Sukses

Santoso Tewas, Polri Diminta Antisipasi Ancaman Balas Dendam

Satgas Tinombala memburu anggota kelompok sipil bersenjata MIT pimpinan Santoso. Polri dan TNI memprediksi jumlah mereka masih 18-20 orang.

Liputan6.com, Jakarta - Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala baru saja melumpuhkan pimpinan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) Santoso. Teroris paling diburu itu tewas setelah terlibat baku tembak di hutan Tambarana, Poso Pesisir Utara Sulawesi Tengah, Senin 17 Juli 2016.

Meski menembak mati Santoso, namun Polri diminta tetap waspada. Sebab tak menutup kemungkinan akan ada aksi balas dendam dari anak buah Santoso.

"Karena bisa saja terjadi ancaman-ancaman semacam itu," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuah di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/7/2016).

Tak hanya itu, mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini juga mengingatkan agar polisi terus mengantisipasi ancaman teror, selain dari kelompok Santoso. Sehingga ancaman teror tidak terjadi lagi.

"Iya harus diantisipasi semua, jangan justru jadi lengah. Kami ingatkan kepada Polri, dengan adanya peristiwa ini terus meningkatkan kewaspadaan," ucap Edi.

Satuan Tugas (Satgas) Tinombala terus memburu anggota kelompok sipil bersenjata MIT pimpinan Santoso. Polri dan TNI memprediksi jumlah mereka masih 18-20 orang.

"Estimasi 18-20 orang. Sekitar itu. Second layer-nya Basri. Ada lagi setelah itu yang namanya Ali," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta.

Oleh karena itu, tim tengah mempersempit ruang gerak MIT. Begitu pula dengan sarana dan prasarana yang digunakan kelompok Santoso.

"Yang jelas, dengan adanya senjata api yang diamankan, senjata api mereka berkurang. Makanya, membatasi sarana prasarana yang mereka gunakan itu tengah kita lakukan," kata Boy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini