Sukses

Santri Anak dalam Tantangan Perubahan Iklim, Ancaman Kesehatan Hingga Pentingnya Kesadaran

Anak-anak di pesantren punya kerentanan khusus terhadap perubahan iklim

Liputan6.com, Jakarta Awal musim kemarau membuat pagi di Yogyakarta terasa terik. Namun, suhu panas tak begitu dirasakan oleh para santri di Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, Sleman, Yogyakarta.

Hanya berjarak 350 meter dari Jalan Ring Road Barat, atmosfer pesantren ini terasa berbeda. Sejuk pepohonan di area pesantren menyamarkan panas dan polusi.

Meski tergolong tempat yang teduh, saat cuaca ekstrem sejumlah santri masih merasakan dampaknya. Pada cuaca panas misalnya, tak sedikit anak yang mengalami kegerahan hingga panas dingin.

"Kalau santri rata-rata mereka kegerahan, merasakan panas, kalau sakit paling panas dingin" kata Ahmad Afif Muzayyin, Pengurus Direktorat Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L) PP Assalafiyyah 2 Mlangi, Sleman Rabu (20/6/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Dampak perubahan iklim pada santri anak

Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap anak. Menurut Indeks Risiko Iklim Anak yang diterbitkan UNICEF pada 2021, anak-anak dan anak muda di Indonesia termasuk dalam salah satu kelompok di dunia yang menghadapi dampak krisis iklim tinggi. Kesehatan, pendidikan, dan perlindungan mereka sedang dalam ancaman. 

Secara langsung, anak bisa terdampak cuaca ekstrem yang berkepanjangan. Suhu panas misalnya. Menurut data UNICEF, lebih dari sepertiga populasi anak di dunia memiliki keterpaparan tinggi terhadap gelombang panas. 

Di Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, cuaca panas yang sempat melanda pada April 2023 lalu membuat sejumlah anak harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Dari sisi kesehatan, perubahan iklim memberi dampak tidak langsung yang cukup kompleks pada anak. Termasuk pula penyebaran penyakit menular.

Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan tim peneliti Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) pada 2022, di Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, 91 persen dari responden anak pernah mengalami penyakit menular. Tiga penyakit yang paling sering dialami adalah flu (batuk/pilek), scabies, dan belekan. 

"Di musim yang tidak menentu ini kadang pagi itu panas banget, nanti sore atau malam hujan. Nah itu kan bisa mempengaruhi kondisi (kesehatan), yang biasanya sering terjadi itu influenza atau batuk pilek, atau common cold," kata Fajrul Falah Farhany, peneliti FK-KMK UGM saat dihubungi pada Senin (3/7/2023).

Kondisi umum lain yang kerap dialami santri adalah scabies atau yang sering dikenal sebagai gudik. Mitos fenomenal menyebutkan bahwa belum jadi santri jika belum merasakan scabies

Fajrul mengungkapkan, perubahan iklim bisa menjadi salah satu faktor penyebab penyakit menular seperti scabies. Perubahan iklim memperburuk kondisi ini melalui meningkatnya kelembapan udara, terutama ketika musim hujan tiba. Fajrul mencontohkan ketika anak menjemur pakaian di musim hujan dengan udara lembap. 

Butuh waktu lama agar pakaian benar-benar kering. Sedangkan tempat jemuran terbatas atau pakaian yang dimiliki tak banyak. Akhirnya, anak terpaksa mengenakan pakaian yang masih basah dan lembap.

"Pakaian-pakaian yang belum kering sepenuhnya, ketika itu dipakai, itu kan bisa jadi masih ada kuman-kuman atau bakteri-bakteri yang masih ada menempel di situ" ujar Fajrul.

Santri yang hidup dan beraktivitas secara komunal juga membuat scabies mudah menular. Misalnya, kebiasaan menggunakan handuk atau alat-alat pribadi bersama.

"Jadi ketika ada satu yang terkena penyakit, terutama yang menular, seperti batuk pilek, atau penyakit kulit semisal scabies atau gudiken, nah itu gampang banget menularnya" kata Fajrul. 

Selain penyakit menular, penelitian juga menemukan, hawa dingin dan debu menjadi penyebab terbanyak alergi pada anak di pesantren. Tak hanya itu, penelitian yang melibatkan 848 santri ini juga mengungkapkan bahwa 291 santri pernah mengalami rawat inap di rumah sakit RS dalam enam bulan terakhir. Tipes dan demam berdarah menjadi alasan terbanyak mengapa menjalani rawat inap.

