Sukses

Hamsad Rangkuti Wafat, Akhir Tragis Sastrawan Kritis

Hamsad Rangkuti penerima SEA Award 2008 harus menghabiskan penghujung hidupnya di rumah 3,5 x 5 meter.

Liputan6.com, Jakarta - Sastrawan Hamsad Rangkuti menghembuskan napas terakhir, Minggu (26/8/2018). Kabar itu disampaikan langsung istri almarhum, Nurwindasari.

"Telah berpulang ke rahmatullah bang Hamsad Rangkuti Minggu pukul 6.00 pagi 26 Agustus 2018. Mohon doa tulus dan maaf," katanya dalam pesan yang diterima Liputan6.com.

Hamsad dikenal sebagai sastrawan yang total mengabdikan hidupnya untuk sastra. Ia melahirkan beberapa karya kanon sastra.

Salah satu karyanya yang paling menarik adalah novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Novel tersebut mencerminkan paradoks pembangunan yang dilakukan pemerintah.

Ketika Kampu Berwarna Merah memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1980. Karya ini merefleksikan kehidupan para gelandangan dan kaum yang tergusur di Jakarta.

"Novel itu ingin mengatakan, di satu sisi berdiri bangunan raksasa yang megah dan kokoh dengan para penghuninya yang bergelimang kemewahan, dan di pihak lain, sekelompok besar masyarakat tergusur tak lepas dari penjara kemiskinan," kata Maman S Mahayana, kritikus dan akademisi Universitas Indonesia, saat dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Liputan6.com.

Lewat karyanya itu, menurut Maman, Hamsad memotret kehidupan keseharian kaum marjinal. Mereka terkukung kemiskinan dan kelaparan.

Kelompok seperti ini ada dan nyata. Maman menjelaskan, kemiskinan dan kebodohan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Kemiskinan hari-hari ini menjadi sangat struktural, kultural, dan spiritual menjadi satu kesatuan.

"Hamsad Rangkuti coba mengingatkan pembaca, di sekitar kita, di tengah glamor kehidupan perkotaan, masih terlalu banyak warga bangsa ini yang sehari-harinya hidup hanya berkutat dengan urusan makan," ungkap Maman.

Ia berpendapat, pada dasarnya sastrawan bergerak atas dasar pembelaan terhadap kemanusiaan. Hamsad Rangkuti di mata Maman Mahayana telah menunaikan tugas itu.

"Karya Hamsad Rangkuti ibarat potret tentang perubahan sosial yang terjadi pada zamannya. Jakarta misalnya, bagi dia, adalah kota yang penuh paradoks," kata Maman.

Sejumlah penghargaan pernah diraih Hamsad. Selain Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, ada pula pengakuan dalam bentuk Southeast Asian Writers Award (2008) dan Khatulistiwa Literary Award (2003).

Hamsad juga pernah mengabdi sebagai pemimpin redaksi majalah sastra Horison.

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

Saksikan video pilihan di bawah ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kesehatan Merosot

Sejak pertengahan 2017 lalu, Hamsad terbaring lemah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Depok, Jawa Barat.Penulis novel Ketika Lampu Berwarna Merah itu sudah tak mampu lagi bergerak.

Pada 2012, Hamsad pernah operasi by pass jantung. Sastrawan kebanggaan tanah air kelahiran Medan, 7 Mei 1943 itu juga harus membuat saluran pembuangan air kecil di perutnya.

"Bapak juga dua hari sekali mesti tambah oksigen. Makannya cuma bisa satu merek, namanya Proten," ujar Nurwindasari, istri Hamsad Rangkuti saat dihubungi Liputan6.com pertengahan tahun lalu

Menurut Nur, dalam satu bulan suaminya butuh 9-10 boks Proten. Sementara harga satu boks Proten sekitar Rp 256 ribu.

Di akhir masa hidupnya, Hamsad tinggal di rumah petak berukuran 3,5 x 5 meter di Bilangan Depok. Bersama istri, ia mendirikan rumah sederhana tersebut di kebun miliknya.

Rumah lama yang Hamsad tak bisa ditinggali, karena tergusur pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.