Sukses

Hukum Mimpi Basah Saat Puasa yang Wajib Disimak, Segera Mandi Junub

Hukum mimpi basah saat puasa adalah segera mandi Junub untuk mensucikan diri.

Liputan6.com, Jakarta Mimpi basah saat puasa seringkali menjadi hal yang membuat sebagian orang kebingungan. Bagaimana sebenarnya hukum mimpi basah saat puasa? Mimpi basah atau yang dikenal dengan istilah 'ihtilam' merupakan suatu kondisi, saat seseorang mengalami ejakulasi atau orgasme dalam tidurnya.

Dalam konteks puasa, mimpi basah tidak membatalkan puasa seseorang. Puasa tetap sah dan seseorang tetap harus melakukan semua aturan puasa yang telah ditetapkan. Namun, hukum mengenai mandi wajib tetap berlaku, saat seseorang mengalami mimpi basah.

Apa saja hukum mimpi basah saat puasa? Setelah mengalami mimpi basah, seseorang harus segera mandi sebelum melaksanakan salat. Mandi dalam hal ini adalah mandi wajib yang sering disebut juga dengan mandi junub. Tujuannya adalah untuk membersihkan tubuh dari hukum hadas besar, setelah terjadinya ihtilam.

Meskipun mandi wajib setelah mimpi basah adalah wajib, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengganti puasanya, jika sudah terlanjur terjadinya mimpi basah. Puasa tetap di lanjutkan seadanya dan tidak ada pengurangan, atau keterlambatan dalam melaksanakan ibadah puasa.

Menurut para ulama, mimpi basah saat berpuasa tidak membatalkan puasa seseorang. Puasa tetap sah selama tidak ada niat atau tindakan sengaja untuk mengeluarkan air mani. Berikut ini penjelasan mengenai hukum mimpi basah saat puasa yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (14/3/2024). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mimpi Basah Saat Puasa

Mimpi basah adalah kondisi di mana seseorang mengalami orgasme tanpa disengaja saat sedang tidur dan bermimpi. Namun, pertanyaan muncul ketika mimpi basah terjadi saat seseorang sedang menjalani ibadah puasa. Sebagai informasi, mimpi basah dapat menyebabkan keluarnya air mani atau sperma pada pria dan cairan vagina pada wanita. Dalam konteks ibadah puasa, keluarnya air mani dapat membatalkan puasa seseorang.

Dalam hal ini, Syekh Nawawi dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan tentang mimpi basah yang terjadi di siang hari selama bulan Ramadan. Menurutnya, mimpi basah yang terjadi di siang hari tidak membatalkan puasa seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang mengalami mimpi basah dan mengeluarkan air mani harus segera mandi junub ketika bangun dari tidur, namun tetap melanjutkan puasanya hingga waktu magrib tanpa diwajibkan untuk mengganti puasa yang terlewat.

Syekh Ali Jum’ah juga memberikan penjelasan yang serupa, dengan menyamakan kondisi orang yang sedang tidur dengan anak kecil atau orang gila. Mereka sama-sama tidak terikat pada aturan Allah saat dalam kondisi tersebut, sehingga mereka tidak dianggap berdosa sampai mereka terbangun dari tidur.

Ini juga berlaku untuk situasi di mana seseorang yang mengalami mimpi basah selama bulan puasa. Dalam konteks ini, perbuatan tersebut tidak dihitung sebagai dosa dan tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam ajaran agama. Oleh karena itu, seseorang tidak diwajibkan untuk mengganti puasa yang terlewat karena mimpi basah yang terjadi selama bulan puasa.

"Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bangun pagi dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka puasa, (membatalkan puasanya) dan tidak pula nengqadhanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah). 

Hadits lain yang diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyah: “Waktu fajar di bulan Ramadan sedang beliau dalam keadaan junub bukan karena mimpi, maka mandilah (mandi janabat) beliau dan kemudian berpuasa.” (HR. Muslim dari ’Aisyah).

3 dari 4 halaman

Cara Mandi Junub

Berdasarkan informasi dari situs resmi Kementerian Agama ada dua rukun yang harus dilakukan ketika melaksanakan mandi junub. Di antaranya membacakan niat dan melaksanakan mandi dengan mengguyur seluruh badan.

