Sukses

BNPT: Media Mainstream Jangan Beri Umpan Kelompok Teroris

Media seharusnya mengangkat sisi nasionalisme dari aksi terorisme, bukan glorifikasi dari aksi yang membahayakan umat manusia itu sendiri.

Liputan6.com, Jakarta Sepekan lalu, perhatian masyarakat tertuju pada aksi terorisme beruntun di beberapa wilayah; Mako Brimob, Polrestabes Surabaya, Sidoarjo, dan Polda Riau. Satu per satu media menyiarkan dan mengulas kejahatan yang menelan korban total dua puluh jiwa. Densus 88/Antiteror menangkap 70-an sel teroris di beberapa provinsi

Namun, dari keramaian informasi yang muncul ke tengah publik, tanpa disadari media punya peran memberikan 'oksigen' kepada kelompok teroris. Aski teror tersebut langsung tidak langsung menggerakkan sel lain untuk berbuat aksi serupa.

"Apa yang diinginkan teroris adalah simpati, dukungan. Karena, kalau itu tercapai mereka menganggap aksi mereka berhasil," kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Hamli, dalam diskusi bertajuk "Pemberitaan Berlebihan Terhadap Aksi Terorisme" di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018).

"Media mainstream jangan beri umpan (pada teroris)," Hamli menambahkan.

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah, dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Yuliandre Darwis.

Jenderal bintang satu ini mengatakan, riset yang dilakukan BNPT menyatakan 45,5 persen mereka yang terpapar terorisme adalah karena pemahaman agama yang keliru. Sekitar 20 persen karena solidaritas komunal dan aksi balas dendam, sementara 10,9 persen karena situasional seperti ketidakadilan, kemiskinan.

Mayjen Sabrar mengatakan, terorisme seharusnya menjadi musuh bersama yang merusak harga diri bangsa.

Media, kata dia, seharusnya mengangkat sisi nasionalisme dari aksi terorisme, bukan glorifikasi dari aksi yang membahayakan umat manusia itu sendiri.

Sementara Irjen Setyo mengatakan, pihaknya tetap berupaya terbuka dengan media dalam memberikan informasi terkait terorisme. Namun, kata dia, tidak serta merta keterbukaan informasi tersebut diasosiasikan dengan informasi yang telanjang tanpa filter.

"Keterbukaan bukan berarti telanjang. Ada rambu, etika, dan hukum yang berlaku," kata Setyo.

Dalam kasus aksi terorisme di rumah tahanan Salemba cabang Mako Brimob, Setyo menjelaskan, pihaknya berupaya memilah mana informasi terkecualikan mana yang bisa dibuka ke publik. Hal ini dilakukan agar informasi yang keluar ke masyarakat tidak dimanfaatkan oleh kelompok teroris di luar Mako Brimob.

"Media ikut bertanggung jawab atas perkembangan situasi di masyarakat," kata Setyo.

Ketua KPI Yuliandre Darwis berharap media memiliki standard operational procedure dalam peliputan terkait teror. Menurut dia, proses penyaringan informasi sedianya sudah dilakukan di lapangan, yaitu di tingkat jurnalis itu sendiri.

"Sehingga tidak menimbulkan kepanikan," kata Yuliandre.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi mengatakan bahwa kejahatan terorisme tidak hanya ada di pundak aparat TNI, Polri, atau BNPT saja.

Menurutnya, terorisme saat ini menyasar tidak hanya objek-objek vital saja, tapi juga sarana publik agar aksi mereka menjadi glorifikasi pemberitaan.

"Perang terorisme adalah perang kita semua," kata Stanley, sapaan Yosep Adi.

Wartawan, kata Stanley, juga harus mengikuti pedoman peliputan terorisme Dewan Pers, di mana keselamatan wartawan itu sendiri menjadi nomor satu serta kepentingan publik di atas kepentingan lain dari media itu sendiri.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.