Sukses

Sudamala: Dari Epilog Calonarang, Proyek Pertunjukan Kolaborasi Pertama Happy Salma dan Nicholas Saputra

Sudamala: Dari Epilog Calonarang juga menjadi pertunjukan tradisi pertama yang akan ditampilkan Titi Mangsa yang diproduseri Happy Salma dan Nicholas Saputra.

Liputan6.com, Jakarta - Happy Salma dan Nicholas Saputra membuat gebrakan bersama. Mereka bersiap mementaskan pertunjukan tradisi Sudamala: Dari Epilog Calonarang sebagai proyek kolaborasi bersama pertama bagi keduanya.

Pertunjukan yang disebut melibatkan hampir 90 seniman Bali itu akan digelar di Gedung Arsip Nasional di Jakarta pada 10--11 September 2022. Itu menjadi pertunjukan berskala terbesar yang digarap Titimangsa sejak berdiri pada 2007. Baik Happy dan Nicho bertindak sebagai produser, sedangkan para penampil sepenuhnya adalah para seniman Bali.

"Saya tinggal cukup lama di Bali selama pandemi. Di sana, saya berkesempatan untuk datang dan hadir langsung dalam beragam pesta kebudayaan...Saya lihat berbagai hal yang tidak saya lihat sebelumnya. Nah, saya ingin sharing pengalaman tersebut dengan teman-teman di Jakarta," tutur Nicholas dalam jumpa pers Sudamala: Dari Epilog Calonarang di Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2022.

Ia pun mengutarakan ide tersebut kepada Happy, namun sempat ditepis dengan berbagai kekhawatiran. Tapi setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, keduanya akhirnya memberanikan diri membawa pentas itu ke Ibu Kota.

Salah satu yang menguatkan mereka adalah fakta bahwa Calonarang pernah ditampilkan di Paris selama enam bulan, bersama Legong dan Janger di Exposition Coloniale Internationale Paris 1931. Dibimbing Tjokorda Raka Kerthyasa yang merupakan ayah mertua Happy, keduanya lalu diarahkan bertemu dengan beberapa maestro seni tradisi dan pertunjukan di Bali.

"Itu menjadi pemantik utama bagaimana dunia mengenal Bali. Calonarang itu ternyata sangat lentur, bisa berubah-ubah, dan sangat progresif. Setiap masa dia berubah mengikuti zaman sehingga bisa diterima masyarakat Bali hingga sekarang," jelas Happy.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bulan Purnama

Calonarang diambil dari karya sastra berusia ratusan tahun yang ditulis dalam bahasa Kawi di daun lontar. Epilog Calonarang bertajuk Sudamala dipilih karena dirasa relevan dengan konteks masa sekarang.

Sudamala berasal dari kata śuddha yang berarti bersih, suci, atau bebas dari sesuatu; dan mala yang bersinonim dengan cemar, kotor, atau tak-murni. Maka, Sudamala merupakan upaya untuk menghilangkan yang cemar dari subyek. 

"Ini sebenarnya masih ada kaitan dengan pandemi. Calonarang itu sering dihadirkan di Bali, salah satunya dalam hajatan atau pembersihan rutin daerah, wilayah, atau pembersihan diri. Mudah-mudahan di ujung-ujung bisa sekalian bersihkan hati dari hal-hal kurang baik yang selama ini kita alami," tutur Nicho.

Ia dan Happy menjanjikan pertunjukan yang berbeda dari produksi sebelum-sebelumnya. Karena ini seni tradisi, ada aturan adat yang perlu diperhatikan dalam pertunjukan tersebut. Salah satunya dengan menggelar tepat di bulan purnama.

"Itu untuk membawa spirit atau vibrasi di pertunjukan. Kita tidak bicara agama atau apapun, tapi ini soal kebangsaan," terang Happy.

Selain itu, tamu pun diminta mengenakan busana sesuai dress code, yakni mengenakan pakaian putih. Itu untuk melibatkan orang luar dengan kehidupan sehari-hari, tanpa menghilangkan kesakralannya.

 

 

3 dari 4 halaman

80 Persen Terjual

Atas pertimbangan serupa, Gedung Arsip Nasional dipilih sebagai lokasi pertunjukan. Mereka akan menyulap tempat itu menjadi panggung terbuka dihiasi ornamen yang dibawa langsung dari Bali. Nicho bahkan mengungkapkan topeng yang dipakai para pemain nanti dibuat secara khusus dari pohon yang baru ditebang.

Di sisi lain, Gedung Arsip Nasional memiliki kapasitas hingga 500 penonton. Areanya juga leluasa untuk mendirikan panggung berbentuk huruf U atau yang di Bali disebut Kalangan. Tersedia pula ruang cukup besar untuk menampung banyak penampil di backstage.

"Alasan filosofisnya untuk membawanya di tengah-tengah Jakarta, dan alasan teknis berkaitan dengan hal-hal teknis tersebut," sambung Nicho.

Persiapan yang dilakukan sejak Agustus-September tahun lalu sampai saat ini sudah memasuki babak akhir. Para penampil sebelumnya yang telah berlatih secara parsial, akan segera melakukan latihan gabungan. 

Pihaknya optimistis bisa menarik perhatian masyarakat, terutama generasi muda. Indikasinya kuat lewat tiket yang disebut sudah terjual 80 persen. Sebanyak 20 persen tiket yang masih tersedia didominasi kelas VVIP seharga Rp1,250 ribu.

"Antusiasme penonton mengejutkan luar biasa karena di pertunjukan tradisi ini tidak ada satu pun aktor dikenal populer di kancah nasional yang tampil," ucap Happy.

 

4 dari 4 halaman

Sinopsis Sudamala

Sudamala menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar serta ditakuti banyak orang, termasuk membuat resah Raja Airlangga yang berkuasa saat itu. Hal ini pula yang menyebabkan tak banyak pemuda yang berani mendekati putri semata wayangnya, yang bernama Ratna Manggali.

Walu Nateng Dirah sangat kecewa dan mengekspresikan kepedihannya dengan menebar berbagai wabah. Luka hatinya itu akhirnya sementara terobati, setelah Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bahula. Kehidupan pernikahan ini ternyata dicederai Mpu Bahula. Ia yang ternyata adalah utusan pendeta kepercayaan Raja Airlangga, mengambil pustaka sakti milik Walu Nateng Dirah yang akhirnya jatuh ke tangan Mpu Bharada.

Walu Nateng Dirah kecewa dan murka. Kemurkaannya menyebabkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda. Jro Mangku Serongga (I Made Mertanadi) memerankan sosok Walu Nateng Dirah sekaligus menyutradarai pementasan itu.

Billy Gamaliel, Program Manager Bakti Budaya Djarum, sebagai salah satu sponsor, berharap pertunjukan tersebut bisa meleburkan batasan antara seni tradisi dengan kehidupan modern yang ada saat ini. "Ini seperti barometer dan sebagai pembuka panggung yang benar-benar kita buka di masa pandemi menuju ke endemi ini," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.