Menurut laporan UNICEF, hampir 1 dari 4 anak di dunia kini punya keterpaparan tinggi terhadap penyakit yang ditularkan lewat vektor seperti demam berdarah. Kondisi ini bisa memburuk seiring naiknya suhu dan kondisi iklim untuk nyamuk dan patogen penular penyakit.

Dampak kesehatan ini tentunya berpengaruh pada kondusifitas santri ketika belajar. Santri yang sakit atau merasakan suhu panas menjadi kesulitan untuk berkonsentrasi. 

Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, mulai berupaya mengatasi penyebaran penyakit melalui pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Menurut Fajrul, penyebaran penyakit menular salah satunya bisa dilakukan dengan menerapkan PHBS. 

Upaya yang kini dilakukan adalah membentuk Kader Santri Sehat. Kader yang diinisiasi oleh tim FK-KMK UGM ini bertugas memberi edukasi dan penyuluhan kesehatan. 

"Kami mencoba mengubah stigma bahwa pesantren yang sebelumnya sarangnya penyakit seperti itu (scabies)" ujar Afif selaku pengurus pesantren.

Afif menjelaskan, santri kini mulai dibiasakan untuk hidup sehat dan menjaga lingkungan. Butuh waktu lama untuk membiasakan hal ini. Namun berbagai upaya terus dilakukan termasuk memasukkan perspektif iklim di antara para santri.

3 dari 6 halaman

Suhu panas dan curah hujan di Yogyakarta

Yogyakarta termasuk daerah yang terimbas perubahan iklim. Menurut olah data dan observasi Stasiun Klimatologi Yogyakarta, suhu udara di DIY mengalami peningkatan dalam kurun 30 tahun terakhir.

"20 tahun terakhir memang suhunya lebih panas dibandingkan 20 tahun sebelumnya dan trennya juga mengalami peningkatan" kata Andreas Aryo, prakirawan iklim BMKG Staklim Yogyakarta Kamis (22/6/2023).

Dalam kurun 1951 sampai 2022, tren suhu udara berdasarkan perbedaan ketinggian menunjukkan terjadi peningkatan suhu 0,0008 derajat Celcius tiap bulannya. Wilayah yang tercatat mengalami kenaikan suhu tinggi adalah perkotaan dan wilayah utara. 

"Peningkatannya lebih jauh, lebih cepat naik di wilayah utara di Kaliurang sana dibandingkan wilayah kota maupun pesisir" tambah Aryo.

Selain suhu udara, curah hujan di DIY juga tercatat mengalami peningkatan. Misalnya, curah hujan di daerah utara Yogyakarta tepatnya di Pakem dalam kurun 1996 hingga 2020 mengalami kenaikan 24,14 mm per tahunnya. Hal serupa juga terjadi di persebaran wilayah Yogyakarta. 

Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 2019, sejak 1980-an, setiap dekade menjadi lebih panas dari dekade sebelumnya. Seiring dengan meningkatnya suhu, semakin banyak air yang menguap. Hal ini memperburuk curah hujan ekstrem.

Udara makin panas dan lebatnya curah hujan merupakan salah satu dampak nyata dari perubahan iklim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporannya menyebutkan temperatur global serta frekuensi dan intensitas gelombang panas akan meningkat pada abad ke-21 sebagai akibat perubahan iklim. Suhu udara yang meningkat akhirnya mempengaruhi kesehatan manusia, salah satunya anak-anak. 

4 dari 6 halaman

Mitigasi perubahan iklim di pesantren

Pesantren memiliki peran strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY per 5 April 2023, ada 417 pondok pesantren yang berdiri di Yogyakarta. Total jumlah santri di DIY mencapai 50.647 santri. Artinya, akan ada puluhan ribu santri anak yang bisa terdampak perubahan iklim.

Manusia termasuk kontributor pemicu perubahan iklim. Aktivitas manusia, terutama terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan penggunaan industri yang intensif energi, telah menghasilkan peningkatan drastis emisi gas rumah kaca.

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta Habib Abdus Syakur mengungkapkan, manusia berkontribusi besar terhadap krisis iklim. Kyai Habib Syakur, sapaan akrabnya menyebut kerusakan alam rata-rata bukan disebabkan karena alam, melainkan karena manusia. Jenis manusia yang bersifat destruktif ini juga beragam.

