Sukses

Kasus Bullying Antar-Anak Sekolah Terus Berulang, Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mencegahnya?

Banyak faktor yang memicu bullying di antara anak sekolah. Kemendikbudristek menguraikan sejumlah celah yang dimanfaatkan pelaku hingga mereka merasa tidak akan terjamah konsekuensi.

Liputan6.com, Jakarta - Satu demi satu kasus bullying menuai perhatian publik. Salah satu kasus terbaru dilakukan oleh sejumlah siswa di Binus International School Serpong. Seorang siswa jadi bulan-bulanan rekan-rekannya hingga babak belur. 

Saking seriusnya kasus perundungan yang menimpa ABH, polisi turun tangan mengusutnya. Pada Jumat, 1 Maret 2024, Polres Tangeran Selatan (Tangsel) akhirnya menetapkan empat orang tersangka dan delapan siswa SMA Binus International Serpong sebagai anak yang berkonflik hukum.

Itu jelas bukan kasus pertama. Asesmen Nasional 2022 yang dilakukan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa 1 dari 3 siswa atau 36,1 persen peserta didik berpotensi dirundung. Kemendikbudristek juga mengaku telah menangani 88 laporan perundungan sejak 2022 hingga saat ini.

"Sebanyak 39 laporan di jenjang sekolah menengah, 30 laporan di jenjang PAUD/Sekolah Dasar, dan 18 laporan di jenjang perguruan tinggi," kata Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami dalam keterangan tertulis kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 1 Maret 2024.

Saking kelamnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memasukkan bullying sebagai salah satu dosa besar pendidikan, bersama kekerasan seksual dan intoleransi. Sebenarnya, apa yang membuat kasus bullying anak sekolah ini seolah tak bisa dihentikan?

Psikolog anak dan keluarga Roslina Verauli menyatakan bahwa itu terjadi karena banyak faktor.  Mengutip Teenager 911 New Edition, dari aspek perilaku, faktor dark triad atau sisi gelap kepribadian turut berperan. Berbagai riset menunjukkan kaitan pola kepribadian machiavellianism dan psychopaty turut berpengaruh besar.

"Machiavellianism itu bentuk kepribadian yang kurang peduli moralitas dan kurang peka dalam relasi interpersonal. Psychopaty adalah pola kepribadian yang cenderung melakukan eksploitasi atas orang lain dalam relasi interpersonal," ia menerangkan.

2 dari 5 halaman

Sisi Gelap Relasi Sosial

Prinsipnya, kata Vera, bullying berpotensi muncul selama ada lebih dari satu orang berkumpul. Karena itu, perundungan kerap disebut 'the dark side' dari relasi sosial. Bullying juga bisa terjadi bila ada kekuatan yang tidak seimbang dari individu atau sekelompok individu ke individu lain yang berdampak membahayakan secara fisik, mental, dan psikososial.

Sementara, Prita, sapaan akrab Rusprita, menguraikan sejumlah celah yang dimanfaatkan perundung untuk beraksi. Pertama adalah media sosial. Mereka seringkali menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang merendahkan atau mempermalukan korban secara publik.

"Celah ini bisa dimanfaatkan karena seringkali sulit bagi pihak berwenang untuk mengawasi atau mengontrol setiap interaksi di media sosial," katanya.

Di lingkungan sekolah, celah yang kerap dimanfaatkan perundung adalah budaya sekolah yang tidak mengutamakan kesehatan mental dan lemah pengawasan. Mereka lebih mudah bertindak tanpa takut akan konsekuensi.

Kurangnya pendidikan dan kesadaran juga memicu perundungan. Menurut Prita, banyak orang tidak menyadari tindakan perundungan atau bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Kurangnya pendidikan tentang pentingnya menghormati orang lain dan kesadaran tentang dampak negatif perundungan juga bisa menjadi celah.

3 dari 5 halaman

Upaya Pemerintah Tekan Kasus Perundungan Anak Sekolah

Prita menyatakan pihaknya terus memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk perundungan di tempat pendidikan, melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) yang diluncurkan pada 8 Agustus 2023 sebagai kebijakan Merdeka Belajar episode ke-25.

Salah satu mandatnya adalah membentuk TPPK dan Satgas PPKSP untuk memastikan respons cepat penanganan ketika terjadi kekerasan di tempat pendidikan. Sampai Jumat, 1 Maret 2024, lebih dari 356 ribu satuan pendidikan telah membentuk TPPK dan 301 provinsi dan kab/kota telah membentuk Satgas PPKSP.

