Sukses

Profil Nyai Ahmad Dahlan, Pendiri Organisasi Wanita 'Aisyiyah'

Nyai Ahmad Dahlan adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.

Liputan6.com, Jakarta - Nyai Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai Siti Walidah adalah seorang tokoh perempuan yang memainkan peran penting dalam gerakan keagamaan dan sosial di Indonesia. Ia adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dan setelah suaminya wafat, ia melanjutkan perjuangannya dengan penuh semangat.

Ia memimpin Aisyiyah, organisasi wanita di bawah Muhammadiyah, dan berperan dalam pengembangan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan perempuan di Indonesia. Pengabdian dan dedikasinya yang luar biasa telah menginspirasi banyak orang dan ia dihormati sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.

Warisan Nyai Ahmad Dahlan terus hidup melalui Aisyiyah, organisasi yang didirikannya dan terus berkembang hingga saat ini. Aisyiyah melanjutkan perjuangan Nyai Ahmad Dahlan dalam memberdayakan perempuan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Keberanian dan dedikasinya menjadi teladan bagi perempuan Indonesia.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang biodata Nyai Ahmad Dahlan, biografi Nyai Ahmad Dahlan, hingga perjuangan Nyai Ahmad Dahlan melansir dari PP Aisyiyah Pusat dan Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Selasa (27/6/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Biodatanya

Nyai Ahmad Dahlan, yang juga dikenal dengan nama Siti Walidah, lahir dalam keluarga yang memiliki kedudukan tinggi dalam Agama Islam dan merupakan penghulu resmi Keraton, Kyai Haji Fadhil. Dilahirkan di Kauman pada tahun 1872, ia adalah putri keempat dari tujuh bersaudara Kyai Penghulu Haji Muhammad Fadhil. Salah satu adiknya, K.H. Ibrahim, pernah menjabat sebagai President Hoofdbestuur Muhammadiyah dari tahun 1923 hingga 1932.

Sejak kecil, Nyai Ahmad Dahlan telah menunjukkan kemampuan bicara yang lancar dan keberanian yang mencolok dibandingkan dengan teman-temannya. Ketika ia dianggap sudah layak menikah, ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri melalui sistem perkawinan keluarga yang umum terjadi di Kauman.

Pada tahun 1889, Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan Muhammad Darwis, yang lebih dikenal dengan nama K.H. Ahmad Dahlan. Muhammad Darwis, yang lahir pada tahun 1868, adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sejak kecil, ia telah menerima pendidikan agama yang baik karena orang tuanya juga merupakan pejabat agama di Keraton Yogyakarta. Namun, karena adat yang ketat, semua anak perempuan di lingkungan Keraton Yogyakarta harus tinggal di dalam rumah (dipingit) hingga saat mereka menikah. Akibatnya, Siti Walidah tidak pernah mendapatkan pendidikan umum, kecuali pendidikan agama yang diajarkan oleh ayahnya.

Setelah menikah, Siti Walidah dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Pernikahannya dengan K.H. Ahmad Dahlan melahirkan enam orang anak. Siti Walidah dan suaminya berkontribusi dalam perkembangan Muhammadiyah, sebuah gerakan reformis Islam di Indonesia. Mereka bersama-sama mendirikan organisasi ini pada tahun 1912, yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan dan memperbaiki kondisi sosial umat Islam.

Siti Walidah, atau Nyai Ahmad Dahlan, lahir pada tanggal 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta. Ia meninggal dunia pada tanggal 31 Mei 1946 setelah memberikan sumbangsihnya kepada perjuangan kemerdekaan bangsa. Sumbangsihnya terutama berfokus pada peran wanita dalam menguatkan perjuangan dan pembangunan bangsa, serta pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan dihormati sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan juga dalam perkembangan gerakan perempuan dan pendidikan Islam di negara ini.

3 dari 4 halaman

Biografinya

Nyai Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok yang menunjukkan perhatian besar terhadap para buruh perempuan di unit usaha batik Kauman. Seiring dengan meningkatnya industri batik, banyak buruh dari luar Yogyakarta datang ke Kauman dan diperbolehkan tinggal di sebelah utara kantor Kepenghuluan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak buruh batik dari luar kota Yogyakarta yang menetap di kawasan tersebut, dan akhirnya terbentuklah masyarakat Ngindungan.

Ia mengajar buruh perempuan melalui pengajian agama yang diadakan setelah mereka bekerja, yaitu setelah Maghrib. Melalui pengajian ini, mereka diajarkan pengetahuan agama, membaca, dan menulis. Tujuannya adalah agar mereka memiliki sikap jujur dan tidak merasa rendah diri karena merasa tidak berpendidikan. Perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Maghribi School.

