Sukses

Bos BPJS Kesehatan: Dana Jadi Kendala Pengadaan Alat Kesehatan dan Obat Inovatif

Percepatan HTA Alat Kesehatan dan Obat Inovatif Masih Hadapi Kendala

Liputan6.com, Jakarta - Pengadaan alat kesehatan dan obat inovatif masih mengalami beberapa kendala. Menurut Direktur BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, salah satu kendalanya adalah ketersediaan dana.

"Kadang-kadang untuk produk obat baru, alat baru, itu terkendala karena ketersediaan dana. Kita berkeinginan, ketersediaan dananya ditingkatkan, lalu BPJS juga dapat membiayai untuk beberapa hal. Misalnya, pembiayaan akupunktur, itu kan enggak ada dananya, untuk itu BPJS membayari untuk Health Technology Assessment (HTA)," kata Ali dalam peringatan Hari Kesehatan Nasional ke 59 bersama IPMG di Jakarta Selatan pada Jumat, 10 November 2023.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, HTA atau penilaian teknologi kesehatan adalah evaluasi sistematik terhadap sifat/karakter, efek, serta dampak sebuah teknologi kesehatan yang dilakukan secara multidisipliner.

Tujuannya guna menilai dampak dan manfaat teknologi tersebut dari sisi sosial, ekonomi, organisasi, serta etik.

Dengan kata lain, HTA adalah proses analisis yang digunakan untuk menentukan teknologi kesehatan yang dianggap paling efektif dan efisien dalam penanganan suatu penyakit.

"Intinya, BPJS itu karena sumber daya termasuk uang itu selalu terbatas, sementara kebutuhan termasuk obat alat itu selalu tidak terbatas, maka ya harus cost effective,” tambahnya.

Sementara, untuk mengetahui bahwa suatu obat dan alat kesehatan baru itu cost effective, kata Ali Ghufron, perlu dilakukan high technology assessment.

"Tapi itu (HTA) sendiri terbatas, maka BPJS ikut membiayai," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kendala Lain Soal HTA Alat Kesehatan dan Obat Inovatif

Selain keterbatasan dana, kendala lain dalam percepatan HTA untuk pengadaan alat dan obat baru adalah sumber daya manusia (SDM).

"SDM (untuk melakukan HTA) juga mesti diperkuat, harus yang memahami betul bagaimana melakukan asesmen yang bagus. Artinya setiap policy dan pelaksanaan di lapangan harus evidence base. Artinya, harus berdasarkan buktinya. Contohnya seperti rituximab untuk penanganan kanker," kata Ali.

Ketersediaan Obat Alasan Pasien Berobat ke Luar Negeri

Lantas, apakah percepatan HTA ini memiliki kaitan dengan banyaknya orang Indonesia yang akhirnya memilih berobat ke luar negeri?

Menjawab pertanyaan tersebut, Ali mengatakan bahwa hal tersebut dapat menjadi salah satu dari banyak faktor.

"Bisa aja secara tidak langsung, tapi orang berobat ke luar negeri tidak hanya karena obat," katanya.

"Banyak faktor yang menentukan, contoh di Medan saya nanya sendiri ke pasien, kenapa harus berobat ke luar negeri dalam hal ini ke Penang, Malaysia," dia menambahkan.

Pasien yang ditanya Ali menjawab, selain jaraknya lebih dekat, ada pula arahan dari dokter yang menangani.

"Dia bilang diminta dokternya, artinya ada ini (uang/komisi), dokternya (yang merekomendasikan ke Penang) dapat bagian (uang)," katanya.

3 dari 3 halaman

Orang Berobat ke Luar Negeri Bukan Hanya Karena Obat

Meski begitu, Ali menegaskan bahwa orang memilih berobat ke luar negeri bukan hanya karena ketersediaan obat.

"Saya sampaikan orang berobat ke luar negeri bukan hanya karena obat. Misalnya, ada juga yang enggak mau diganggu, kalau berobat di sini banyak yang jenguk karena orang terkenal, jadi faktornya terlalu banyak," ujarnya.

Di sisi lain, Ali mengaminkan bahwa para dokter di Tanah Air juga memiliki peran dalam mempromosikan pengobatan di dalam negeri ketimbang di luar.

"Ya antara lain, tapi kan tidak hanya itu, banyak hal yang harus menjadi pertimbangan," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.