Sukses

Musafir Boleh Membatalkan Puasa Ramadhan, Simak Ketentuannya

Secara sederhana, musafir dapat diartikan sebagai orang yang sedang bepergian atau melakukan perjalanan.

Liputan6.com, Jakarta Ada beberapa orang yang boleh membatalkan puasa Ramadhan dengan alasan yang kuat. Salah satunya adalah musafir.

Secara sederhana, musafir dapat diartikan sebagai orang yang sedang bepergian atau melakukan perjalanan.

Dalam kajian fiqih, memahami istilah “musafir” secara komprehensif sangat penting karena berkaitan dengan hukum, seperti dalam hal puasa dan shalat.

Dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in, bahwa yang dimaksud dengan musafir adalah seseorang yang sedang melakukan perjalanan yang diperbolehkan melakukan qashar shalat.

Dengan kata lain, musafir bukan hanya orang yang bepergian, tapi orang yang sedang melakukan perjalanan jauh hingga qashar shalat atau meringkas rakaat shalat pun disahkan.    

 وَيُبَاحُ فِطْرٌ) فِيْ صَوْمٍ وَاجِبٍ (بِمَرَضٍ مُضِرٍّ) ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمُ كَأَنْ خُشِيَ مِنَ الصَّوْمِ بُطْءُ بُرْءٍ (وَفِيْ سَفَرِ قَصْرٍ) دُوْنَ قَصِيْرٍ وَسَفَرِ مَعْصِيَةٍ 

Artinya:

“Dan diperbolehkan tidak berpuasa dalam puasa wajib sebab sakit yang membahayakan dengan bahaya yang membolehkan tayamum, seperti dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan penyakit karena berpuasa, dan dalam perjalanan yang diperbolehkan meng-qashar shalat. Yaitu bukan perjalanan jarak dekat dan perjalanan maksiat.”( Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998], halaman 91) melansir NU Online, Rabu (13/3/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ketentuan Musafir Bisa Qashar Shalat dan Batalkan Puasa

Redaksi di atas memberikan gambaran bahwa musafir yang dimaksud dalam hal puasa adalah musafir yang sedang menempuh perjalanan yang diperbolehkan meng-qashar shalat. 

Seseorang dapat melakukan qashar shalat dengan ketentuan-ketentuan berikut:

  • Perjalanan tidak untuk maksiat.
  • Jarak perjalanan minimal dua marhalah atau 80,64 km merujuk kitab Tanwirul Qulub.
  • Melewati batas desa.
3 dari 4 halaman

Keringanan Tak Puasa bagi Musafir dalam Al Quran

Keringanan tidak berpuasa bagi musafir juga dijelaskan dalam Al Quran, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 138:

   وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ  

Artinya:

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.”  

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa. Namun, ia tetap wajib mengqadha di kemudian hari.   

Dengan demikian dapat disimpulkan, seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa saat bulan Ramadhan apabila ia melakukan perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat yaitu kurang lebih dengan jarak minimal 80,64 km.

“Serta tetap wajib mengganti puasa tersebut di kemudian hari,” tulis Santri PP Mansajul Ulum dan Mahasiswa IPMAFA Pati, Ustadz Muhammad Ulil Albab.

4 dari 4 halaman

Lebih Baik Batal atau Lanjut Puasa?

Lantas, dalam kondisi seperti apa musafir lebih baik membatalkan puasa mereka?

Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan: 

 ( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ وَالْمَرِيضُ صَائِمَيْنِ ثُمَّ أَرَادَا الْفِطْرَ جَازَ ) لَهُمَا لِدَوَامِ عُذْرِهِمَا . ( فَلَوْ أَقَامَ ) الْمُسَافِرُ ( وَشُفِيَ ) الْمَرِيضُ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِمَا ( الْفِطْرُ عَلَى الصَّحِيحِ ) لِزَوَالِ عُذْرِهِمَا وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُمَا الْفِطْرُ اعْتِبَارًا بِأَوَّلِ الْيَوْمِ

“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalanan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudharat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir.”

“Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun, bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian.”

“Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa.”

“Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.