“Ini ada yang karena sengaja merusak, sengaja dan tahu, sengaja tidak tahu, ada tidak tahu sama sekali sehingga rumongso (merasa) tidak merusak” kata Habib saat ditemui di Pondok Pesantren Al-Imdad Sabtu (1/7/2023). 

Oleh sebab itu, menurut Habib sudah semestinya manusia juga turut memperbaiki kerusakan tersebut. Salah satu upayanya adalah melalui adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 

Mitigasi perubahan iklim mengacu pada upaya mengurangi atau membatasi penyebab utama perubahan iklim, yaitu emisi gas rumah kaca. Sementara adaptasi melibatkan upaya mengurangi risiko, membangun ketahanan, dan meningkatkan kemampuan manusia dan ekosistem dalam menghadapi dampak perubahan iklim. 

Mengurangi konsumsi energi dan sumber daya, menggunakan energi terbarukan, dan mengelola air dengan efisien adalah contoh mitigasi yang dapat dilakukan di pesantren. Praktik-praktik ini bisa dilakukan santri baik di lingkungan pondok maupun di masyarakat.

Kyai Habib Syakur memiliki cara sendiri melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di pesantren yang ia asuh. Pesantren Al Imdad dikenal dengan pengolahan sampahnya yang berkelanjutan sejak 2007 silam. Para santri diajarkan mulai dari memilah sampah organik dan non-organik. 

Sampah organik dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Sementara sampah non-organik dipilah lagi sesuai jenisnya yang kemudian  dijual dan didaur ulang. Jika masih ada sisa sampah yang sudah tidak punya nilai ekonomis, baru disalurkan ke TPA. 

Selain pengelolaan sampah di lingkungan pesantren, para santri juga digerakkan untuk mengangkut sampah warga sekitar. Tak hanya itu, pesantren ini punya “Pasukan Semut” yang siap ditugaskan membersihkan sampah ketika ada acara-acara besar seperti pengajian di Yogyakarta.

“Harapannya (santri) bisa berguna bagi masyarakat” ujar Habib. 

Sampah menjadi salah satu problem utama di pesantren. Mengelola sampah merupakan bagian penting mengurangi emisi gas rumah kaca. Ketika sampah terurai di tempat pembuangan, terjadi pelepasan gas metana (CH4), yang merupakan salah satu gas rumah kaca kuat dan berkontribusi terhadap pemanasan global. 

Upaya serupa juga dilakukan oleh Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, Sleman. Jika Al Imdad berfokus pada pengolahan sampah, Assalafiyyah justru melakukan mitigasi melalui pengurangan penggunaan sampah plastik. 

Para santri diwajibkan menggunakan alat makan dan minum yang bisa dipakai berulang untuk mengurangi sampah plastik. Kantin pun hanya menjual makanan-makanan yang minim sampah plastik.

Ketika dijenguk, orang tua atau wali juga tidak diperbolehkan membawa makanan yang dibungkus oleh wadah sekali pakai. Hasilnya, produksi sampah saat penjengukan menurun drastis.

Sebelum menerapkan aturan tersebut, sampah-sampah di Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi memang terbilang sangat banyak. Bahkan, di Kabupaten Sleman, pesantren ini termasuk penyumbang sampah terbesar. Hal ini yang berusaha diubah oleh para pengurus.

"Yang tadinya saat penjengukan itu kantong sampah sampai 10 bahkan 15, kemarin ini Alhamdulillah dia ada satu atau dua kantong sampah" ujar Afif. 

Upaya lain di Assalafiyyah adalah menerapkan sistem paperless, di mana santri tidak lagi menggunakan kertas untuk belajar. Saat ini, seluruh santri sudah dibekali dengan tablet maupun laptop. Hal ini dilakukan agar pesantren menjadi lebih ramah lingkungan. 

“Kalau dipersen memang penggunaan kertas itu hanya 20 persen, selebihnya mereka belajar dengan tab” tambah Afif.

Bentuk mitigasi lainnya adalah melakukan penghijauan di sekitar pesantren. Assalafiyyah sendiri memiliki greenhouse yang ditanami sayur dan buah-buahan. Seluruh lingkungan pesantren juga dibuat teduh dengan pepohonan hijau dan dijaga kebersihannya. Sementara di Al Imdad, pengurus pesantren bahkan sempat membagikan bibit-bibit pohon ke warga dan takmir masjid sekitar. 

