Sukses

Terdakwa Suap Paspor dan Visa Minta Hakim Ringankan Hukuman

Terdakwa kasus suap penerbitan paspor RI di KBRI Kuala Lumpur Dwi Widodo keberatan dengan dakwaan dan tuntutan jaksa pada KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus suap penerbitan paspor RI dengan metode reach out pada 2016 dan penerbitan calling visa pada periode 2013-2016 di KBRI Kuala Lumpur Dwi Widodo keberatan dengan dakwaan dan tuntutan jaksa pada KPK.

Mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur itu dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

Menurut Dwi, dengan tuntutan tersebut bukan hanya dia yang terbebani melainkan juga keluarga terutama anak-anaknya. Dia pun berjanji tidak mengulangi perbuatannya.

"Saya yakin Tuhan merancang rencana lebih indah dalam hidup saya. Untuk itu melalui majelis hakim yang mulia saya mohon keadilan dan berharap diberikan hukuman yang seringan-ringannya untuk ringankan beban saya, anak istri dan cucu saya, serta keluarga besar saya," kata Dwi saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/2017).

Dia pun mengungkapkan ada perbedaan terkait total uang yang disebutkan jaksa pada KPK dengan yang diterimanya. Jumlah total yang diterimanya ada 49.250 ringgit Malaysia, bukan 63.500 ringgit Malaysia.

"Total 49.250 Ringgit Malaysia, bukan 63.500 Ringgit Malaysia sebagaimana dakwaan maupun tuntutan jaksa penuntut umum," ujar Dwi.

Namun, Dwi membenarkan ada menerima uang sebesar Rp 535.157.102 dalam kurun waktu selama 2013-2016, sebagaimana yang terbuang dalam dakwaan dan tuntutan.

Tapi dia menampik jika disebutkan jumlah uang tersebut dimakannya sendiri. Selain untuk pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), uang itu juga untuk kegiatan operasional bidang Imigrasi pada KBRI Kuala Lumpur dan penerbitan calling visa.

Dwi menyebut total ada Rp 270 juta untuk kegiatan operasional. Menurut dia, pernyataannya itu dikuatkan oleh keterangan saksi Elly Yanuarin Dewi dalam sidang yang lalu.

"Hal ini untuk kegiatan operasional di bidang imigrasi KBRI Kuala Lumpur," ujar Dwi.

Selain itu, dia keberatan atas tuntutan jaksa yang menyebut uang Rp 535.157.102 masuk ke kerugian negara. Menurut Dwi, uang itu diperoleh dari pihak sponsor sebagai ucapan terima kasih pengurusan permohonan calling visa dan penerbitan calling visa setelah mendapat persetujuan dari ditjen imigrasi.

"Sehingga tidak tepat kiranya apabila saya harus ganti kerugian tersebut. Karena selain tidak ada uang negara yang saya ambil atau saya gunakan, dan uang tersebut juga tidak sepenuhnya saya kuasai atau saya miliki," ujar Dwi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tuntutan Jaksa

Jaksa juga menuntut Dwi membayar uang pengganti sebesar Rp 535 juta dan 27.400 ringgit Malaysia. Jika terdakwa tidak sanggup membayar uang pengganti, jaksa berhak menyita harta benda milik Dwi.

Pada amar tuntutan, Dwi diberikan waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti.

"Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara dua tahun," kata Jaksa Arif Suhermanto membacakan amar tuntutan.

Jaksa melihat Dwi memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan kekayaan. Baik untuk diri sendiri, keluarga, atau maupun lain.

"Kejahatan yang dilakukan terdakwa dilandasi keinginan memperoleh kekayaan untuk diri sendiri dengan memanfaatkan jabatan," ujar jaksa.

Dwi mempunyai kewenangan memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen atau persyaratan terhadap WNA yang mengajukan permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur.

Saat menjabat, Dwi juga mempunyai kewenangan untuk menentukan disetujui atau tidaknya permohonan pembuatan paspor untuk para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.

Namun, dalam penyidikan, staf KBRI menyerahkan sebagian uang ringgit Malaysia yang diterima dari Dwi kepada KPK.

Dwi dinilai jaksa melanggar Pasal 12 huruf b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.