Sukses

Putusan Sidang DKPP Akan Berbarengan dengan MK

Hal itu dilakukan agar putusan masing-masing institusi tidak saling mempengaruhi.

Liputan6.com, Jakarta Putusan sidang dugaan pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu akan dibacakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berbarengan dengan putusan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dilakukan agar putusan masing-masing tidak saling mempengaruhi.

"Jadwal putusan akan bareng dengan di MK, supaya tidak saling pengaruh-mempengaruhi. Bisa beda jam. Bisa duluan jamnya bisa juga belakangan, tapi harinya sama," kata Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie di Kantor DKPP, Jakarta, Rabu (13/8/2014).

Dia menerangkan, sebenarnya prosedur beracara di DKPP dengan prosedur beracara di MK itu berbeda. Di MK menurut UU, perkara diajukan dalam waktu 3x24 jam sesudah keputusan KPU. Sedangkan di DKPP tidak ada masa kedaluarsa.

Jumlah kasus yang masuk terkait Pilpres 2014 ke DKPP sebanyak 15 perkara. Sedangkan yang memenuhi syarat sidang 14 perkara. Dari jumlah tersebut timbul pertanyaan, kapan perkara tersebut mulai disidangkan.

Sebab menurut Jimly, masih ada sejumlah perkara terkait Pemilu Legislatif yang belum selesai. Sehingga pihaknya berpendapat bahwa kasus Pilpres harus dianggap prioritas karena Pilpres ini adalah ujung dari Pemilu dan Pilpres itu akan segera menghasilkan pemerintahan baru.

"Jadi kalau bisa, sesudah putusan MK, urusan Pilpes ini selesai. Semua ketegangan, semua kekecewaan berakhir. Jadi kami mengambil momentum itu untuk menyelesaikan juga semua kasus-kasus kode etik penyelenggara Pemilu yang terkait dengan Pilpres (berbarangan dengan di MK)," paparnya.

Jimly mengaku, bahwa ada pihak-pihak dari luar yang meminta agar pembacaan putusan terkait Pilpres di DKPP didahulukan sebelum pembacaan Putusan di MK. Namun DKPP tidak memenuhi permintaan pihak-pihak tersebut.

"Nanti yang paling aman adalah Putusannya bareng dengan di MK," jelas mantan Ketua MK itu.

Apa pun hasil putusan DKPP, tegas dia, tidak akan mempengaruhi hasil Pemilu. Sebab, di DKPP yang dinilai adalah perilaku para penyelenggara Pemilunya.

"Contohnya waktu memberhentikan Ketua KPU Depok. Pemilukada sudah terjadi 2 tahun sebelumnya. Baru ditemukan pelanggaran berat di kemudian hari, sehingga dipecat. Tapi hasil Pemilukadanya tidak bisa diganggu gugat karena sudah berakhir dengan putusan MK yang memenangkan si walikota sekarang. Tidak bisa gara-gara Ketua KPU diberhentikan, maka walikotanya juga harus diberhentikan. Ini tidak bisa begitu. Ini dua hal yang berbeda. Proses dan hasil Pemilukada sudah selesai di MK," tandas Jimly.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.