Sukses

Jokowi, Prabowo dan Ical Dinilai Belum Bisa Bawa Perubahan

Menurut pengamat Robertus Robert di era reformasi saat ini masyarakat dibentuk secara dangkal dalam memilih calon presidennya.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia akan memilih pemimpin baru pada 9 Juli 2014. Hingga saat ini sudah ada 3 kandidat calon presiden yang diharapkan bisa mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Mereka adalah Aburizal Bakrie (Ical) kandidat presiden dari Partai Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra dan Joko Widodo (Jokowi) dari PDI Perjuangan.

Tapi, 3 kandidat capres ini rupanya dinilai belum tentu bisa mengubah bangsa ini. Sebab, menurut pemerhati politik Robertus Robert di era reformasi saat ini masyarakat dibentuk secara dangkal dalam memilih calon presidennya.

"Kita biasa melihat pemimpin semata-mata didasari oleh apolitis, misalnya survei dan penilaian secara personal," kata staf pengajar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut dalam diskusi bertema `Apa Syarat Menjadi Presiden Indonesia Hari Ini?` di Kantor Kontras, Jakarta, Sabtu (3/5/2014).

Dia berujar, seharusnya presiden di Indonesia ini bukan dilihat sebagai seseorang, tetapi secara lembaga. Sebab, dia menambahkan, sistem presidensial ini di dalam desain konstitusional.

Masih menurut Robert, Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang anomali. Sebab, mengadopsi sistem yang sebenarnya tidak bisa dikombinasikan, seperti presidensial dan multipartai.

Sistem inilah yang menghasilkan deadlock, konflik antara parlemen dan pemerintah terus terjadi. Inilah yang membuat pembangunan lambat serta banyaknya korupsi. "Korupsi politik muncul karena eksekutif selalu negosiasi dengan legislatif, bahkan sebelum angkanya muncul," ucap Robert.

Robert menyebutkan, dalam sistem yang anomali ini, seorang presiden yang tulus pun dan hidup di Indonesia pasti akan mengalami kesulitan.

Di tempat yang sama, Koordinator Kontras Haris Azhar menilai masyarakat harus menyoroti latar belakang dari ketiga kandidat presikden yang muncul saat ini. Bukan hanya track record atau rekam jejak ketiga tokoh itu, tetapi juga tim yang ada di belakangnya.

"Prabowo masih ada yang menggantung pertanggungjawaban tentang mereka (aktivis) yang masih hilang belum ada. Jokowi juga, jangan-jangan kita terpelihara oleh orang-orang lama," kata Haris.

Haris melihat, ada kelompok militer yang masih dominan mengelilingi nama-nama unggulan itu.

"Aktivitas tambang mempersoalkan 56 tanah persen dikuasai oleh 0,2 orang, capres mana yang akan menjelaskan tanah itu normalisasi. Capres-capres unggulan ini tidak memberkan jawaban konkret termasuk Jokowi," paparnya.

Selain itu, menurutnya sampai saat ini belum ada calon presiden yang bisa menjawab terkait banyaknya berkas-berkas kasus orang hilang yang sampai saat ini masih menggantung di kejaksaan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.

Lebih jauh Haris juga menyoroti cara para capres ini mencari pasangannya. Di mana publik hanya diperlihatkan mereka melakukan kunjungan dari rumah ke rumah capres lain untuk mencari kecocokan.

"Mereka nggak tahu malu ketemu pimpinan partai lain hanya untuk mencari kemungkinan. Kita patut curiga, semua pencocokan yang dicari hanya untuk membagi siapa yang menguasai kursi dan jabatan tertentu. Ini berbahaya bagi masyarakat. Itu yang menyebabkan akhirnya banyak masyarakat turun ke jalan," tukas Haris.

Untuk itu, Haris mengimbau masyarakat harus berani memunculkan nama di luar kandidat capres yang ada. "Kita belum memiliki siapa capres yang cocok," tandas Haris.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.