Sukses

Ramai-Ramai Mengeroyok Kretek

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Produk rokok dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sulit masuk ke negara maju. Kretek tak hanya terkenal hambatan tarif (tariff barrier), tapi juga hambatan non tarif (nontariff barrier).

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Kalau tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun. Dan tahun ini, target CHT sudah mendekati Rp 150 triliun, masuk ke kas negara.

Dari sisi penerimaan negara, kontribusi industri hasil tembakau (IHT) yang terintegrasi dari hulu ke hilir ini, juga mengalahkan pendapatan negara dari sektor tambang dan migas dari.

Sekadar perbandingan, pada tahun lalu lalu, sektor tambang mineral dan migas hanya menyumbang sekitar Rp 70an triliun. Padahal industri ini telah eksplorasi lahan mencapai jutaan hektar dengan potensi kerusakan lingkungan yang sangat besar.

Namun, meski saban tahun menyumbang duit jumbo, IHT terus terpuruk. Tidak hanya oleh kampanye hitam yang disponsori asing, namun juga tekanan regulasi di dalam negeri. Ada ratusan beleid, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah, yang membatasi ruang gerak IHT atas nama isu kesehatan.

Tidak hanya itu, IHT juga berada diujung tanduk akibat “impor” regulasi internasional, yang ironisnya, dilakukan oleh pemerintah sendiri.

Memang kita belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), tapi isi beleid internasional itu telah diadopsi di peraturan pemerintah soal kesehatan.

Dalam buku Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, terbitan yayasan Indonesia Berdikari (2011), ada empat tantangan kompleks di industri tembakau.

Pertama, persaingan antara negara berkembang dengan negara maju dalam memperebutkan pasar rokok. Kedua, kompetisi antara perusahaan tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahaan farmasi dalam memperebutkan pasar nikotin. Ketiga, pertarungan antara perusahaan rokok besar dan, keempat, kompetisi antara perusahaan rokok besar dengan perusahaan rokok kecil.

Sudah mafhum, produk rokok dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sulit masuk ke negara maju terkendala hambatan tarif (tariff barrier) maupun hambatan non tarif (nontariff barrier).

Pada 2007 lalu Amerika Serikat melarang masuk rokok kretek demi melindungi rokok putih. Pelarangan melalui regulasi tembakau yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) dengan merujuk Undang Undang Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act) yang telah disahkan oleh pemerintah AS.

Pada Tobacco Control Act, terdapat aturan pelarangan penjualan rokok kretek atau aromatik di AS, karena dianggap lebih berbahaya ketimbang rokok yang tidak beraroma alias rokok putih. Larangan tersebut menyebabkan Indonesia tidak bisa menjual jutaan batang rokok yang nilainya lebih dari 6,4 juta dollar AS.

Pelarangan rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat jelas bentuk nyata hadangan rokok putih Amerika yang tak ingin kehilangan pasar. Amerika Serikat sadar, kalau mereka tidak bikin pagar, kretek bakal semakin digdaya di Negeri Adidaya itu.

Lihat saja, segala cara dilakukan demi menghadang kretek, termasuk menggunakan National Security Agency (NSA) untuk menyadap Biro Hukum Mayern Brown, penasihat hukum Indonesia di World Trade Organization (WTO). Mayern Brown adalah pengacara Indonesia saat sengketa kretek berlangsung.

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwono pernah mengatakan, penyadapan NSA atas Mayern Brown menunjukan upaya Amerika menjatuhkan industri rokok kretek Indonesia.

Menurut Hikmahanto, dengan mengetahui strategi Mayern Brown, tim legal Amerika bisa menyusun strategi agar menang melawan Indonesia dalam sidang WTO berikutnya. Sehingga Amerika bisa leluasa menjalankan undang-undang anti rokok kretek di negerinya.

Toh, meski cara licik diterapkan, WTO melalui Dispute Settlement Understanding (DSU) pada akhir 2012 telah memenangkan gugatan Indonesia terhadap larangan perdagangan rokok kretek di Amerika. Namun Amerika tetap tidak mencabut regulasi tersebut, sehingga Indonesia kembali menggugat Amerika pada Agustus 2013 dan kembali menang.

Meski Indonesia berulang kali menang, Amerika sampai sekarang tak kunjung mencabut aturan itu. Inilah contoh nyata kalau Amerika tak ingin pasar rokok putih mereka punah.