Membacakan Niat

Menurut Mazhab Syafi’i pembacaan niat dilakukan ketika air pertama kali disiramkan ke tubuh. Berikut ini adalah bacaan niat yang bisa dilafalkan ketika melaksanakan mandi wajib atau mandi junub:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ اْلحَدَثِ اْلأَكْبَرِ مِنَ اْلِجنَابَةِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

(Nawaitul-ghusla lirafil hadatsil-akbari minal-jinabati fardlan lillahi ta’ala).

Artinya: “Saya niat mandi untuk menghilangkan hadas besar dari janabah, fardhu karena Allah ta’ala”.

Mengguyur Seluruh Tubuh

Ketika melaksanakan mandi wajib bagian tubuh yang harus terguyur air adalah seluruh badan bagian luar termasuk rambut dan bulu-bulunya. Pada bagian tubuh yang berambut air harus bisa mengalir hingga ke bagian kulit dan pangkal rambut agar tubuh tidak tertempel najis.

Kemudian terdapat sunah yang dapat dilakukan ketika melaksanakan mandi junub sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah. Berikut ini adalah sunah yang bisa dilakukan:

1. Membasuh tangan tiga kali.

2. Membersihkan seluruh kotoran atau najis yang masih menempel pada tubuh.

3. Melaksanakan wudhu dengan sempurna.

4. Mengguyurkan air pada kepala sampai tiga kali bersamaan dengan melakukan niat menghilangkan hadas besar.

5. Mengguyurkan bagian badan sebelah kanan sebanyak tiga kali dan dilanjutkan dengan bagian kiri sebanyak tiga kali.

6. Menggosok-gosok tubuh bagian depan dan belakang sebanyak tiga kali.

7. Menyela-nyela rambut dan jenggot jika memilikinya.

8. Mengalirkan air pada area lipatan-lipatan kulit dan pangkal rambut.

9. Hindari tangan menyentuh kemaluan, namun jika tersentuh maka bisa kembali berwudhu kembali.

 

4 dari 4 halaman

Syarat Sah Puasa

Puasa merupakan salah satu ibadah yang memiliki syarat sah yang harus dipenuhi, seperti beragama Islam dan disertai dengan niat. Bagi mereka yang bukan beragama Islam, puasanya tidak akan diterima, juga jika seseorang menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasanya tanpa niat. Ini merupakan kesepakatan dari kelima mazhab dalam Islam. Selain syarat-syarat tersebut, ada juga persyaratan lain seperti suci dari haid, nifas, tidak sedang sakit, dan tidak sedang dalam perjalanan. Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab mengenai kondisi tertentu, seperti orang yang mabuk atau pingsan.

Menurut mazhab Syafi'i, jika seseorang mabuk atau pingsan sehingga tidak merasakan apa-apa sepanjang waktu berpuasa, maka puasanya dianggap tidak sah. Namun, jika hanya sebagian waktu puasa saja yang mereka sadari, maka puasanya tetap sah. Orang yang pingsan diwajibkan untuk mengganti puasanya, tetapi bagi orang yang mabuk, tidak diwajibkan jika mabuk tersebut bukan disebabkan oleh dirinya sendiri. Mazhab Maliki menyatakan bahwa jika seseorang pingsan atau mabuk sebagian besar waktu puasa, maka puasanya tidak sah. Namun, jika hanya sebagian kecil waktu puasa yang tidak sadar dan mereka sadar pada saat niat puasa, maka mereka tidak diwajibkan mengganti puasanya. Waktu niat puasa menurut mazhab Maliki adalah dari Maghrib sampai fajar.

Menurut mazhab Hanafi, orang yang pingsan dianggap seperti orang gila. Jika seseorang pingsan selama satu bulan penuh Ramadan, maka dia tidak diwajibkan mengganti puasanya setelah sadar. Tetapi jika hanya setengah bulan dan hari sisanya ia sadar, maka dia tetap harus berpuasa dan mengganti puasa yang dia tinggalkan. Mazhab Hambali menyatakan bahwa bagi orang yang mabuk atau pingsan, mereka wajib menggantinya, terlepas dari penyebabnya, baik dari dirinya sendiri, dipaksa, atau tidak sengaja. Sementara menurut mazhab Imamiyah, hanya orang yang mabuk yang wajib mengganti puasanya, baik disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau tidak. Namun, bagi orang yang pingsan, mereka tidak diwajibkan menggantinya, bahkan jika pingsannya hanya sebentar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.