Sukses

Tanggapan Menparekraf Soal Green Inflation: Jangan Sampai Meningkatkan Biaya untuk Healing

Dampak greenflation ini memunculkan kekhawatiran bahwa harga komoditas dan barang-barang kebutuhan pokok akan naik seperti beras, karena bahan baku untuk membuatnya naik.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah “green inflation” (greenflation) atau “inflasi hijau” menjadi perhatian publik setelah calon wakil presiden (cawapres) nomor 02 Gibran Rakabuming Raka memberikan pertanyaan terkait hal tersebut kepada cawapres nomor 03, Mahfud Md. Gibran memberikan pertanyaan tersebut kepada Mahfud Md terkait bagaimana cara mengatasi green inflation. dalam acara debat cawapres pada Minggu, 21 Januari 2024 di Jakarta Convention Center (JCC).

Green inflation merupakan kenaikan harga barang akibat dari kebijakan lingkungan yang dibuat demi mengusung transisi ke energi hijau. Pasalnya, ketika melakukan transisi dari energi fosil kepada energi terbarukan akan ada peningkatan permintaan pasar.

Situasi itu pun akan naik menyesuaikan dengan supply atau barang yang tersedia tersebut. Greenflation ini bisa berdampak di berbagai bidang termasuk pariwisata. Menanggapi hal itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, Kemenparekaf belum lama ini sudah membahas masalah tersebut.

"Dampak greenflation ini memunculkan kekhawatiran bahwa harga komoditas dan barang-barang kebutuhan pokok naik seperti beras, karena bahan baku untuk membuatnya naik, ini juga dipicu perubahan iklim," terang Sandiaga Uno yang biasa Sandi,ini dalam The Weekly Brief with Sandi Uno di kantor Kemenparekraf, Jakarta, Senin, 22 Januari 2024.

"Karena itu ada baiknya dibuat kebijakan yang lebih adaptif misalnya kita mendorong hotel-hotel menggunakan solar panel agar bisa lebih menghemat listrik, tapi berdasarkan kebijakan atau regulasi yang ada ternyata membuat mereka tidak bisa meng-invert atau menjual energi yang mereka hasilkan ke PLN. Jadi sekarang beberapa hotel memakai baterai untuk menghemat listrik yang biayanya jadi lebih mahal,” lanjutnya.

Pria yang biasa disapa Sandi ini menambahkan, sebaiknya dibuat regulasi yang mendorong green tourism dan green economy. agar bisa menjual energi listrik dari inverter ke PLN. Alternatif lainnya adalah menurunkan tarif listrik bagi pelanggan yang menerapkam green tourism atau bagi para pelaku UMKM di sentra-sentra ekonomi kreatif.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pariwisata Berbasis Ruang Terbuka Hijau

"Kita sudah membahas ini dengan para pengusaha hotel dan UMKM beberapa minggu lalu untuk menegaskan kalau tahun ini tema pariwisata kita adalah pariwisata hijau. Kita harus pegang dan melaksanakan komitmen itu, jangan sampai greenflation ini justru meningkatkan harga untuk healing yang tentunya bisa menyulitkan bidang wisata,” tutur Sandi.

"Kita tidak mau karena sebuah hotel misalnya menaikkan harga tarif karena dampak pengeluaran yang cukup besar untuk bisa menyediakan fasilitas ramah lingkungan," sambungnya.

Di tahun lalu, Sandi mengungkapkan upayanya dalam mengembangkan ecotourism atau ekowisata, yaitu sebuah program pariwisata berbasis alam yang ramah lingkungan untuk mewujudkan green economy. Ia berharap ekowisata tidak hanya diterapkan pada desa wisata, namun juga taman rekreasi.

"Hari ini, saya melihat selain desa wisata, yang sedang kami kembangkan karena ini adalah pandemic winners, juga adalah taman-taman rekreasi yang mengedepankan ecotourism," ungkapnya dalam sebuah acara di Tangeran, Banten, Minggu, 3 September 2023.

Ia mendorong perkembangan pariwisata berbasis ruang terbuka hijau, yang menurutnya akan menjadi salah satu solusi utama dalam menangani masalah polusi yang akhir-akhir ini terjadi di Jakarta. "Kita sekarang sedang menangani secara luar biasa, karena ASEAN ini tinggal hitungan jam, kita lihat bahwa green tourism ini adalah satu solusi utama," jelasnya.

Sandi mengharapkan keseriusan dalam dijalankannya program ekowisata tersebut demi mewujudkan pariwisata yang sehat bagi pernapasan baik itu di perkotaan, maupun di daerah kabupaten. "Saya berharap kita betul-betul sangat serius, sangat strategis dalam mengembangkan ini," terangnya.

 

3 dari 4 halaman

Paket Wisata Ramah Lingkungan

Menparekraf melanjutkan, "Karena ini bukan hanya untuk healing mental health, tapi juga untuk kesehatan paru-paru kita, kesehatan saluran pernapasan kita, jadi kawasan-kawasan hijau ini, saya ingin mendorong daerah perkotaan, maupun juga di kabupaten-kabupaten khususnya."

Ia juga menyebutkan bahwa ekowisata dapat menjadi nilai jual tersendiri di tengah maraknya isu tentang perubahan iklim dan kondisi udara yang kurang baik seperti masa sekarang. "Kita memiliki track record yang cukup panjang, kita harus lebih meningkatkan terutama dengan isu-isu perubahan iklim atau climate change," ungkapnya.

"Ini yang bisa kita jual apalagi dalam situasi kualitas udara yang seperti ini," tambahnya. Sandiaga mengungkapkan bahwa ke depannya, pariwisata di Indonesia akan menawarkan paket-paket wisata yang ramah lingkungan dan memperbaiki kondisi lingkungan.

"Yang kita jual di Wonderful Indonesia booth, saya ingin menjual paket-paket wisata seperti menanam mangrove, paket wisata offsetting carbon footprints seperti merestorasi terumbu karang," ujarnya. Selain itu, ia mengharapkan program tersebut dapat berdampak bagi kemajuan pariwisata di desa yang akan mendorong ekonomi di pedesaan.

Ia mengatakan, sektor pariwisata menciptakan enam kali lipat lapangan kerja dibandingkan sektor lainnya. "Ada 75 desa wisata, semoga semua bisa dapat kesempatan tampil ke depannya," ungkapnya. "Setiap 1 dolar (AS) yang di invest, hasilnya enam kali lipat dari segi lapangan kerja."

 

4 dari 4 halaman

Dampak Greenflation di Indonesia

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sejauh ini belum ada dampak serius yang ditimbulkan dari inflasi hijau atau green inflation di Indonesia.

"Dampaknya belum ada di Indonesia. Sejauh ini bauran energi terbarukan masih sangat kecil,” ungkap Bhima kepada tim Bisnis Liputan6.com, dikutip Senin, 22 Januari 2024. Bhima melihat, yang menyebabkan inflasi sejauh ini sebagian besar masih pada energi fosil. "Sementara yang justru sebabkan kenaikan inflasi adalah energi fossil yang harga nya fluktuatif," jelasnya.

Hal itu ditambah dengan impor minyak dan gas (migas) di Indonesia yang sangat besar. Meskipun demikian, Bhima mengungkap, ada solusi jika inflasi hijau terjadi di tengah upaya Indonesia melakukan transisi energi.

"Andai terjadi tekanan pada biaya transisi energi maka solusinya adalah mencabut subsidi dan insentif energi fosil kemudian digeser ke energi terbarukan. Cara itu akan efektif mitigasi green inflation," pungkas Bhima.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.