Panggah Susanto, Dirjen Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian, mengakui Amerika kerap memberi hambatan terhadap kretek Indonesia, salah satunya melalui sosialisasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di World Health Organization (WHO).

“Amerika ingin industri tembakau putih mereka laku dan terserap pasar lokal. Kita tidak boleh menyerah karena ada jutaan pekerja bergantung pada industri rokok kretek nasional,” ungkap panggah, dilansir www.kemenperin.go.id.

Farmasi ikut terlibat
Persaingan dalam industri tembakau dan produk olahannya tidak hanya melibatkan perusahaan rokok, akan tetapi juga melibatkan perusahaan farmasi dalam rangka memperebutkan peluang keuntungan di pasar nikotin. Sudah mafhum, pasar nikotin sangat seksi dengan nilai miliaran dollar.

Para pemain industri farmasi yang berkepentingan menghilangkan tembakau antara lain, Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline yang merupakan hasil merger dua raksasa perusahaan farmasi Glaxo Wellcome, Pharmacia & Upjohn, hingga Advanced Tobacco Products, Inc.

Perusahaan farmasi tersebut pada dasarnya menyediakan produk nikotin sintesis untuk mengganti rokok baik dalam bentuk permen karet hingga bentuk koyo. Bahkan, Johnson & Johnson, Pharmacia & Upjohn dan Novartis diketahui bermitra dengan WHO untuk melakukan kampenye anti tembakau.

Wanda Hamilton, dalam buku Nikotin War (2009), menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2000 penjualan obat berhenti merokok berbasis nikotin di Amerika bernilai kira-kira 700 juta dollar AS, belum termasuk penjualan Zyban obatberhenti merokok non nikotin. Angka ini tidak termasuk penjualan global di luar Amerika yang terus meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa obat berhenti merokok adalah bisnis miliaran dolar.

Bahkan masih memiliki potensi laba lebih besar lagi di masa mendatang karena WHO juga telah mendorong program berhenti merokok secara global.

Subsidi petani tembakau

Gencarnya kampanye ‘menghanguskan’ tembakau juga berimbas ke petani. Regulasi internasional dalam bentuk kebijakan pasar bebas, akhirnya juga diadopsi pemerintah. Meski petani punya peran penting dalam kelangsungan industri tembakau, pemerintah masa bodoh terhadap petani tembakau.

Alih-alih mendorong agar produksi tembakau di dalam negeri terus meningkat sehingga ketergantungan impor tembakau berkurang, pemerintah malah gencar mengajak petani tembakau beralih ke komoditas lain. Lembaga-lembaga riset tembakau juga dibubarkan.

Sementara di negara maju, petani tembakau dimanjakan dengan beragam proteksi dan subsidi. Ambil contoh Uni Eropa yang sudah menerapkan subsidi agar produktivitas petani tembakau mereka makin meningkat. Delapan negara anggota produsen tembakau di bawah rezim Uni Eropa adalah Austria, Belgia, Perancis,Jerman, Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol.

Melalui Kebijakan Pertanian Bersama atau Common Agriculture Policy (CAP), petani tembakau di Uni Eropa, terutama di Italia dan Yunani, menerima subsidi sebesar 809 juta dollar AS pada tahun 1998.

Di Eropa tembakau adalah tanaman yang paling banyak subsidi per hektar, dan menyumbang kurang dari 5 persen dari output dunia. Di beberapa daerah, terutama di Italia, petani mendapatkan subsidi tinggi sambil terus meningkatkan produksi varietas tembakau yang di ekspor ke luar Uni Eropa.

Sebagian besar tembakau ini, banyak dengan kadar TAR tinggi, diekspor ke Eropa Timur dan negara-negara berkembang. Bahkan pada 2013 lalu, parlemen Eropa sepakat meningkatkan subsidi untuk petani tembakau.

Hal senada dilakukan Amerika Serikat. Sebagai salah satu negara penghasil tembakau, pemerintah AS dari tahun 1995 sampai dengan 2009 memberikan subsidi tembakau sebesar 944 juta dollar AS. Nilai subsidi jumbo itu dinikmati 57 ribu petani. Sementara di Indonesia, akibat kebijakan neoliberalisme, subsidi untuk petani sudah tak bersisa dan diserahkan ke mekanisme pasar.

Inilah pesan penting dari “dunia luar”. Kalau Indonesia masa bodoh dengan IHT, maka kretek dan petani tembakau segera tinggal sejarah.



(Adv)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini