Sukses

Peneliti: Manusia Prasejarah di Gua Harimau Sumsel Pernah Idap Malaria dan Thalassemia

Riwayat penyakit ini ditemukan dari hasil analisis sisa rangka manusia prasejarah di Gua Harimau, Sumsel.

Diterbitkan 09 Oktober 2025, 08:00 WIB
Share
Copy Link
Batalkan

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti menemukan bahwa manusia prasejarah di Gua Harimau, Sumatra Selatan (Sumsel) sempat terserang malaria dan thalassemia.

Riwayat penyakit ini ditemukan dari hasil analisis sisa rangka manusia prasejarah. Dari rangka itu, ditemukan indikasi penyakit yang sebelumnya belum pernah teridentifikasi, yakni malaria dan thalassemia.

Analisis ini dilakukan Pendiri dan Ketua Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia (Center for Prehistory and Austronesian Studies/CPAS), Truman Simanjuntak. Bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Peneliti Bioarkeologi dari Universitas Notre Dame Australia, Melandri Vlok.

“Temuan ini melengkapi catatan penyakit yang sebelumnya terbatas pada tuberkulosis, karies, dan bruksisme. Kolaborasi ini sangat prospektif ke depan karena membuka ragam patologi prasejarah manusia Indonesia dengan sudut pandang Asia Tenggara," kata Truman dalam Talkshow & Lecture Seri ke-42 “Antiquity of Thalassemia & Malaria in Mainland & Island Southeast Asia” yang diselenggerakan Pusat Riset Arkeometri (PR Arkeometri) BRIN berkolaborasi dengan CPAS, Selasa, (30/09/2025).

Thalassemia sendiri merupakan penyakit genetik bawaan pada darah yang menyebabkan tubuh tidak mampu memproduksi cukup hemoglobin, juga protein penting dalam sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen. Kondisi ini menimbulkan anemia atau kekurangan darah pada pengidapnya. Melalui pendekatan bioarkeologi, para peneliti berupaya mengungkap sejarah penyakit pada populasi masa lalu lewat jejak yang terekam pada tulang, gigi, dan unsur biomolekuler.

Lebih jauh, Truman menekankan signifikansi arkeologis Gua Harimau sebagai riset yang tidak berakhir, karena kekayaan temuannya.

"Situs ini merekam kronologi hunian panjang dari Paleolitik Atas, Pra-Neolitik, Neolitik hingga Paleometalik. Situs ini juga memiliki lebih dari 80 penguburan manusia di luar temuan rangka lepas," bebernya.

"Situs ini mencatat penemuan seni cadas pertama di Pulau Sumatra, serta artefak logam tertua di Indonesia prasejarah, dengan pertanggalan sekitar abad ke-4 SM yang berkembang hingga abad ke-1 M," rincinya.

 

2 dari 4 halaman

Temukan Bukti Thalassemia adalah Penyakit Keturunan

Mendukung temuan ini, Melandri Vlok memaparkan konteks ilmiah dan temuannya. Ia menjelaskan thalassemia merupakan kelainan genetik pada rantai hemoglobin alfa/beta.

"Ini dapat menimbulkan anemia berat sehingga tulang beradaptasi dengan ekspansi sumsum atau hiperplasia, yang menghasilkan tulang menebal tetapi berpori, serta perubahan khas pada tulang wajah dan rahang," paparnya.

Ia mengungkap, para bioarkeolog tidak bisa melihat malaria langsung. Tetapi kalau menemukan banyak kerangka dengan ciri thalassemia, mereka bisa menyimpulkan bahwa malaria pasti ada di lingkungan saat itu.

"Di daerah yang endemi malaria, gen thalassemia justru bertahan dalam populasi. Karena pembawa sifat thalassemia punya kelebihan, sel darah merahnya rusak lebih cepat, sehingga parasit malaria sulit berkembang biak," tuturnya.

"Akibatnya, orang yang punya satu gen thalassemia bisa lebih bertahan hidup dari malaria, dibanding orang tanpa gen sama sekali. Tapi kalau seseorang mewarisi dua gen thalassemia, jadinya penyakit thalassemia parah." sebutnya.

Ia menyinggung bukti thalassemia yang telah ia dan timnya dokumentasikan di berbagai situs daratan Asia Tenggara dengan indikasi endemisitas malaria setidaknya sejak 7.000 tahun lalu. Dari sana, diceritakannya tim beralih ke Asia Tenggara kepulauan, dengan Gua Harimau sebagai fokus karena lokasinya di sabuk tropis dan konteks lingkungan yang historisnya cocok bagi vektor malaria.