Menurut Afif, upaya-upaya ramah lingkungan tersebut masih perlu disempurnakan lagi. Salah satu yang terpenting adalah menumbuhkan pengetahuan dasar tentang iklim pada santri. Upaya ini tak hanya dilakukan dari praktik-praktik ramah lingkungan, tapi juga dari sisi teori seperti kurikulum yang berwawasan lingkungan.

"Jadi kita bangun dari kesehariannya dulu, fisik harian kegiatannya. (kalau teori) Mungkin baru di ngaji ya, kan ada kalau di kitab-kitab itu ada Bab Thaharah, Bab Kebersihan mungkin baru lewat situ masuknya. Cuma kalau materi khusus kaitan dengan (perubahan iklim) itu tadi belum" tambah Afif.

5 dari 6 halaman

Perspektif iklim yang masih rendah

Upaya mitigasi perubahan iklim di pesantren tentunya perlu melibatkan para santri. Meski sudah mulai diterapkan, rupanya santri masih belum memiliki perspektif perubahan iklim yang cukup. 

Hal ini terlihat dari asesmen oleh Tim Salawaku Movement tentang Integritas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim pada Pondok Pesantren di Yogyakarta. Asesmen ini dilakukan untuk menilai sejauh mana pesantren memiliki perspektif iklim. Salawaku Movement sendiri merupakan sekumpulan anak muda di Yogyakarta yang peduli pada dampak perubahan iklim di pesantren. 

"Setelah riset ternyata baik pengurus maupun santri, itu mereka belum punya pengetahuan yang mendalam tentang kerusakan lingkungan"  kata Aniati Tokomadoran, Project Manager Salawaku Movement saat dihubungi Jumat(2/6/2023).

Aniati menambahkan, sejumlah pesantren sebenarnya sudah memiliki praktik-praktik yang berkaitan dengan lingkungan. Ini terlihat dari upaya pengurangan sampah, menambah ruang terbuka hijau, hingga melakukan bersih pantai. Namun, praktik ini didasari belum pada tujuan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

"Mereka (santri) memang merasa bahwa bencana alam, kerusakan lingkungan itu bagian dari perubahan iklim. Tapi belum terbiasa berpikir (di situ) ada pertanggungjawaban dari misal pengusaha atau pemangku kebijakan pemerintah, itu mereka nggak mikir sampai sejauh sana" kata perempuan yang juga tergabung dalam Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta itu.

Hal yang sama juga ditemukan langsung oleh Abie Dhimas Al Qoni Fatarrudin yang merupakan bagian dari Tim Salawaku Movement. Abie bertugas melakukan asesmen di salah satu pesantren di Yogyakarta. Hasil yang ia temukan di lapangan, ternyata masih banyak santri yang menganggap praktik terkait lingkungan hanya sebatas menjaga kebersihan. Belum ada tujuan yang lebih mendalam untuk mitigasi krisis iklim. 

"Dalam melakukan pelaksanaan, ternyata mereka itu sudah melakukan beberapa praktik-praktik terkait perubahan iklim. Tapi mereka nggak sadar kalau itu juga praktik-praktik mitigasi perubahan iklim" ujar Abie.

Temuan ini dibenarkan oleh Habib Syakur. Menurutnya, belum semua elemen di pesantren paham akan perubahan iklim.

“Santri sadar perubahan iklim tapi tidak semua” ujar Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. 

Asesmen ini dilakukan di empat pesantren di Yogyakarta. Indikator yang dinilai meliputi infrastruktur, energi dan perubahan iklim, sampah, air, pangan, transportasi, dan edukasi. Hasil asesmen menunjukkan bahwa ada kesenjangan terkait pengetahuan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di pesantren. 

Dalam hal pengolahan sampah misalnya. Belum ada pemilahan yang berkelanjutan. Sampah hanya berakhir di TPA tanpa pengolahan yang lebih ramah lingkungan. Pesantren juga belum memiliki rencana penggunaan energi berkelanjutan. Dari sisi edukasi, belum ada secara khusus kurikulum, ekstrakulikuler, atau kegiatan yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Aniati menjelaskan, biasanya perubahan iklim dijelaskan melalui contoh-contoh yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Jadi anak muda justru tidak merasa bahwa perubahan iklim berdampak langsung bagi mereka. 

"Seperti kutub utara yang mencair itu jauh banget sama Indonesia jadi nggak kebayang dampaknya bisa dirasakan" ujar Aniati.