Upaya lainnya adalah meluncurkan program pencegahan perundungan bernama Roots sejak 2021 berkolaborasi dengan UNICEF. Program itu menyasar SMP, SMA, dan SMK dan sudah menjangkau 10.718 satuan pendidikan dan mencetak 20.140 fasilitator guru dan 51.549 siswa agen perubahan. Selain membekali guru dan siswa pengetahuan serta keterampilan mencegah perundungan, program Roots diklaim mendorong sekolah membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan.

"Survei situasi perundungan yang berlangsung melalui media U-Report dari UNICEF pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 42 persen peserta didik menyatakan program Roots memberikan perubahan positif bagi lingkungan sekolahnya. Selain itu, 32 persen peserta didik merasa bahwa perundungan telah berkurang setelah adanya intervensi program Roots," ucap Prita.

4 dari 5 halaman

Dikeluarkan dari Sekolah Adalah Opsi Terakhir

Kalaupun kekerasan tetap terjadi, pemerintah menyiapkan perangkat hukum yang harus diikuti sekolah, dimulai dari menindaklanjuti laporan hingga memutuskan sanksi bagi para pelakunya yang terdiri dari sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan berupa teguran tertulis.

Sanksi sedang berupa tindakan edukatif yang harus dilakukan dalam kurun  waktu minimal selama lima hari sekolah dan maksimal selama 10 hari sekolah. Terakhir, sanksi administratif berat bagi peserta didik berupa pemindahan peserta didik ke satuan pendidikan lain.

"Sanksi administrasi berat berupa pemindahan sekolah menjadi upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dengan pertimbangan jika pelaku melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan korban mengalami luka fisik berat, kerusakan fisik permanen, kematian, dan trauma psikologis berat," jelas Prita.

"Pemindahan sekolah bagi pelaku juga tidak bisa semata-mata menjadi pilihan, tetapi harus ada rekomendasi dan difasilitasi oleh Satuan Tugas dan/atau Dinas Pendidikan," imbuhnya.

Kalaupun harus pindah sekolah, siswa tersebut, sambung dia, harus mengikuti program konseling sebelum memulai proses pembelajaran di sekolah yang baru. Satuan Tugas menunjuk lembaga atau perangkat daerah yang memiliki kewenangan di bidang kesehatan, sosial, dan/atau perlindungan anak misalnya UPTD PPA atau unit lainnya yang sesuai untuk menjalankan program konseling tersebut.

 

5 dari 5 halaman

Perlu Pendekatan Positif Terhadap Pelaku Bullying

Sementara, Vera mengingatkan bahwa hukuman pada perundung tak boleh melibatkan kekerasan bila tak ingin jadi bumerang. "Mereka butuh pendekatan yang lebih positif, terutama dalam meningkatkan perasaan diri berharga, kebutuhan untuk berprestasi, dan terdorong untuk berkarya," ujarnya.

Dalam pengasuhan, orangtua lebih terlibat dalam relasi yang hangat dan positif terhadap anak-anaknya. Secara sosial, memilih pertemanan yang sehat sangatlah penting karena di usia anak dan remaja, otak mereka hanya memungkinkan untuk mudah merespons secara emosional sehingga mudah terpengaruh teman.

"Bila sudah dalam geng atau peer group, tiap anak akan “lebur” menjadi satu kesatuan kelompok. Menjadi dengan kepribadian kelompok. Kalau gengster yang diikuti, aksinya menjadi ikut ala gengster bahkan eskalasi agresi meningkat dalam bentuk kekerasan yang brutal. Bahkan, si anak saja bisa tak menyangka bahwa ia bisa terbawa brutal yang jauh berbeda dari kepribadian hariannya," tuturnya.

Orangtua pelaku bullying butuh dilibatkan, bahkan konselor sekolah dan psikolog turut terlibat. Tujuannya agar mengutamakan pendekatan positif dari tiap pelaku bullying dalam mempertanggungjawabkan aksinya pada korban dan keluarga korban.

"Dalam konteks ekstrim hingga melibatkan kekerasan yang berdampak melukai secara fisik, maka butuh ditangani dengan melibatkan konsekuensi hukum pada anak. Bisa dalam bentuk minimal skorsing hingga pertanggungjawaban secara hukum dari pelaku dan keluarga," pungkasnya.