Sukses

Berinvestasi dalam Pandangan Ekonomi Islam, Tetap Jauhi Riba dan Gharar

Islam membolehkan investasi namun harus sesuai prinsip keuangan syariah.

Liputan6.com, Jakarta - Tonggak keuangan syariah di Indonesia sudah mulai berdiri di era 1990-an. Kala itu ditandai dengan lahirnya PT Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991 oleh tim perbankan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia.

Kini, keuangan syariah di tanah air terus berkembang pesat. Nah, salah satu prinsip keuangan syariah juga mengatur bagaimana investasi dalam Islam.

Dalam KBBI, investasi diartikan sebagai kegiatan penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Namun perlu diingat investasi juga merupakan kegiatan usaha yang mengandung risiko, karena memiliki unsur ketidakpastian.

Di mana perolehan kembali modal atau return dalam investasi merupakan sesuatu yang tidak pasti. Investasi dalam perspektif ajaran Islam sendiri tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, baik objeknya maupun prosesnya. Misalnya, tidak mengandung riba dan gharar.

Mengutip blog Masyarakat Ekonomi Syariah, ada beberapa ayat Al Quran yang bisa dijadikan rujukan yang terkait dengan investasi.

Pertama, Surat Al Baqarah ayat 282:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْاۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۝٢٨٢

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat yang terpanjang dalam Al Quran ini sejatinya membahas soal utang piutang. Namun, ayat ini membuktikan bahwa harta pada dasarnya tidak dibenci Allah. Bahkan ayat ini juga menyiratkan bahwa Islam melindungi perekonomian umat dengan mekanisme akad transaksi yang dilakukan secara jujur dan amanah.

 

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kedua, Surat An-Nisaa ayat 9

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

"Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).

Surat An Nisa ayat 9 ini mengisyaratkan manusia perlu khawatir meninggalkan generasi yang lemah, termasuk dalam hal finansial. Karena itu, siapa pun harus berikhtiar untuk menyiapkan generasi yang melek dan kuat secara finansial, salah satunya dengan jalan investasi.

Ketiga, Surat Yusuf ayat 46-49.

قَالَ تَزۡرَعُوۡنَ سَبۡعَ سِنِيۡنَ دَاَبًا​ۚ فَمَا حَصَدْتُّمۡ فَذَرُوۡهُ فِىۡ سُنۡۢبُلِهٖۤ اِلَّا قَلِيۡلًا مِّمَّا تَاۡكُلُوۡنَ‏ ٤٧

"Dia (Yusuf) berkata, "Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan."

ثُمَّ يَاۡتِىۡ مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِكَ سَبۡعٌ شِدَادٌ يَّاۡكُلۡنَ مَا قَدَّمۡتُمۡ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيۡلًا مِّمَّا تُحۡصِنُوۡنَ‏ ٤٨

"Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan."

يَاۡتِىۡ مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيۡهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيۡهِ يَعۡصِرُوۡنَ‏

"Setelah itu akan datang tahun, dimana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur)."

Ketiga ayat ini bisa menjadi hikmah atas pentingnya mengantisipasi masa krisis yang tersirat dari takwil Nabi Yusuf a.s. atas mimpi raja perihal tujuh sapi gemuk dimakan tujuh sapi kurus dan tujuh tangkai hijau disertai tujuh tangkai kering. Nabi Yusuf a.s. pun memberikan solusi yakni dengan menampung hasil panen sebagai persiapan masa paceklik. Kisah ini mengisyaratkan pentingnya berinvestasi untuk menjadi bekal di masa depan.

3 dari 3 halaman

Investasi dengan Prinsip Syariah

Lebih lanjut, Islam memberikan rambu-rambu bagi umatnya yang ingin berinvestasi. Ada beberapa larangan dalam investasi sesuai keuangan syariah, yaitu:

1. Investasi yang Mengandung Riba

Riba secara teknis diartikan sebagai pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal dalam transaksi jual-beli atau pinjam-meminjam yang bertentangan dengan hukum Islam. Nah, investasi dapat tergolong riba jika memiliki tambahan atau bunga atas pokok utang. Salah satu ciri investasi yang mengandung riba adalah sejak awal sudah dibuat perjanjian imbalan bunga yang biasanya diungkapkan dalam bentuk persentase. Hal ini dipastikan terlarang karena tidak sesuai prinsip Islam.

2. Investasi Gharar

Gharar berarti tidak jelas. Di mana Islam sangat menentang aktivitas jual-beli yang tidak memiliki kepastian dalam akad yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas objek atau cara penyerahannya. Larangan investasi gharar tidak lepas dari tujuan untuk menghindari umat Islam dari penipuan.

3. Investasi Berkaitan dengan Zat Haram

Halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan jelas. Begitu pun dalam hal investasi sangat dilarang jika berkaitan dengan zat haram. Misalnya, investasi yang berkaitan dengan bisnis barang atau jasa seperti minuman keras, jual-beli daging babi, transaksi narkoba, dan sebagainya yang dilarang oleh Islam. Untuk umat Islam, perlu mengetahui dengan jelas seluk beluk instrumen investasi agar jangan sampai berhubungan dengan zat haram.

4. Investasi dengan Unsur Kecurangan

Hal lainnya yang juga penting untuk dihindari adalah investasi yang mengandung unsur kecurangan. Apalagi investasi yang memiliki unsur kecurangan juga akan dilakukan dengan cara zalim. Misalnya dengan pemaksaan dalam suatu akad atau transaksi, adanya penipuan (tadlis), merekayasa permintaan (tanajusy), bersifat menimbun (ihtikar), merugikan (ghabn), membahayakan (dharar), dan memiliki aktivitas suap-menyuap (risywah).

5. Investasi Penuh Spekulasi Seperti Judi

Investasi yang penuh spekulasi identik dengan praktik perjudian yang tentu saja bertentangan dengan syariah Islam. Investasi yang penuh spekulasi juga biasanya memberikan iming-iming imbal hasil yang banyak dan bahkan cenderung tidak masuk akal. Karena itu, umat Islam dianjurkan menghindari investasi jenis ini agar tetap dalam koridor hukum Islam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.