Vlok menyatakan analisis awal terhadap sekitar 25 jasad kerangka manusia dari Gua Harimau mengindikasikan sekitar empat kasus thalassemia.

"Sejak hari kedua hingga ketiga, kami mulai melihat bukti jelas thalassemia bahkan sebelum rontgen, dan pada individu Neolitik bertarikh minimal 2.700 tahun lalu,” jelasnya.

Temuan yang ia sebut sangat menggembirakan sekaligus langka berasal dari periode logam. Yaitu seorang perempuan berusia 17–18 tahun yang tulangnya amat rapuh dan memerlukan pembersihan sangat hati-hati di laboratorium.

"Pada jasad kerangka manusia ini, citra rontgen memperlihatkan penebalan dan porositas khas serta lesi tulang pada iga yang sangat besar untuk di diagnostik dengan thalassemia," imbuhnya.

"Saat proses pembersihan, tim menemukan janin sekitar 38 minggu dalam posisi pra-persalinan yang juga menunjukkan tanda kuat thalassemia pada iga dan tulang panjang. Untuk pertama kalinya kita memiliki bukti langsung pewarisan thalassemia dari ibu kepada bayi dalam rekam arkeologis," ungkapnya.

 

3 dari 4 halaman

Terpapar Malaria Akibat Aktivitas Perburuan dan Permukiman di Hutan

Ia turut menguraikan kerangka pikir ekologis bahwa malaria di Asia Tenggara lebih terkait habitat hutan vektor nyamuk Anopheles daripada irigasi sawah.

Menurutnya, aktivitas seperti perburuan dan permukiman di hutan dianggap lebih relevan menjelaskan paparan malaria, termasuk di konteks Gua Harimau.

"Wilayah sekitar Baturaja baru belakangan ini bebas malaria, sehingga kisah arkeologi dapat dimanfaatkan untuk edukasi kesehatan agar eliminasi malaria tetap terjaga dan meluas," ujarnya.

Menyoal metodologi lanjutan, ia memaparkan rencana Gua Harimau bagian dua yang mencakup perluasan rontgen untuk melihat kompromi struktur dari dalam, studi mortalitas dan stunting, pemodelan epidemiologi spasial berbasis sistem informasi geografis (GIS), serta eksplorasi pendekatan metabolomik dan proteomik untuk mendeteksi jejak respons tubuh terhadap infeksi maupun jejak parasit pada material tulang.

 

4 dari 4 halaman

Penelitian yang Masih Jarang di Indonesia

Kepala PR Arkeometri BRIN, Sofwan Noerwidi, menilai kajian paleopatologi khususnya thalassemia dan malaria masih jarang di Indonesia dan Asia Tenggara, namun sangat menjanjikan. Ia mengapresiasi kontribusi tim CPAS dan para peneliti yang telah merealisasikan kolaborasi ini, serta mendorong keberlanjutan diseminasi hasil riset ke depan.

Ia juga menyebut, BRIN telah memiliki laboratorium kriogenomik untuk studi biologi struktural serta fasilitas penelitian DNA.

"Ke depan dengan sedikit penyesuaian prosedur, laboratorium ini dapat diperluas fungsinya, tidak hanya untuk studi DNA modern, tetapi juga menjangkau DNA purba," ucapnya.

Lebih jauh, ia melihat pentingnya mengintegrasikan temuan paleopatologi dengan ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia. Ini, baginya, membuka kemungkinan menghadirkan skema Degree by Research yang khusus membidik tema thalassemia dan malaria prasejarah.

Skema tersebut, menurutnya akan memungkinkan mahasiswa pascasarjana untuk tidak hanya menulis tesis, tetapi juga benar-benar terlibat dalam proyek riset kolaboratif internasional.

“Dengan kemitraan antar lembaga baik BRIN, universitas dalam negeri maupun luar negeri, serta pusat riset mitra. Kita bisa melahirkan generasi peneliti baru yang tidak hanya kuat secara teori, tetapi juga terlatih langsung dengan metode riset kelas dunia,” tambahnya.

Baginya, langkah tersebut bukan hanya penting dari sisi akademik, tetapi juga relevan dengan isu kesehatan publik di kawasan tropis.

"Studi paleopatologi thalassemia–malaria dapat memberi gambaran historis mengenai bagaimana penyakit-penyakit tersebut menyebar, bertahan, dan beradaptasi bersama populasi manusia. Hasilnya akan sangat bermanfaat, bukan hanya untuk ilmu pengetahuan murni, tetapi juga sebagai dasar kebijakan kesehatan masyarakat di Asia Tenggara,” tutupnya.