Terhadap para gadis, Nyai Ahmad Dahlan khususnya menyediakan sebuah asrama. Dalam mendidik putri dan murid-muridnya, Nyai Ahmad Dahlan menekankan pentingnya penampilan sederhana dan menolak keserakahan akan perhiasan, bahkan sampai rela meminjam dari tetangga agar terlihat cantik. Ia memberikan pesan kepada para santri putri bahwa wanita tidak boleh memiliki jiwa kerdil, melainkan harus memiliki semangat seorang pahlawan.

Sosok Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah juga sering mengajak wanita agar tidak hanya bergantung pada suami, karena sering kali hal ini merugikan perempuan itu sendiri, terutama ketika suami mereka pergi ke luar kota.

Bukan tanpa alasan bahwa murid-murid yang dibimbing oleh Siti Walidah menjadi pionir dalam pembentukan Aisyiyah, sebuah organisasi wanita di bawah naungan Muhammadiyah. Aisyiyah, yang awalnya muncul dari kursus, pengajian, dan sekolah untuk wanita yang diadakan oleh Sopo Tresno, adalah bagian dari Muhammadiyah. Pada tahun 1917, perkumpulan wanita ini mengubah namanya menjadi "Aisyiyah" setelah sebelumnya ada usulan untuk nama "Fathimah".

Organisasi wanita ini terbentuk sebagai sebuah organisasi formal yang dikelola oleh kaum wanita sendiri di bawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah. Yang menarik, ketua pertama Aisyiyah bukanlah Siti Walidah, meskipun ia adalah sosok yang membentuk pengajian Sopo Tresno. Jabatan tersebut dipegang oleh Siti Bariyah, adik perempuan Haji Fachrodin. Fakta ini menunjukkan bahwa Aisyiyah didirikan dengan model kepemimpinan modern yang mengutamakan profesionalisme.

Pengorbanan yang dilakukan oleh Nyai Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada waktu dan tenaga, tetapi juga materi. Nyai Ahmad Dahlan dan suaminya rela melelang barang-barang mereka untuk mendapatkan dana operasional bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Saat melelang barang-barang itu, K.H. Ahmad Dahlan berkata:

"Muhammadiyah membutuhkan uang, harta, untuk mendirikan sekolah, menyebarkan dakwah, dan tujuan lainnya. Namun, Muhammadiyah tidak memiliki uang. Oleh karena itu, saya akan melelang barang-barang ini, dan hasilnya akan digunakan untuk kepentingan tersebut."

4 dari 4 halaman

Perjuangannya

Setelah meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan perjuangan suaminya dengan penuh semangat. Dia mengambil peran aktif dalam Aisyiyah dan Muhammadiyah. Pada tahun 1926, Nyai Ahmad Dahlan bahkan memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 yang diadakan di Surabaya.

Ini menjadikannya sosok Nyai Ahmad Dahlan sebagai wanita pertama yang memimpin pertemuan besar seperti itu, sebuah pencapaian yang luar biasa. Kiprahnya yang berharga diberitakan oleh berbagai surat kabar pada masa itu, yang mengakui peran penting yang ia mainkan dalam gerakan tersebut.

Sementara Muhammadiyah semakin berpengaruh dalam pergerakan nasional, Aisyiyah juga tumbuh dan berkembang dengan pesat di bawah kepemimpinan Nyai Ahmad Dahlan. Anggota organisasi ini semakin bertambah banyak, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, cabang-cabang Aisyiyah didirikan di berbagai daerah di Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan memimpin Aisyiyah dengan penuh dedikasi dan keberanian hingga tahun 1934, membawa organisasi ini menuju arah yang lebih maju dan memperluas jangkauannya di masyarakat.

Pada tahun 1971, melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971, pemerintah Republik Indonesia menghormati jasa-jasa Nyai Ahmad Dahlan dengan memberikan gelar pahlawan nasional, sebuah penghargaan yang sama dengan yang diberikan kepada suaminya. Pengakuan ini merupakan penghargaan yang layak atas dedikasi dan kontribusi luar biasa yang telah diberikan oleh Nyai Ahmad Dahlan dalam memajukan peran wanita dalam gerakan keagamaan dan sosial di Indonesia.

Aisyiyah, yang didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan dan sempat mengalami larangan selama masa pendudukan Jepang, terus berkembang dan eksis hingga saat ini.

Organisasi ini terus melanjutkan perjuangan yang dimulai oleh Nyai Ahmad Dahlan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Melalui keberlanjutan Aisyiyah, warisan perjuangan Nyai Ahmad Dahlan terus hidup dan memberikan dampak positif bagi perempuan Indonesia hingga saat ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.