Sukses

WHO: 13,4 Juta Bayi Lahir Prematur Akibat Ibu Tidak Sehat dan Gizi Buruk

Pada 2020, sekitar satu dari 10 bayi lahir secara prematur. Perkiraan ini diungkap dalam studi baru yang diluncurkan hari ini (6/10) di Lancet oleh peneliti WHO.

Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 13,4 juta bayi lahir secara prematur. Kelahiran disebut prematur ketika usia kehamilan belum mencapai 37 minggu.

Pada 2020, sekitar satu dari 10 bayi lahir secara prematur. Perkiraan ini diungkap dalam studi baru yang diluncurkan hari ini (6/10) di Lancet oleh peneliti dari WHO, UNICEF, dan London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Peneliti menyampaikan, kelahiran prematur adalah penyebab utama kematian pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Maka dari itu perawatan bayi prematur serta upaya pencegahannya perlu diperkuat. Khususnya terkait kesehatan ibu dan pemenuhan gizi untuk meningkatkan kelangsungan hidup anak-anak.

Bagi mereka yang masih hidup, kelahiran prematur juga secara signifikan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit berat, disabilitas, dan keterlambatan perkembangan. Bahkan bisa pula menimbulkan penyakit kronis saat dewasa seperti diabetes dan penyakit jantung.

Sayangnya hingga kini, tidak ada wilayah di dunia yang berhasil menurunkan angka kelahiran prematur secara signifikan selama dekade terakhir. Tingkat penurunan kelahiran prematur global tahunan antara tahun 2010 dan 2020 hanya sebesar 0,14 persen.

Penelitian menemukan dua penyebab utama terjadinya kelahiran prematur, yakni akibat ibu yang tidak sehat dan kekurangan gizi.

“Kesehatan ibu yang buruk dan kekurangan gizi menjadi penyebab tingginya angka kelahiran prematur,” mengutip keterangan resmi WHO, Jumat (6/10/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masih Ada Kesenjangan Data di 92 Negara

Studi ini mengambil perkiraan dari data berbasis populasi yang mewakili kasus secara nasional. Peneliti menggunakan pemodelan Bayesian untuk menghasilkan perkiraan tingkat negara yang dapat dibandingkan secara internasional pada tahun 2020.

Perkiraan nasional ini dipublikasikan untuk pertama kalinya dalam makalah dan di situs web WHO.

Seiring dengan meningkatnya pencatatan kelahiran dan persalinan di fasilitas kesehatan, data mengenai prevalensi kelahiran prematur juga meningkat. Namun, kesenjangan masih terjadi karena 92 ​​negara tidak memiliki cukup data yang representatif secara nasional.

Para penulis menyerukan komitmen berkelanjutan untuk memperkuat ketersediaan dan kualitas data, serta berbagi data sehingga dukungan dan tindakan yang tepat dapat ditargetkan pada saat yang paling dibutuhkan.

3 dari 4 halaman

Polusi Udara Tingkatkan Risiko Bayi Lahir Prematur

Dalam penelitian WHO lainnya, kelahiran bayi prematur dewasa ini dapat pula dipengaruhi oleh kualitas udara yang buruk akibat polusi.

“Paparan udara berpolusi pada wanita hamil berimbas pada kelahiran prematur atau bayi lahir sebelum waktunya dengan bobot di bawah standar,” kata Dr. Maira Neira dari Department of Public Health, Environmental and Social Determinants of Health WHO dalam keterangan pers.

Dia menambahkan, polusi udara membawa dampak negatif pada kesehatan setiap orang terutama anak-anak. Setiap harinya, 93 persen anak di bawah usia 15 tahun terekspos partikel halus (PM 2.5) dari udara.

“Anak-anak lebih rentan pada efek polusi udara karena mereka bernapas lebih cepat dibanding orang dewasa sehingga menyerap lebih banyak polutan. Polusi membuat otak anak-anak kerdil, yang berefek pada kesehatan mereka lebih dari apa yang kita kira,” tambah Maira.

4 dari 4 halaman

Gelombang Panas Juga Picu Kelahiran Prematur

Polusi udara bukan satu-satunya masalah yang tengah dihadapi berbagai negara, ada pula gelombang panas yang bisa memicu kelahiran prematur.

Menurut dokter kandungan di Sistem Kesehatan Johns Hopkins di Washington, DeNicola, paparan gelombang panas dapat menyebabkan dehidrasi.

Selama kehamilan, dehidrasi dapat menyebabkan pelepasan oksitosin, hormon yang berkontribusi pada kontraksi persalinan.

“Panas yang ekstrem sangat mungkin menyebabkan peningkatan mekanisme itu,” kata DeNicola.

Jika persalinan terjadi dan bayi lahir sebelum 37 minggu, itu adalah kelahiran prematur, dibandingkan dengan kehamilan normal 40 minggu. Beberapa bayi baru lahir ini mungkin memiliki sistem organ yang belum matang dan mengalami kesulitan bernapas, makan, dan mengatur suhu tubuh.

Dalam jangka panjang, bayi prematur mungkin mengalami masalah lain. Termasuk ketidakmampuan belajar dan masalah pendengaran atau penglihatan. Semakin prematur bayinya, semakin serius risiko kesehatannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.