Sukses

Guru Agama di Bengkulu Utara Cabuli 24 Murid SD Saat Praktik Ibadah

Guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial HR itu dikabarkan melakukan pencabulan pada anak-anak kelas 4, 5, dan 6 yang masih berusia 10 hingga 12 tahun.

Liputan6.com, Jakarta Oknum guru agama salah satu SD di Bengkulu Utara melakukan tindak pelecehan seksual terhadap 24 murid perempuan.

Guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial HR itu dikabarkan melakukan pencabulan pada anak-anak kelas 4, 5, dan 6 yang berusia 10 hingga 12 tahun.

Terkait kasus ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam aksi pencabulan tersebut. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar menyampaikan pihaknya akan mendorong penyidikan yang saat ini tengah dilakukan oleh pihak kepolisian.

“Kami sangat prihatin dengan terjadinya kasus ini. Dari hasil koordinasi Tim Layanan SAPA 129 dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bengkulu Utara, korban diduga berjumlah 24 anak perempuan. Pelaku saat ini telah ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian. Kami berharap pelaku dapat segera ditindak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujar Nahar, pada Kamis 25 Januari 2024 dalam keterangan resmi.

Nahar menambahkan, perbuatan asusila ini diduga sudah dilakukan pelaku sejak Desember 2023 hingga yang terakhir pada 18 Januari 2024.

Pelaku melakukan aksinya dengan modus berpura-pura membenarkan kesalahan murid perempuan saat praktik shalat. Saat itu, pelaku diduga memanfaatkan kesempatan untuk menyentuh tubuh korban.

“Saat praktik pelajaran berlangsung, pelaku diduga secara sengaja menyentuh bagian-bagian sensitif anak, bahkan beberapa korban mengalami perbuatan tersebut berulang kali. Kejadian ini terungkap setelah ada anak yang melaporkan ke orangtua atas kejadian pencabulan yang dialami dan pelaku dilaporkan ke kepolisian setempat,” jelas Nahar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Terancam 15 Tahun Penjara

Atas perbuatannya, pelaku terancam pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar.

Hukuman dapat ditambah sepertiganya karena tersangka merupakan pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, pelaku juga melakukan pelecehan pada lebih dari satu korban.

Penambahan hukuman sesuai pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan (4) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tersangka juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan berupa rehabilitasi. Serta pemasangan alat pendeteksi elektronik sesuai dalam pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3 dari 4 halaman

Kondisi Para Korban

Nahar mendorong penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dilakukan di luar proses peradilan.

Ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Nahar menyatakan pihaknya akan terus melakukan koordinasi dan memastikan para korban mendapatkan layanan pendampingan yang dibutuhkan.

“Kondisi korban saat ini sudah membaik dan tinggal dengan orangtua masing-masing. Tim UPTD PPA Bengkulu telah melakukan penjangkauan langsung ke tempat kejadian serta memberikan asesmen dan pendampingan psikologis terhadap anak-anak yang menjadi korban pencabulan.”

Tim juga telah berkoordinasi dengan dinas pendidikan untuk pemantauan proses perkembangan kasus, mengingat pelaku berstatus sebagai PNS guru agama.

“Kami akan memastikan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan dan memantau proses hukum agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Nahar.

4 dari 4 halaman

Akibat Ketimpangan Relasi Kuasa

Terjadinya kasus ini menurut Nahar tak lepas dari adanya ketimpangan relasi kuasa yang besar antara pelaku dan korban.

Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang dalam aksinya juga disertai dengan tindak ancaman dan bujuk rayu. Ini memposisikan korban berada dalam tekanan psikologis.

“Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan adalah karena relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku tenaga pendidik. Dan juga ada ketergantungan yang besar dari anak didik untuk bisa naik kelas ataupun lulus sekolah dengan nilai baik.”

Posisi anak didik sangat lemah apalagi pelaku juga biasanya mengancam para korban. Dibutuhkan kesadaran dan kewaspadaan dari sesama tenaga pendidik jika melihat ada perubahan perilaku dari anak didiknya atau tindakan oknum pendidik yang mencurigakan, imbau Nahar.

“Orangtua juga diharapkan selalu berkomunikasi dengan anak-anak mereka dan terus menjelaskan kepada anak-anak mereka bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain,” pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.