Sukses

Kemenag: Menag Lukman Pengembali Gratifikasi Terbesar Setelah Presiden dan Wapres

Mastuki mengatakan, sebagai penyelenggara negara, Menag sadar penuh adanya larangan menerima gratifikasi.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama, Mastuki menegaskan komitmen antikorupsi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di tengah tudingan adanya kasus penentuan jabatan di Kemenag yang melibatkan anggota DPR Romahurmuziy dan mantan Kepala Kanwil Kemenag Jatim Haris Hasanuddin.

”Teman-teman media bisa cek rekam jejak Menag, beliau adalah pejabat publik dengan pengembalian gratifikasi terbesar kepada KPK setelah Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla,” ujar Mastuki, Selasa (4/6/2019).

Pelaporan gratifikasi oleh Menag ke KPK bukanlah kali pertama. Sejak menjadi penyelenggara negara, Menag tercatat beberapa kali melaporkan gratifikasi.

Menag bahkan pernah menerima penghargaan dari KPK sebagai salah satu pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar yang ditetapkan menjadi milik Negara.

Penghargaan disampaikan pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2017. Hanya ada tiga orang yang mendapat penghargaan itu, yaitu: Presiden, Wapres, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin.

Piagam Menag Lukman dari KPK sebagai pelapor gratifikasi. (Istimewa)

Mastuki mengatakan, sebagai penyelenggara negara, Menag sadar penuh adanya larangan menerima gratifikasi.

”Pak Lukman mengembalikan gratifikasi ke KPK, semuanya ada bukti penerimaan pengembaliannya. Bahkan pernah mengembalikan perhiasan berlian hampir Rp 4 miliar. Beliau selalu menolak yang bukan haknya. Sehingga kemudian KPK menyebut Pak Lukman sebagai pejabat yang patuh pelaporan gratifikasi. Itu fakta,” ujarnya.

”Jadi, logikanya, beliau yang sudah mengembalikan gratifikasi dalam jumlah besar, miliaran rupiah lho, masak mau mengorbankan reputasi dan integritasnya hanya untuk Rp 10 juta seperti dituduhkan Pak Haris,” imbuh Mastuki.

Terkait pemberian Kakanwil Kemenag Jatim Haris Hasanuddin sebesar Rp 10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang, Mastuki kembali menegaskan bahwa uang itu tidak diberikan kepada Menag.

”Kenapa tidak diberikan ke Menag? Karena Haris tahu pasti Menag menolak. Maka oleh Haris diberikan ke ajudan. Ajudan baru lapor ke Menag setelah sampai Jakarta. Dan langsung diminta mengembalikan,” papar Mastuki.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Pernah Terima

Ajudan Menag, lanjut Mastuki, tidak pernah bisa bertemu dengan Haris, sehingga uang masih disimpan ajudan dan baru dilaporkan kembali kepada Menag pada 22 Maret 2019.

”Akhirnya, uang Rp 10 juta itu dikembalikan ke KPK pada 26 Maret 2019 sebagai komitmen antikorupsi, seperti yang telah bertahun-tahun dilakukan Menag setiap menerima yang bukan haknya,” jelasnya.

Rentang waktu pemberian ke ajudan pada 9 Maret hingga pengembalian 26 Maret adalah 17 hari kalender atau 12 hari kerja, masih dalam batas Peraturan KPK Nomor 02/2014 yang mensyaratkan pengembalian gratifikasi maksimal 30 hari kerja.

Mastuki juga menyatakan, Menag tidak pernah menerima Rp 50 juta dari Haris seperti yang dituduhkan terjadi di Surabaya pada 1 Maret 2019.

”Saat ke Surabaya, 1 Maret 2019, Menag, ajudan, maupun tim protokol yang mendampingi tidak pernah menerima pemberian Haris. Ajudan Menag hanya satu kali menerima pemberian dari Haris yaitu Rp 10 juta di Jombang pada 9 Maret tanpa seizin dan sepengetahuan Menag, dan itu sudah dikembalikan ke KPK,” ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.