin pun langsung dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya sudah tidak tertolong. Setelah diperiksa, baru diketahui ada luka lebam dan lecet di sekujur tubuhnya.

Keluarga menduga korban meninggal akibat kekerasan saat mengikuti ospek. Pasalnya, sebelum mengikuti ospek di kampusnya dia dalam kondisi sehat dan tidak menderita satu penyakit yang serius.

"Kalau memang dengan autopsi penyebabnya bisa diketahui ya kami akan melakukannya. Keluarga besar telah sepakat untuk itu," kata Andri keluarga korban.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.