Ini membuat isu perubahan iklim kurang dekat dengan anak. Perubahan iklim akhirnya belum menjadi isu bersama.

"Perubahan iklim masih menjadi pembahasan sebagian anak, seperti di perkotaan atau di kelas menengah" tambah Abie.

Ini sebabnya penting membangun kesadaran adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sedekat mungkin pada anak-anak. Di lingkungan pesantren, kesadaran akan perubahan iklim bisa dimunculkan dari perspektif agama dan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Salawaku Movement sendiri memiliki program Climate Justice Boarding School. Program ini nantinya berbentuk modul yang akan memberi pengetahuan dasar tentang krisis iklim. Pengetahuan tentang keadilan iklim akan dijelaskan melalui berbagai perspektif mulai dari agama dan keyakinan hingga feminis.

“Untuk modulnya sendiri itu kita bahas mulai dari pengetahuan dasar dan membangun kesadaran tentang kerusakan alam” jelas Aniati.

Modul ini nantinya akan diterapkan pada para santri, salah satunya di Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi dan Al Imdad Yogyakarta.

6 dari 6 halaman

Pentingnya perspektif iklim dan penerapannya

Di Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, pengetahuan dasar terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sedang mulai dibangun. Berdasarkan data asesmen, santri yang duduk di Madrasah Aliyah (MA) sudah mulai memiliki perspektif iklim. Namun, pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), perspektif ini belum terlihat.

"Jadi memang membangun kebiasaan, khususnya di anak-anak itu masih sulit. Tapi bagaimanapun tetap kita coba" ujar Afif.

Afif mengungkapkan, pentingnya menerapkan perspektif iklim pada santri. Dengan begitu, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim jadi mudah tertanam.

Pesantren seringkali menjadi refleksi masyarakat di sekitarnya. Dengan menjadi contoh yang baik dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pesantren dapat mempengaruhi masyarakat sekitar untuk mengambil tindakan serupa. Ini akan menciptakan dampak positif yang lebih besar dalam melindungi lingkungan dan mengurangi dampak negatif perubahan iklim.

"Kita sadar kalau di indonesia itu agama itu jadi patokan di masyarakat kita. Kita melihat bahwa penting untuk menyampaikan informasi tentang krisis iklim itu di pesantren" ujar Aniati.

Dengan memberi pemahaman terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, setidaknya para santri bisa menerapkannya di lingkungan sekitar. Pentingnya perspektif perubahan iklim di pesantren melibatkan pemahaman, kesadaran, dan tindakan terkait dengan dampak perubahan iklim serta tanggung jawab untuk melindungi lingkungan.

Habib Syakur selaku pengasuh Pondok Pesantren Al Imdad menyebutkan, perspektif iklim bisa dibangun melalui pendidikan karakter. Selain teori, penting juga menerapkan praktik-praktik yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di pesantren. 

“Sejak awal kita didikkan (santri) untuk menjadi agent of change di masyarakat. Mereka memiliki karakter peduli lingkungan. Sadar lingkungan” ujarnya.

Habib Syakur mengungkapkan, mitigasi iklim juga tidak hanya diterapkan di dalam pesantren, melainkan juga untuk masyarakat sekitar. Misalnya dengan melibatkan santri untuk mengambil dan mengolah sampah-sampah di lingkungan luar pesantren.

“Dengan praktik yang kita lakukan, pendidikan karakter bukan hanya ucapan, tapi ada praktiknya, harapannya bisa berguna ke masyarakat” pungkasnya. 

Sama seperti anak-anak lainnya, perubahan iklim menjadi ancaman bagi santri anak di pesantren. Santri rentan terhadap penyakit yang terkait dengan iklim, seperti panas tinggi, flu, scabies, hingga demam berdarah. Dampak ini akhirnya mengganggu belajar dan aktivitas di pondok pesantren.

“Upayanya juga sudah banyak, satu edukasi, dua advokasi ke pondok karena ini perlu. Bukan dari santrinya saja yang perlu dikasih edukasi tapi pengurusnya juga” kata Fajrul peneliti FK-KMK UGM.

Penting bagi pesantren mengambil langkah-langkah konkret mengurangi dampak perubahan iklim dan melindungi anak-anak di dalamnya. Langkah ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang holistik, mulai dari pendidikan perspektif iklim, peningkatan kesehatan, hingga menjaga lingkungan. Dengan begitu, pesantren dapat memberikan perlindungan bagi anak-anak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.